SIKAP THALHAH RADHIYALLAHU ‘ANHU PADA PERANG JAMAL DAN SYAHADAH DI JALAN ALLAH
Dari ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi rahimahullah, ia berkata, “Ketika Thalhah, az-Zubair, dan ‘Aisyah berangkat untuk menuntut darah ‘Utsman, mereka singgah di Dzatu ‘Irq.
Di sana mereka menyeleksi orang-orang yang ikut. Mereka memulangkan ‘Urwah bin az-Zubair dan Abu Bakar bin Abdurrahman karena belum cukup umur.
Aku melihat Thalhah dan majelis yang paling dia sukai adalah yang paling sepi. Pada saat itu Thalhah menempelkan jenggotnya ke dadanya, maka aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muhammad! Sesungguhnya aku melihatmu sementara majelis yang paling engkau sukai adalah yang paling sepi. Jika engkau tidak menyukai perkata ini, tinggalkanlah!’
Thalhah berkata, ‘Wahai Alqamah, jangan menyalahkan aku! Dulu kami adalah umat yang satu melawan umat lain, tetapi hari ini kami menjadi dua gunung besi, salah satu dari kami menyerang rekannya. Dulu aku telah mengambil sebuah sikap terhadap perkara ‘Utsman dan sekarang aku melihat bahwa untuk menebusnya aku harus rela darahku ditumpahkan dan menuntut darahnya.” [1]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sikap yang telah diambil Thalhah terhadap perkara ‘Utsman, dia melihat hal itu merupakan persekongkolan, maka Thalhah tidak ingin terlibat. Dia mengambil sikap ini dengan ijtihadnya, kemudian sikap ini berubah ketika Thalhah melihat kematian ‘Utsman. Dia menyesal mengapa membiarkannya dan tidak menolongnya. Thalhah adalah orang pertama yang membai’at ‘Ali, para pembunuh ‘Utsman menekannya untuk itu. Mereka menghadirkannya secara paksa sehingga Thalhah memba’iat.” [2]
Namun Thalhah dan az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma menyingkir dari perang tersebut. Keduanya tidak ikut terlibat didalamnya. Hal itu ketika mereka berdua melihat ‘Ammar berperang di barisan ‘Ali, maka keduanya teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Ammar: “Engkau dibunuh oleh kelompok pembangkang.” [3]
Sebelum itu Thalhah dan az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma berada dalam pasukan Mu’awiyah yang berperang melawan ‘Ammar, maka keduanya takut sehingga keduanya mundur dari perang tersebut dan tidak terlibat.
Di antara hal yang membuat keduanya bersemangat untuk tidak ikut adalah ucapan ‘Ali bin Abi Thalib kepada az-Zubair, “Aku bertanya kepadamu, wahai Zubair! Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau memeranginya, sedangkan engkau dalam keadaan berbuat zhalim kepadanya?’
Maka az-Zubair menjawab, “Aku ingat.” Lalu az-Zubair pergi meninggalkan medan perang.” [4]
Thalhah dan az-Zubair mundur dari medan perang. Pada saat itulah keduanya terbunuh. Az-Zubair dikuntit oleh seorang laki-laki bernama ‘Amr bin Jurmuz, lalu dia membunuhnya dengan cara yang licik.
Adapun Thalhah maka ada yang berkata: “Dia terkena anak panah misterius yang tidak diketahui pelemparnya. Ada yang berkata: yang memanahnya adalah Marwan bin al-Hakam.
Dari Qais rahimahullah, ia berkata, “Aku melihat Marwan bin al-Hakam melepaskan anak panah kepada Thalhah pada hari itu. Anak panah itu mengenai lututnya. Darah terus mengucur sehingga Thalhah wafat.” [5]
Dari Abu Sabrah rahimahullah, ia berkata, “Pada perang Jamal Marwan bin al-Hakam melihat Thalhah dan dia berkata, ‘Aku tidak membalas dendamku setelah hari ini.’ Lalu dia melepaskan anak panahnya kepada dan ia membunuhnya.” [6]
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Pembunuh Thalhah memikul dosa yang sama dengan dosa pembunuh ‘Ali. dan ‘Ali berkata, ‘Berikan kabar gembira kepada pembunuh Thalhah bahwa dia berhak atas Neraka.” [7]
Dari Thalhah bin Mutharrif rahimahullah bahwa ‘Ali mendekati Thalhah yang telah menjadi mayat. ‘Ali turun dari kendaraannya dan mendudukkannya. ‘Ali mengusap tanah dari wajahnya dan jenggotnya lalu memohonkan rahmat kepada Allah untuknya. Dia berkata, “Seandainya aku mati dua puluh tahun sebelum ini.” [8]
Dari Qais bin ‘Ubadah rahimahullah, ia berkata, “Pada Perang Jamal aku mendengar ‘Ali berkata kepada al-Hasan, anaknya, ‘Wahai Hasan! Aku berharap seandainya aku mati dua puluh tahun yang lalu.’” [9]
Dari Abu Habibah maula Thalhah rahimahullah, ia berkata, “Aku datang menemui ‘Ali bersama ‘Imran bin Thalhah setelah peristiwa Jamal, maka ‘Ali menyambutnya dengan hangat dan mendekat duduknya kepadanya.
Kemudian ‘Ali berkata kepada Imran, “Aku berharap Allah menjadikan aku dan ayahmu termasuk oran-orang yang difirmankan Allah tentang mereka: “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS.Al-Hijr:47) [10]
ALLAH MENJAGANYA SETELAH KEMATIANNYA
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjaga seorang hamba yang beriman setelah kematiannya sebagaimana dia menjaganya dalam kehidupannya.
Setelah lebih dari tiga puluh tahun dari kematian Thalhah, ornag-orang menggali kuburnya untuk dipindahkan ke lain tempat, ternyata jasadnya tidak berubah kecuali beberapa helai rambut di salah satu sisi jenggotnya.
Dari al-Mutsanna bin Sa’id, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada ‘Aisyah binti Thalhah, dia berkata, ‘Aku melihat Thalhah dalam mimpi. Dia berkata, ‘Katakan kepada ‘Aisyah, ‘Pindahkan aku dari tempat ini karena kelembaban atau airnya telah menggangguku.”
Dia berkata, “Maka ‘Aisyah berangkat dengan pakaiannya yang tertutup. Dia meminta orang-orang menggali kubur Thalhah. Mereka memasang tenda di atasnya dan menggalinya. Tidak ada yang berubah pada jasad Thalhah selain beberapa helai rambut di salah satu sisi jenggotnya. Atau dia berkata : di kepalanya, padahal Thalhah sudah wafat lebih dari tiga puluh tahun.”
al-Mas’udi rahimahullah menyebutkan bahwa yang bermimpi adalah ‘Aisyah binti Thalhah sendiri.”
Semoga Allah Ta’ala meridhai Thalhah dan seluruh Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Sumber: Disalin ulang dari buku ‘Shahabat-Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Mahmud al Mishri, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Foot Note:
- Diriwayatkan oleh al-Hakim (III/371) di dalamnya disebutkan, “Dalam menuntut darahnya.” sebagai ganti, “Menuntut darahnya.” Al-Hakim mendiamkan riwayat ini, tetapi adz-Dzahabi dalam Mukhthasarnya berkata, “Sanadnya jayyid.” Dan memang demikian.
- Siyar A’laamin Nubaala’ karya adz-Dzahabi (I/35)
- Diriwayatkan oleh Muslim (no.2915), kitab: al-Fitan dan Ahmad (III/5)
- Diriwayatkan oleh al-Hakim (III/366), dia berkata, “Sanadnya Shahih.” dan disepakati adz-Dzahabi.
- Diriwayatkan oleh al-Hakim (III/370) dan Ibnu Sa’ad (III/1/159) secara panjang. Kisah ini disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishaabah (V/235) dan dia berkata, “Sanadnya shahih.”
- Disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishaabah (V/235) dan dia berkata, “Sanadnya shahih.”
- Siyar A’laamin Nubalaa’ karya adz-Dzahabi (I/36-37)
- Al-Haitsami dalam al-Majma’ (IX/150) berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan sanadnya hasan.”
- Al-Haitsami dalam al-Majma’ (IX/150) berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan sanadnya jayyid.”
- Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (III/1/160), ath-Thabarani dalam Tafsiir-nya (XIV/36), dan Tafisir Ibni Katsir (IV/164)
Artikel: www.KisahIslam.net, sumber : https://www.kisahislam.net/2013/12/29/thalhah-bin-ubaidillah-bag-ketiga-tamat/