Peperangan pun Dimulai.
Zaid bin Haritsah berperang memimpin pasukan kaum muslimin namun setelah ia berusaha dan berjuang, beliau Radhiyallahuta’ala ‘anhu pun meninggal dunia.
Setelah Zaid bin Haritsah Radhiyallahuta’ala ‘anhu meninggal dunia maka bendera peperangan digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ta’ala ‘anhu.
Jafar bin Abi Thalib disebutkan tidak pernah mundur dari medan pertempuran. Ia berperang dengan sangat hebat, bahkan tatkala perang sudah semakin sengit maka iapun turun dari kudanya lalu iapun membunuh kudanya yang menunjukan ia akan bertahan perang dan tidak akan kabur dengan kudanya.
Seorang sahabat dari bani Murroh yang ikut perang Mu’tah berkata :
واللهِ لكأني أنظرُ إلى جعفرٍ حين اقْتَحَم عن فرسٍ له شقراءَ فعَقَرها، ثم قاتَلَ القومَ حتى قُتِلَ
“Demi Allah seakan-akan melihat ke Ja’far bin Abi Tholib ia turun dari kudanya yang berwarna pirang, maka iapun membunuh kudanya [2], lalu ia memerangi musuh hingga iapun meninggal” (HR Abu Dawud no 2573, pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaaq, sehingga dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 7/511, Al-Albani, dan Al-Arnauuth)
Ketika tangan kanannya putus dalam peperangan tersebut ia memegang bendera peperangan dengan tangan kirinya. Ketika tangan kiri beliau putus lagi [3] maka dia memegang bendera dengan kedua lengan atasnya [4].
Kemudian Jafar bin Abi Thalib Radhiyallahuta’ala ‘anhu ditikam sehingga meninggal dunia
Ibnu Umar berkata :
كُنْتُ فِيهِمْ فِي تِلْكَ الغَزْوَةِ، فَالْتَمَسْنَا جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَوَجَدْنَاهُ فِي القَتْلَى، وَوَجَدْنَا مَا فِي جَسَدِهِ بِضْعًا وَتِسْعِينَ، مِنْ طَعْنَةٍ وَرَمْيَةٍ
“Aku termasuk dalam pasukan perang tersebut (yaitu perang Mu’tah). Lalu kami mencari jasad Ja’far bin Abi Tholib maka kami mendapatinya di tengah-tengah mayat-mayat perang, dan kami mendapati pada jasadnya adalah 90 sekian bekas tombak dan panah” (HR Al-Bukhari no 4261)
Dalam riwayat yang lain :
“فَعَدَدْتُ بِهِ خَمْسِينَ، بَيْنَ طَعْنَةٍ وَضَرْبَةٍ، لَيْسَ مِنْهَا شَيْءٌ فِي دُبُرِهِ” يَعْنِي فِي ظَهْرِهِ
“Akupun menghitung ada 50 bekas tikaman tombak dan sayatan pedang, dan tidak ada satu bekas lukapun yang ada di belakang tubuhnya”. Yaitu semua lukanya berada di bagian depan tubuhnya. (HR Al-Bukhari no 4260)
Ibnu Hajar berkata :
بَيَانُ فَرْطِ شَجَاعَتِهِ وَإِقْدَامِهِ
“Hadits ini menunjukan keberanian dan sikap maju tempurnya yang luar biasa.” (Fathul Baari 7/512)
Hadits ini menunjukan bahwa meskipun terluka ia tetap saja maju ke depan untuk bertempur, dan sama sekali tidak mundur balik lari, sehingga semakin banyak bekas luka di tubuhnya.
الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
(Balasan sesuai dengan perbuatan), karenanya Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap. Nabi bersabda :
أُرِيتُ جَعْفَرًا مَلَكًا يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ فِي الْجَنَّةِ
“Aku diperlihatkan Ja’far bin Abi Tholib menjadi malaikat yang terbang dengan kedua sayapnya di surga” (HR Ibnu Hibbaan no 7047 dan dishahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauuth)
As-Sya’bi berkata :
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، كَانَ إِذَا سَلَّمَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ، قَالَ: «السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا ابْنَ ذِي الجَنَاحَيْن
“Bahwasanya Ibnu Umar jika memberi salam kepada anaknya Ja’far maka ia berkata, “Assalaamu ‘alaikum wahai putra pemilik dua sayap” (HR Al-Bukhari no 3709)
Inilah yang menyebabkan Jafar bin Abi Thalib diberi gelar At-Thoyyaar, yaitu Ja’far yang terbang.
Setelah Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahuta’ala ‘anhu meninggal dunia maka digantikan oleh Abdullah bin Rawahah Radhiyallahuta’ala ‘anhu.
Setelah Abdullah bin Rawahah al-anshori Radhiyallahuta’ala ‘anhu memegang tampuk kepemimpinan, maka ia pun mengkokohkan kedua kakinya dan bertempur dengan penuh ketabahan menghadapi musuh yang begitu banyak hingga pada akhirnya ia pun meninggal dunia.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari salah seorang sahabat dari Bani Murroh yang ikut serta dalam perang Mu’tah ia berkata :
فَلَمَّا قُتِلَ جَعْفَرٌ أَخَذَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ الرَّايَةَ، ثُمَّ تَقَدَّمَ بِهَا، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ، فَجَعَلَ يَسْتَنْزِلُ نَفْسَهُ، وَيَتَرَدَّدُ بَعْضَ التَّرَدُّدِ، ثُمَّ قَالَ:
“Tatkala Ja’far terbunuh maka Abdullah bin Rawaahah mengambil bendera, lalu ia pun maju dengan membawa bendera tersebut, maka iapun menundukan jiwanya, dan ia agak sedikit ragu [5], lalu ia berkata:
قْسَمْتُ يَا نَفْسُ لَتَنْزِلِنَّهْ … لَتَنْزِلِنَّ أَوْ لَتُكْرَهِنَّهْ .. إنْ أَجْلَبَ النَّاسُ وَشَدُّوا الرّنّه … مَا لي أَرَاكِ تَكْرَهِينَ الْجَنَّهْ .. قَدْ طَالَ مَا قَدْ كُنْتِ مُطْمَئِنَّهْ … هَلْ أَنْتِ إلَّا نُطْفَةٌ فِي شَنَّهْ
“Aku bersumpah wahai jiwaku, sungguh engkau akan turun (dalam medan peperangan.., Engkau akan turun atau engkau sungguh-sungguh akan dipaksa untuk turun.., Jika orang-orang telah berteriak dan menyatu berbaur (dalam pertempuran) dan mereka mengeraskan suara mereka…. Kenapa aku melihatmu -wahai jiwaku- benci dengan surga.., Telah sekian lama engkau tenang, bukankah engkau hanyalah setetes air yang ada pada tempat air yang telah usang..” [6]
Ia juga berkata :
يَا نَفْسُ إلَّا تُقْتَلِي تَمُوتِي … هَذَا حِمَامُ الْمَوْتِ قَدْ صَلِيَتْ وَمَا تَمَنَّيْتِ فَقَدْ أُعْطِيتِ … إنْ تَفْعَلِي فِعْلَهُمَا هُدِيتِ
“Wahai jiwaku, jika engkau tidak terbunuh (dalam medan pertempuran) engkaupun akan mati.. Inilah keputusan kematian telah menjelang tiba…Apa yang kau angan-angankan telah dikabulkan” [7]….
“Jika engkau melakukan apa yang telah dilakukan oleh mereka berdua [8] maka engkau telah mendapat hidayah”
Lalu iapun maju berperang hingga mati syahid (Siroh Ibnu Hisyaam 2/379)
Rasulullah ﷺ pernah berkata :
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَإِنَّ عَيْنَيْهِ لَتَذْرِفَانِ ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدٌ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا يَسُرُّنِي أَنَّهُمْ عِنْدَنَا أَوْ قَالَ مَا يَسُرُّهُمْ أَنَّهُمْ عِنْدَنَا
“Yang akan membawa bendera adalah Zaid lalu dia terbunuh, kemudian Ja’far menggantikannya lalu dia terbunuh, kemudian Abdullah bin Rawahah menggantikannya lalu dia terbunuh.” -Perawi mengatakan : Nabi berkata sampai kedua mata beliau bercucuran air mata-, kemudian Khalid mengambil bendera tersebut tanpa perintah, lalu Allah memenangkan umat Islam dibawah kepemimpinannya. Kemudian beliau bersabda: “Tidaklah menyenangkan aku jika mereka (masih hidup) di sisi kita”, atau beliau mengatakan, “Tidaklah menyenangkan mereka jika mereka (masih hidup) di sisi kita” (HR Al-Bukhari no 3063)
Ini menunjukan Nabi bersedih dengan wafatnya ketiga panglima perang ini, akan tetapi kondisi mereka mati syahid lebih baik daripada mereka tetap hidup dan tetap bersama Nabiﷺ.
Setelah Abdullah bin Rawahah Radhiyallahuta’ala ‘anhu meninggal dunia, bendera kepemimpinan dipegang oleh sahabat yang bernama Tsabit bin Arqam Al-Badri. Tsabit bin Arqam Al-Badri adalah salah seorang sahabat yang pernah ikut dalam perang Badar.
Dalam riwayat Ibnu Ishaaq :
“Lalu bendera diambil oleh Tsabit bin Aqrom -salah seorang saudara Bani al-‘Ajlaan-, lalu ia berkata,
ثمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ ثَابِتُ بْنُ أَقْرَمَ أَخُو بَنِي الْعَجْلَانِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ اصْطَلِحُوا عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ، قَالُوا: أَنْتَ، قَالَ: مَا أَنَا بِفَاعِلِ. فَاصْطَلَحَ النَّاسُ عَلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ
“Wahai kaum muslimin sekalian, hendaknya kalian sepakat memilih salah seorang dari kalian !”. Mereka berkata, “Engkau saja”. Ia berkata, “Aku tidak akan menjadi pemimpin”. Lalu orang-orangpun bersepakat untuk menjadikan Kholid sebagai pempimpin” (Telah lalu dari periwayatan seorang sahabat dari Bani Murroh, dengan sanad yang hasan).
Dalam sebagian riwayat :
فَدَفَعَهَا إِلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، فَقَالَ: لِمَ تَدْفَعُهَا إِلَيَّ؟ قَالَ: أَنْتَ أَعْلَمُ بِالْقِتَالِ مِنِّي
“Maka Tsabit pun menyerahkan bendera ke Kholid bin al-Waliid, maka Kholid berkata, “Kenapa engkau menyerahkan bendera kepadaku?”. Tsabit berkata, “Engkau lebih ahli dalam peperangan dari pada aku” (HR At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Washiith 1645)
Ketika perang Mu’tah berlangsung, Rasūlullāh ﷺ yang saat itu berada di Madinah menceritakan kepada para sahabat yang tidak ikut berperang kejadian yang terjadi dalam peperangan.
Anas bin Malik berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَعَى زَيْدًا، وَجَعْفَرًا، وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ، قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ، فَقَالَ «أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ، فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ، وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ»
Nabiﷺ memberi kabar tentang wafatnya Zaid, Ja’far dan Abdullah bin Rawaahah kepada orang-orang sebelum khabar sampai kepada mereka. Nabi berkata, “Bendera dipegang oleh Zaid lalu ia meniggal, lalu diambil oleh Ja’far lalu ia meninggal, lalu diambil oleh Ibnu Rawaahah lalu ia meninggal -sementara kedua mata Nabi menangis- hingga diambil oleh sebuah pedang dari pedang-pedang Allah (yaitu Kholid) hingga Allah memenangkan mereka” (HR Al-Bukhari no 3757)
Di dalam riwayat lain, musnad Ahmad dengan sanad yang shahih Rasūlullāh ﷺ berkata kepada para sahabatnya,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا حَتَّى لَقُوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى أُصِيبَ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ الْأُمَرَاءِ هُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُصْبُعَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ هُوَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِكَ فَانْصُرْهُ فَيَوْمَئِذٍ سُمِّيَ خَالِدٌ سَيْفَ اللَّهِ
“Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang tentara kalian para pejuang ini, sesungguhnya mereka pergi hingga menemui musuh, lalu Zaid mati syahid, maka mintakan ampunan untuknya -orang-orang pun memintakan ampunan untuknya- kemudian bendera diambil Ja’far bin Abu Thalib kemudian memerangi musuh hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakan ampunan untuknya, kemudian bendera diambil ambil ‘Abdullah bin Rawahah, ia meneguhkan kaki hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakan ampunan untuknya, kemudian bendera diambil alih oleh Khalid bin Al Walid, ia bukan termasuk pemimpin yang ditunjuk, namun ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin.”
Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat dua jari beliau dan bersabda: “Ya Allah! Dia adalah salah satu pedangMu, berilah ia kemenangan. (HR Ahmad no 22551 dan dinyatakan oleh para pentahqiqnya : Shahih lighoirihi)
Walaupun Ghazwah Mu’tah merupakan peperangan pertama bagi Khalid bin Walid bersama kaum muslimin, namun Rasūlullāh ﷺ langsung memberi gelar Saifulllah (pedang Allah) kepada Khalid bin Walid di hadapan para sahabat yang tidak ikut peperangan di kota Madinah.
Rasūlullāh ﷺ mengatakan, ”Bendera peperangan dipegang oleh pedang dari pedang-pedang Allah.” Sejak saat itu Khalid dikenal dengan ”Saifullah”, pedang Allah. Hal ini menunjukkan betapa hebatnya Khalid ibnu Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu.
Ketika para sahabat di Mu’tah memberikan amanah kepada Khalid bin al-Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu, maka Khalid ibnu Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu memegang tambuk kepemimpinan dengan sangat luar biasa. Beliau berperang dengan begitu hebat.
Dalam Shahih Al-Bukhori, Khalid bin al-Walid berkata,
لَقَدِ انْقَطَعَتْ فِي يَدِي يَوْمَ مُؤْتَةَ تِسْعَةُ أَسْيَافٍ فَمَا بَقِيَ فِي يَدِي إِلَّا صَفِيحَةٌ يَمَانِيَةٌ
“Telah patah sembilan pedang di tanganku tatkala perang Mu’tah, sehingga tidak tersisa di tanganku kecuali pedang yang lebar buatan Yaman” (HR Al-Bukhari no 4265)
Dalam riwayat yang lain :
لَقَدْ دُقَّ فِي يَدِي يَوْمَ مُؤْتَةَ تِسْعَةُ أَسْيَافٍ
“Telah terpotong-potong di tanganku sembilan pedang…” (HR Al-Bukhari no 4266)
Ini menunjukan kuatnya dan hebatnya Kholid dalam pertempuran. Sampai-sampai pedang-pedang beliau yang terpatah-patah. Sementara kita mungkin tangan kita patah sementara pedang tidak patah-patah.
Dan sungguh bisa dibayangkan berapa banyak musuh yang terbunuh ditangan Khalid bin al-Walid.
Para sahabat terus berperang hingga tiba waktu malam maka peperangan dihentikan. Kaum kafirin banyak yang tewas sementara jumlah kaum muslimin yang wafat hanya 12 orang. Ibnu Hisyam bahkan menyebutkan pasukan kaum muslimin yang wafat hanya kurang dari 10 orang. Hal ini menunjukan betapa dahsyatnya peperangan yang terjadi dan betapa luar biasanya para sahabat dalam peperangan.
Ketika peperangan dihentikan pada sore hari, Khalid bin Walid memikirkan cara agar bisa selamat sehingga ia menyusun strategi perang. Secara logika tidak mungkin pasukan yang sedikit (hanya 3000) bisa mengalahkan pasukan Romawi yang jauh lebih banyak. Karenanya Kholid memikirkan bahwasanya jalan keluar satu-satunya adalah bagaimana pasukan kaum muslimin bisa mundur dengan kerugian sekecil-kecilnya.
Karenanya sikap mundur tersebut tidak boleh terkesan sebagai bentuk melarikan diri. Karena kalau terkesan melarikan diri maka tentu para pasukan Romawi akan terus mengejar. Akan tetapi bagaimana caranya agar pasukan kaum muslimin bisa mundur dengan selamat tanpa dikejar oleh pasukan Romawi, yaitu dengan mengesankan bahwa mundurnya mereka adalah salah satu dari bentuk strategi perang, atau seakan-akan kaum muslimin ingin menjebak pasukan Romawi ke medan pertempuran yang sulit.
Khalid bin Walid memerintahkan agar kuda-kuda kaum muslimin berlari-lari di medan pertempuran. Dikarenakan Mu’tah adalah daerah padang pasir maka ketika kuda-kuda berlarian, debu-debu pun berterbangan. Khalid bin Walid ingin memberikan kesan bahwasanya terdapat penambahan pasukan dari kota Madinah.
Khalid bin Walid juga memindahkan posisi pasukan kaum muslimin. Pasukan yang sebelumnya berada di sebelah kanan dipindah posisinya menjadi disebelah kiri dan sebaliknya. Pasukan yang sebelumnya berada di depan dipindah posisinya menjadi dibelakang dan sebaliknya. Hal ini akan menimbulkan kesan adanya pasukan baru sehingga pasukan kaum musyrikin semakin meyakini adanya penambahan pasukan baru dari Madinah.
Khalid bin Walid juga mengirimkan beberapa pasukan agak dibelakang kaum muslimin sehingga orang-orang Romawi akan menyangka terdapat pasukan baru yang akan datang dari Madinah.
Keesokan harinya ketika genderang perang dimulai, orang-orang Romawi dikagetkan dengan wajah-wajah baru dari pasukan kaum muslimin. Peperangan pun berlangsung dengan sengitnya maka Khalid bin Walid mulai mundur perlahan.
Khalid bin al-Walid ingin memberi kesan kepada orang-orang musyrikin bahwasanya Khalid memancing kaum musyrikin kearah Shahra’ (daerah gurun). Orang-orang musyrikin tidak terbiasa berperang didaerah shahra’, mereka terbiasa berperang di hutan-hutan dan bukit-bukit hijau. Orang-orang musyrikin mengira Khalid Bin Walid memancing mereka ke arah Shahra’ tempat dimana pasukan musyrikin tidak memiliki pengalaman berperang, sehingga mereka tidak mau terpancing.
Mereka berpikir, jika mereka terpancing masuk ke Shahra’ maka kaum muslimin akan semakin banyak jumlahnya sehingga ketika pasukan kaum muslimin bergerak mundur, pasukan kaum musrikin tidak bergerak maju. Mereka tidak mengejar pasukan kaum muslimin. Pasukan kaum muslimin pun kembali ke kota Madinah dengan selamat.
Pasukan Romawi tentu berpikir seribu kali untuk mengikuti/mengejar kaum muslimin, karena mereka telah merasakan bagaimana kuatnya pasukan kaum muslimin. Kholid yang sembilan pedang patah di tangannya, demikian juga Ja’far bin Abi Tholib yang sekujur tubuhnya penuh dengan luka namun tetap maju bertempur, ini semua menunjukan perlawanan kaum muslimin sangat dahsyat.
Sebagian ulama mengatakan perang Mu’tah merupakan kekalahan. Sebagian ulama mengatakan peperangan berakhir seimbang, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Pendapat yang kuat Wallahu a’lam bishowwab adalah kemenangan bagi kaum muslimin.
Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah jumlah pasukan yang meninggal dunia. Pasukan kaum muslimin yang meninggal dunia sebanyak 12 orang, ada yang mengatakan 10 orang sedangkan kaum musrikin banyak yang meninggal dunia.
Selain itu orang-orang Nashara tidak berani mengejar pasukan kaum muslimin. Hal ini menunjukan kehebatan dan ketegaran kaum muslimin dalam berperang yang membuat takut hati pasukan orang-orang musyrikin.
Ketika kaum muslim sampai di kota Madinah, tidak ada ejekan-ejekan dari kabilah-kabialh kaum musyrikin. Seandainya kaum musyrikin memenangkan peperangan maka mereka akan membacakan syair-syair ejekan untuk pasukan kaum muslimin namun, hal ini tidak terjadi. Bahkan setelah peperangan Mu’tah, banyak kabilah-kabilah arab yang masuk islam. Hal ini adalah bukti bahwasanya kaum muslimin memenangkan peperangan.
Rasūlullāh ﷺ juga menamakan hari itu sebagai kemenangan kaum muslimin. Didalam hadits sebagaimana telah disampaikan, Nabi berkata, “Kemudian bendera peperangan dipegang oleh pedang dari pedang Allah sampai akhirnya Allah memenangkan mereka.”
Rasūlullāh ﷺ mengatakan,
حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“sampai Allah memenangkan mereka”, yang artinya perang Mu’tah dimenangkan oleh kaum muslimin. Rasūlullāh ﷺ tidak mengatakan “sampai mereka diselamatkan Allah”, karena berbeda dengan kisah nabi Musa yang dikejar oleh pasukan Fir’aun kemudian Allah selamatkan mereka.
Faidah penting :
Hadits-hadits menunjukan bahwa ketiga panglima (Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Tholid dan Abdullah bin Rawaahah) dipastikan masuk surga.
Karena Nabi telah menyatakan mereka mati syahid, dan Nabi mempersaksikan syahadah (mati syahid) bagi mereka. Selain itu Nabi juga mengabarkan bahwa Ja’far bin Abi Tholib telah digantikan kedua tangannya dengan sayap di surga.
Akan tetapi tetap saja Nabi meminta para sahabat -yang masih hidup- untuk mendoakan mereka bertiga, mendoakan agar Allah mengampuni dosa-dosa mereka. Tentunya ini agar derajat mereka semakin tinggi di surga. Nabi berkata tentang Ja’far :
ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ
“Kemudian bendera diambil Ja’far bin Abu Thalib kemudian memerangi musuh hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakan ampunan untuknya”
Maka ini semua membantah keyakinan sebagian orang yang menyatakan bahwa orang yang mati syahid masih hidup dan kedudukannya sangat tinggi di sisi Allah, karenanya kita minta kepada mereka agar mendoakan kita di sisi Allah.
Memang benar bahwa orang yang mati syahid masih hidup sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Baqoroh : 154)
Demikian juga firmanNya :
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS Ali Imron : 169)
Memang mereka masih hidup akan tetapi dengan kehidupan khusus yaitu kehidupan alam barzakh di sisi Allah.
Karenanya kata Allah :
وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
(tetapi kamu tidak menyadarinya).
Karenanya bukan seperti kehidupan kita sekarang, dan tidak boleh diqiaskan seperti kehidupan kita sekarang. Jika syahid masih hidup seperti kehidupan sekarang, maka hartanya tidak boleh diwariskan dan istrinya tidak boleh dinikahi.
Demikian juga tidak perlu secara khusus kita mendoakannya karena ia bisa berdoa sendiri, akan tetapi ternyata Nabi menyuruh sahabat untuk mendoakan para syhuhadaa’.
Hal ini karena amalan mereka -diantaranya doa- telah terputus.
***
FOOTNOTE:
[2]. Adapun sikap Ja’far yang membunuh kudanya sendiri sebagian ulama menyatakan hal ini diperbolehkan dalam peperangan agar terus bertahan dalam perang dan tidak melarikan diri, atau karena Ja’far menduga bahwa perang tidak berimbang dan ia akan mati syahid, dan kudanya ia bunuh daripada jatuh ke tangan musuh dan dijadikan sebagai alat perang untuk memerangi kaum muslimin.
[3]. Dari Ibnu ‘Abbaas radhiallahu ‘anhumaa beliau berkata :
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ وَأَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ قَرِيبَةٌ مِنْهُ إِذْ رَدَّ السَّلَامَ ثُمَّ قَالَ: «يَا أَسْمَاءُ، هَذَا جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ سَلَّمُوا عَلَيْنَا فَرُدِّي عَلَيْهِمُ السَّلَامَ» … فَقَالَ: لَقِيتُ الْمُشْرِكِينَ فَأُصِبْتُ فِي جَسَدِي مِنْ مَقَادِيمِي ثَلَاثًا وَسَبْعِينَ بَيْنَ رَمْيَةٍ وَطَعْنَةٍ وَضَرْبَةٍ، ثُمَّ أَخَذْتُ اللِّوَاءَ بِيَدِي الْيُمْنَى فَقُطِعَتْ، ثُمَّ أَخَذْتُ بِيَدِي الْيُسْرَى فَقُطِعَتْ، فَعَوَّضَنِي اللَّهُ مِنْ يَدِي جَنَاحَيْنِ أَطِيرُ بِهِمَا مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ أَنْزِلُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْتُ، وَآكَلُ مِنْ ثِمَارِهَا مَا شِئْتُ… فَلِذَلِكَ سُمِّيَ الطَّيَّارُ فِي الْجَنَّةِ
“Tatkala Rasulullahﷺ sedang duduk dan Asmaa’ binti Umais (istri Ja’far bin Abi Tholib) dekat dengannya tiba-tiba Nabi menjawab salam, lalu Nabi berkata : “Wahai Asmaa’, ini Ja’far bin Abi Tholib bersama Jibril, Mikaail, dan Israfil memberi salam kepada kita, maka balaslah sama mereka !. …Maka Ja’far berkata : Aku bertemu dengan kaum musyrikin maka aku terluka di tubuhku karena sikapku yang terus maju sejumlah 73 luka, yaitu karena panah, tombak, dan pedang. Lalu aku memegang bendera dengan tangan kananku lalu terputuslah tangan tersebut. Lalu aku memegang bendera dengan tangan kiriku lalu terputuslah tangan tesrebut. Kemudian Allah mengganti kedua tanganku dengan dua sayap yang aku terbang dengannya bersama Jibril dan Mikail. Aku singgah ke surge ke mana yang aku sukai, aku makan dari buahnya yang aku sukai…karenanya Ja’far dinamakan dengan At-Thoyyar (yang terbang) di surga” (HR Al-Hakim no 4927 dan At-Thobroni di al-Mu’jam al-Awshoth 6936, dishahihkan oleh Al-Hakim dan didiamkan oleh Adz-Dzahabi. Adapun Ibnu Hajar maka beliau menghasankan hadits ini karena syawahid, lihat Fathul Baari 7/76)
[4]. Sebagaimana datang lafal pada riwayat Ibnu Hisyam beliau berkata :
وَحَدَّثَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَخَذَ اللِّوَاءَ بِيَمِينِهِ فَقَطِعَتْ، فَأَخَذَهُ بِشِمَالِهِ فَقُطِعَتْ، فَاحْتَضَنَهُ بِعَضُدَيْهِ حَتَّى قُتِلَ رَضِيَ اللَّهُ
“Dan telah menyampaikan kepadaku seseorang yang aku percayai dari kalangan ahli ilmu bahwasanya Ja’far bin Abi Tholib mengambil bendera dengan tangan kanannya lalu terputus, kemudian beliau mengambil bendera dengan tangan kirinya lalu terputus, lalu beliau memeluk bendera dengan kedua lengan atasnya hingga beliau meninggal” (Shiroh Ibnu Hisyaam 2/378)
[5]. Sanad riwayat ini diingkari oleh sebagian ulama kontemporer, karena dianggap bertentangan dengan kondisi para sahabat yang terkenal dengan keberanian mereka. Akan tetapi sesungguhnya munculnya “sedikit keraguan” pada diri Abdullah bin Rawaahah sama sekali tidaklah merendahkan kedudukan Abdullah bin Rowaah, karena hal ini adalah perkara yang sangat wajar, mengingat peperangan yang sangat tidak berimbang. Justru riwayat ini menunjukan kekokohan Abdullah bin Rawaahah melawan jiwanya dan ia berhasil menundukan jiwanya. Dan jelas Nabi telah menyatakan bahwa ia mati syahid. Dan tidaklah Nabi memilih beliau sebagai panglima perang kecuali setelah mengetahui keberanian dan kepahlawanan Abdullah bin Rawaahah. Wallahu a’lam.
Adapun riwayat Ibnu Ishaaq bahwa Nabi menyebutkan derajat Abdullah bin Rawaahah lebih rendah daripada kedudukan Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Tholib dikarenakan keraguan tersebut maka sanadnya terputus (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 6/423).
[6]. Ia memisalkan jiwa (nyawanya) yang ada pada badannya seperti setetes air yang ada di tempat air yang usang yang akan rusak, yang air tersebut sudah lama tenang dalam tempat tersebut akan tetapi tiba saatnya air tersebut akan keluar dari tempatnya karena tempatnya akan rusak.
[7]. Yaitu cita-cita beliau untuk mati syahid telah dikabulkan oleh Allah dihadapan mata beliau.
[8]. Yaitu yang telah dilakukan oleh Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Tholib, yaitu berperang hingga mati syahid.
Baca lebih banyak di: https://firanda.com/2592-sirah-nabi-27-ghazwah-mutah-bagian-3-selesai.html
Ping balik: Kumpulan Artikel Seputar Sirah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (2) | Abu Zahra Hanifa