Seri artikel ini adalah tentang kisah hidup Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, mengenai sikap dan keberpihakkannya ketika terjadi “Fitnah Pertama” ditengah umat islam. Kisahnya sangat menarik karena gugurnya beliau radhiyallahu anhu merupakan mukjizat kenabian dan akhir dari fitnah besar yang terjadi antara khalifah Ali dengan gubernur Muawiyah radhiyallahu’anhum.
Pada kesempatan ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang Perang Jamal dan latar belakang yang mendorong terjadinya peristiwa tersebut. Perang Jamal adalah perang saudara antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta para pendukungnya dengan kubu ummul mukminin Aisyah yang didukung oleh Thalhah dan al-Zubair.
Tidak beberapa lama kemudian, Ali sebagai khalifah baru, yang sedang melakukan perjalanan ke Irak untuk suatu urusan (akan diceritakan kemudian), mendengar sebuah berita, bahwa mereka bertiga, Aisyah, Talhah, dan al-Zubair tengah menggalang kekuatan pasukan besar dan melakukan perjalanan menuju ke Basrah, Irak.
Khalifah Ali bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan semua ini? Apa yang hendak mereka lakukan? Bencana apa yang akan datang? Padahal dia juga tengah menghadapi persoalan lain yang lebih ruwet yang dibebankan kepadanya setelah diangkat menjadi khalifah.
Desas-desus yang beredar mengatakan bahwa Aisyah, Talhah, dan al-Zubair menuju ke Basrah untuk mengejar para pembunuh Ustman di wilayah tersebut, dan mereka meminta bantuan para tokoh serta sebagian penduduk Irak yang turut menyesalkan terjadinya pembunuhan tersebut.
Ali mengkhawatirkan, bahwa pergerakkan mereka justru akan memperkeruh keadaaan, sebab bisa saja sebagian orang-orang di Basrah akan melakukan perlawanan sehingga terjadi bentrokan bersenjata. Semua itu menjadi pemikiran Khalifah Ali, maka dia memutuskan membelokkan rombongannya untuk menuju ke Basrah juga.
Dan benar saja, belum juga Ali tiba di Basrah, dia mendapatkan kabar, bahwa Aisyah dan kawan-kawan telah melakukan pertempuran dengan penduduk Basrah. Penduduk Basrah enggan menyerahkan keluarga mereka yang terlibat dalam pemberontakkan terhadap Ustman dan melakukan perlawanan.
Ammar bin Yasir Sebagai Delegasi Perundingan
Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Ali kemudian mengutus utusannya ke Kufah untuk meminta bantuan kepada orang-orang di sana. Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa utusan tersebut adalah Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali. Dengan demikian, berangkatlah mereka berdua ke Kufah.
Pada titik ini, situasi menjadi semakin tidak terkendali, ada banyak orang yang mulai berbicara buruk tentang Aisyah, namun Ammar justru menunjukkan pembelaannya terhadap Aisyah. Sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa riwayat di bawah ini:
Amr bin Ghalib meriwayatkan, ketika Ammar bin Yasir mendengar seseorang berbicara buruk tentang Ummul Muminin Aisyah, dia berkata, “Diamlah! Semoga engkau tetap dirampas kebaikannya dan terhina! Aku bersaksi bahwa dia pasti akan menjadi istri Rasulullah di Jannah.”
Riwayat lain menambahkan bahwa Ammar berkata kepada orang itu, “Pergilah! Semoga engkau dirampas semua kebaikannya! Apakah engkau menghina orang kecintaan Rasulullah?”
Suatu waktu Ammar pernah berkata, “Ibunda kami, Aisyah, memiliki pendapatnya sendiri. Kami tahu dengan pasti bahwa dia adalah istri Rasulullah baik di Dunia ini dan juga di Akhirat, tetapi Allah menggunakannya untuk menguji apakah Dia (Allah) yang kami patuhi atau dia (Aisyah).”
Abu Wail meriwayatkan, ketika Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali ke Kufah untuk mengajak orang-orang untuk berperang, Ammar berbicara kepada orang-orang itu, mengatakan, “Aku tahu betul bahwa dia (Aisyah) adalah istri Rasulullah di Dunia ini dan begitu pula berikutnya (di Akhirat), tetapi Allah menggunakan dia untuk menguji apakah Dia (Allah) yang kita taati atau dia (Aisyah).”
Dalam Fitnah Besar, Nubuat Kenabian mengatakan Ammar akan Di Bunuh oleh Pembangkang
Seperti pernah disampaikan dalam kisah sebelumnya, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bernubuat tentang sahabat Ammar bin yasir.
Ini terjadi ketika Ammar masih di Makkah dan sedang mengalami penyiksaan dari Bani Makhzum. Diriwayatkan oleh Amr bin Maimun, waktu itu kaum Musyirikin sedang menyalakan api untuk membakar Ammar, Rasulullah sedang melintas.
Meletakkan tangannya di atas kepala Ammar, Rasulullah berkata, “Wahai api! Jadilah sejuk dan nyaman bagi Ammar seperti yang engkau lakukan untuk Ibrahim.” Rasulullah kemudian memberi tahu Ammar bahwa (dia tidak akan mati karena penyiksaan ini, tetapi) sekelompok pemberontak akan membuatnya mati syahid.
Selain itu ada juga pernyataan dari Hudzaifah bin al-Yaman, pemilik rahasia Nabi tentang orang-orang munafik. Hudzaifah yang sedang berada di Kufah, meninggal terlebih dahulu ketika berita tentang kematian Utsman sampai ke sana.
Ketika sedang di pembaringan menghadapi kematiannya, sahabat-sahabatnya yang sedang menungguinya bertanya, “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?”
Hudzaifah lalu menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah (nama Ammar bin Yasir diambil dari sisi ibunya), karena sampai matinya dia tak hendak berpisah dengan kebenaran.”
Sekarang mari kita lanjutkan kisahnya.
Dari Kufah, Ali kemudian mengutus Qaqa bin Amr untuk menemui Aisyah, Talhah, dan al-Zubair dengan membawa setandan buah Zaitun.
Sesampainya Qaqa di Basrah, sejarawan Ibnu Katsir meriwayatkan dialog yang terjadi di antara mereka:
“Ummul Mukminin, apa maksud kedatanganmu ke Basrah ini?” tanya Qaqa.
“Untuk mencari perdamaian di antara manusia,” jawab Sayidah Aisyah.
“Dan kalian berdua, Talhah dan Zubair, apa pula maksud kalian datang ke sini?” tanya Qaqa kembali.
“Juga demi perdamaian di antara Kaum Muslimin!”
“Dapatkah Ibunda (Aisyah) dan kalian berdua mengemukakan bagaimana perdamaian yang bunda dan kalian kehendaki itu?”
“Dengan menuntut balas kematian Utsman dan membunuh si pembunuhnya!” jawab mereka.
“Sebenarnya tuan-tuan akan berhasil membunuh para pembunuhnya di antara warga Basrah ini, tetapi tuan-tuan lebih berada di jalan yang benar sebelum membunuh daripada sesudahnya. Tuan-tuan terlalu banyak membunuh.
“Jumlah orang yang tuan-tuan bunuh sudah mencapai 600 orang, sehingga hal ini menimbulkan kemarahan 6.000 orang-orang. Tuan-tuan mencari seorang pembunuh, yaitu Harqus bin Zuhair, akan tetapi tuan-tuan tidak dapat menemukannya karena ada 6.000 orang yang berpihak kepadanya dan melindunginya.
“Tak dapatkah bunda dan kalian memberi kesempatan kepada Amirul Mukminin Ali untuk menunda pembunuhan terhadap orang yang membunuh Utsman sampai keadaan memungkinkan? Saat ini pendapat di seluruh penjuru negeri Islam berbeda-beda.
“Sementara itu kelompok besar yang terdiri dari suku Rabiyah dan Mudhar telah berhimpun pula untuk menyalakan api peperangan yang dahsyat!”
“Lalu bagaimana pendapatmu hai Qaqa?”
“Bunda, kami berpendapat sebaiknya bunda dan kalian berdua lebih mengutamakan keselamatan dan memberikan baiat kepada Amirul Mukminin. Dan hendaknya tuan-tuan menjadi kunci kebaikan sebagaimana halnya tuan-tuan di masa lalu. Janganlah tuan-tuan membawa kami kepada bencana yang juga akan menyeret bunda dan tuan-tuan sendiri.”
Pembicaraan berakhir sampai di sini, dan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair dapat diyakinkan untuk perdamaian. Mereka lalu sepakat agar Ali datang ke Basrah agar persetujuan damai itu dapat terwujud dengan sempurna.
Besok harinya, Ali bersama rombongan berangkat ke Basrah. Namun ketika kedua belah pihak sedang mempersiapkan perjanjian damai, ada pihak lain, dengan ribuan pasukannya yang sedang mengintai secara tersembunyi, mereka tengah bersiap-siap melakukan penyerbuan
Para Pemberontak Menghancurkan Perdamaian
Di Basrah pada malam itu, dua pasukan besar Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Aisyah sudah begitu sangat dekat, mereka bermalam di kamp-nya masing-masing. Baik khalifah Ali dan ummul mukminin Aisyah sama-sama gembira menantikan proses perdamaian yang akan dilaksanakan keesokan paginya.
Tetapi bagaimanapun, kenyataan kadang tidak selalu beriringan dengan harapan. Belum juga fajar tiba, kelompok pemberontak beserta dua ribu orang prajurit yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan melancarkan serangan mendadak dan senyap ke pihak Aisyah.
Motivasi mereka hanya satu, yaitu jangan sampai perdamaian ini terwujud, sebab, jika itu terjadi, mereka harus menerima hukuman karena telah membunuh Utsman.
Mereka menyerbu tenda-tenda pasukan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair serta menebaskan pedang mereka ke leher para prajurit yang sedang tertidur. Pasukan Aisyah pun segera bangkit dari tidurnya dengan menghunus pedang mereka masing-masing dan melakukan perlawanan.
Pihak Aisyah merasa telah ditipu oleh Ali, mereka menyangka bahwa para penyerang ini adalah pasukan Ali. Kesalahpahaman dalam situasi yang berlangsung serba cepat ini tidak dapat diperbaiki lagi, pihak Aisyah menuduh tawaran damai dari Ali hanyalah sekadar tipu muslihat belaka. Tak ayal, mereka pun melakukan serangan balik ke pihak Ali.
Kedua pasukan besar ini berhadap-hadapan. Aisyah sendiri hadir di medan pertempuran, di tengah-tangah pasukannya dia menaiki seekor unta. Untuk alasan inilah, kelak, peristiwa ini disebut dengan Perang Jamal (Perang Unta).
Di tengah-tengah pertempuran Ali bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya ribuan Kaum Muslimin ini saling membunuh? Bukankah sebagian dari mereka berperang untuk membela dirinya dan sebagian lagi membela Aisyah, Talhah, dan al-Zubair?
Jika demikian, bukankah sebaiknya para pemuka ini saja yang saling berbicara satu sama lain untuk menyelesaikan persoalan mereka untuk menghentikan aliran darah Kaum Muslimin yang tidak ternilai harganya itu.
Sesudah berpikir demikian, dipacunyalah kudanya ke tengah barisan pasukan yang sedang bertempur, lalu dia berseru, “Hai Talhah, datanglah ke sini, dan hai Zubair datanglah juga ke sini!”
Mendengarnya, lalu keduanya pun setuju untuk mendekati Ali.
Jalannya Pertempuran
Ada banyak riwayat yang merekam dialog antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Talhah RA dan al-Zubair RA pada saat Perang Jamal. Ada yang mengatakan dialognya terjadi sebelum pertempuran pecah, namun ada juga yang mengatakan dialog itu terjadi di tengah pertempuran.
Berikut ini adalah salah satu versi dialog yang dituturkan oleh Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk:
Ali meninggalkan al-Zawiyah, untuk menemui Talhah, dan al-Zubair dan Aisyah meninggalkan al-Furdah, untuk menemui Ali, dan mereka semua bertemu di sebuah tempat di kastil Ubaidillah bin Ziyad pada hari Kamis, 14 Jumadil Akhir 36 H / 8 Desember 656 M.
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat,”al-Zubair menunggang kuda, bersenjata lengkap.
“Inilah dia al-Zubair!” Ali diberitahu.
“Ya Allah! Ya aku ingat, dan seandainya aku (sebelumnya telah) mengingatnya aku tidak akan menjadi seperti ini. Demi Allah! Aku tidak akan pernah berperang denganmu!”
Lalu Ali meninggalkan (mereka dan kembali) kepada para pengikutnya dan berkata, “Al-Zubair baru saja berjanji kepada Allah untuk tidak memerangi kalian.”
Al-Zubair kembali ke Aisyah dan berkata kepadanya, “Ini adalah satu-satunya situasi terpenting yang pernah aku alami sejak dapat berpikir, ketika aku tidak tahu apa yang aku lakukan.”
“Apa yang akan engkau lakukan ?” dia (Aisyah) bertanya.
“Aku ingin meninggalkan mereka dan pergi,” jawabnya.
“Engkau telah melihat bendera Ibnu Abi Thalib dan menyadari bahwa laki-laki muda yang kuat yang memimpin mereka (maksudnya Abdullah menuduh ayahnya ketakutan dan ingin lari-pen).”
“Aku telah bersumpah untuk tidak memeranginya!” jawabnya, dan apa yang dikatakan oleh putranya kepadanya membuatnya marah.
Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa setelah berbicara dengan Ali, al-Zubair melemparkan pedangnya sambil bercucuran air mata. Selain itu, juga dikatakan, apa yang membuat Talhah dan al-Zubair mundur adalah karena mereka teringat sebuah hadis: “Orang yang membunuhmu kelak (Ammar bin Yasir) adalah kaum durhaka.”
Perlu diketahui, dari sejak awal Ammar bin Yasir dalam peristiwa kali ini berada di pihak Ali.
Akhir Perang Jamal
Setelah khalifah ali mendengar pengakuan thalhah dan zubair, maka beliau radhiyallahu’anhu memerintahkan untuk merobohkan unta yang dikendarai oleh ummmul mukminin aisyah. Tujuannya, untuk mengalihkan beliau radhiyallahu’anha dari pusat dan sasaran pertempuran.
Setelah pasukan Ali berhasil merobohkan unta sayyidah aisyah, kemudian pasukan khalifah ali dan yang tersisa di sekitarnya kembali melindungi ummul mukminin radhiyallahu’anha.
Kemudian, Muhammad bin Abu Bakar dan ammar bin yasir dengan sekelompok orang, dan mendekati dan membawa pergi tandu sayyidah aisyah ketempat yang aman.
Ali kemudian datang kepadanya dan berkata, “Wahai ummul mukminin ! Semoga Allah mengampuni kami dan engkau!”
“Semoga Dia mengampuni kami dan engkau!” jawabnya.
Dalam riwayat versi lainnya, masih dari al-Sari, dialog antara Ali dan Aisyah berlangsung seperti ini:
Ali lalu tiba. “Bagaimana keadaanmu, wahai ummul mukminin?” dia bertanya padanya.
“Baik.”
“Semoga Allah memaafkanmu!” dia berkata.
“Dan juga engkau,” jawabnya.
Ummul Mukminin Kembali Ke Madinah
Ali membekali Aisyah dengan segala yang dibutuhkannya dalam perjalanan: hewan-hewan tunggangan, perbekalan, dan barang-barang lainnya; dan mempersilakan bersamanya (untuk ikut) orang-orang yang telah berperang di sisinya dan selamat, kecuali bagi siapapun yang ingin tetap tinggal di sana (Basrah).
Dia juga memilih empat puluh wanita Basrah terkemuka untuk mengantarnya. “Bersiaplah untuk perjalanan, wahai Muhammad (bin abu bakar)! kata Ali, “dan pastikan dia (Aisyah) tiba dengan selamat”.
Lalu pada hari dia (Aisyah) hendak berangkat, dia (Ali) datang kepadanya untuk berdiri dan mengucapkan selamat tinggal padanya. Orang-orang juga hadir di sana, dia (Aisyah) menghampiri mereka, dan mereka mengucapkan selamat tinggal padanya dan dia pun kepada mereka.
“Demi Allah! Tidak pernah ada (masalah) apa pun di masa lalu antara aku dan Ali selain dari apa yang biasanya terjadi antara seorang wanita dan menantunya. Menurut pendapatku dia telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu orang yang terbaik, terlepas dari kritikku.”
“Demi Allah, wahai orang-orang!” jawab Ali. “Dia telah mengatakan kebenaran dan tidak lain kecuali kebenaran. Hanya itu yang ada di antara kita. Dia adalah istri Nabimu, sekarang dan selamanya!” Teriak Ali kepada orang yang disekitarnya.
Ali mengawalnya untuk beberapa kilometer dan kemudian menyerahkan kepada para putranya untuk menemaninya lagi selama sehari.
Sejarawan Khalid Muhammad Khalid menyimpulkan, bahwa mundurnya Talhah dan al-Zubair dari medan pertempuran, padahal mereka adalah orang-orang yang berada di pucuk pimpinan, adalah merupakan suatu bukti bahwa Ali berada di pihak yang benar. Selain itu, di kemudian hari Aisyah juga dilaporkan menyesali keterlibatannya dan tidak pernah mau berurusan kembali terkait urusan kenegaraan.
-semoga bermanfaat-
***
Sumber Bacaan :
- https://ganaislamika.com/ammar-bin-yasir-12-perang-jamal-1/
- https://ganaislamika.com/ammar-bin-yasir-13-perang-jamal-2-sikap-ammar/
- https://ganaislamika.com/ammar-bin-yasir-14-perang-jamal-3/
- https://ganaislamika.com/ammar-bin-yasir-16-perang-jamal-5/
- https://ganaislamika.com/ammar-bin-yasir-17-perang-jamal-6/
- https://ganaislamika.com/ammar-bin-yasir-18-perang-jamal-7-epilog/