Para Pejuang Dalam Perang Badar

Yaumul-Furqân. Itulah nama lain untuk menyebut hari berkecamuknya perang yang pertama kali dalam Islam, perang Badar. Meskipun bukan peperangan yang besar, namun sangat menentukan perjalanan sejarah Islam.

Karenanya dalam Al-Quran disebut Yaumul-Furqân, yaitu hari kebenaran menaklukkan kebatilan. Pada peperangan itu kaum Muhajiriin harus berhadapan dengan orang-orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka.

Baca lebih lanjut

Keutamaan Para Sahabat Yang Ikut Dalam Perang Badar

Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian adalah (ketika itu) lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri-Nya“. [Ali Imrân/3:123]

Ketika menjelaskan makna ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan : “Yaitu saat terjadi perang Badar yang bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah. Hari itu disebut juga Yaumul furqân (hari pembedaan antara yang haq dan yang batil-red).

Baca lebih lanjut

Peperangan Di Masa Rasulullah (1/3)

Perang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa manusia. Karena dalam peperangan manusia dihadapkan dengan kesusahan fisik dan mental. Perang juga memisahkan manusia dari keluarga dan kerabat. Bahkan perang bisa berakibat berpisahnya ruh dari jasadnya.

Allah Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Baca lebih lanjut

Sejarah Piagam Madinah, Konstitusi Pertama Di Dunia Islam

Tidak banyak orang tahu mengenai sejarah Islam yang telah ada sejak dulu, seperti halnya terkait Piagam Madinah. Agar lebih menambah wawasan, ada baiknya Anda mengetahui awal mula, sejarah, latar belakang terbentuknya, tujuan hingga isi dari naskahnya.

Apa Itu Piagam Madinah?

Dapat dilihat dari namanya, piagam Madinah disebut juga dengan “Konstitusi Madinah”, yang ditulis pada tahun 622 Masehi juga merupakan konstitusi pertama di dunia Islam. Isinya membahas tentang hubungan para umat Islam yaitu kaum Anshar dengan Muhajirin.

Baca lebih lanjut

Sirah Nabi (44) : Piagam Madinah

Saat sudah menetap di Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengatur hubungan antar individu di Madinah. Berkait tujuan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis sebuah peraturan yang dikenal dengan sebutan Shahîfah atau kitâb atau lebih dikenal sekarang dengan sebutan watsîqah (piagam).

Mengingat betapa penting piagam ini dalam menata masyarakat Madinah yang beraneka ragam, maka banyak ahli sejarah yang berusaha membahas dan meneliti piagam ini guna mengetahui strategi dan peraturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menata masyarakatnya.

Baca lebih lanjut

Kehidupan Di Madinah Pasca Hijrah

Hijrah bukan semata-mata menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang kafir atau pindah dari negeri kufur, akan tetapi makna hijrah yang lebih jauh adalah berkumpul dan tolong-menolong untuk menegakkan jihad fi sabilillah meninggikan kalimat Allah dengan menyebarkan ilmu, amal, dan dakwah serta memerangi setiap orang yang menghalangi jalan dakwah.

Oleh karena itu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di negeri hijrah –Madinah-, beliau dan para sahabat tidak sepi dari aktivitas membangun masyarakat yang islami.

Baca lebih lanjut

Keadaan Muhajirin Setelah Tiba Di Madinah

Kaum muslimin yang telah menempuh perjalanan hijrah dari Mekkah menuju Madinah menghadapi beberapa permasalahan sosial. Kedatangan mereka yang tanpa perbekalan memadai ke suatu daerah agraris yang sangat berbeda dengan daerah asal yang gersang menjadi faktor pemicu.

Intinya, mereka membutuhkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan pemukiman. Persaudaraan (almuâkhâh) yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara kaum Muhâjirîn dan Anshar sudah merupakan salah satu solusi untuk meminimalisir problematika di atas.

Baca lebih lanjut

Kebijakan Rasulullah Dalam Menuntaskan Kemiskinan Kaum Muhajirin

Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh cara berpikir dan system perekonomian Yahudi. Dalam bidang ekonomi, bangsa Yahudi menjalankan sistem riba. Mereka sangat mahir dalam hal ini dan selalu melakukannya di setiap tempat, termasuk di Mekah dan Madinah.

Setelah Islam datang, ikatan akidah merubah sistem ini menjadi sistem persaudaraan, gotong royong dan saling membantu. Islam sangat menekankan sisi persaudaraan sesama Muslim dalam memperkuat keutuhan masyarakatnya, terutama dalam bidang ekonomi.

Baca lebih lanjut

Sirah Nabi (41) : Persaudaraan antara Muhajirin & Anshar

Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara“.

Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.

Baca lebih lanjut

Hijrah Ke Madinah (3) : Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshar

Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Ketika itu mereka berjumlah 90 orang. Mereka dipersaudarakan atas persamaan, saling mewarisi sampai terjadinya peristiwa Badr.

Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat,

وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah....” (al-Anfal: 75).

Baca lebih lanjut