Kumpulan Artikel Seputar Sunnah & Bid’ah

Kedudukan As-Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum Muslimin dimulai dari masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in sampai zaman sekarang ini dan sampai hari Kiamat merupakan suatu kenyataan yang diterima sebagai kebenaran yang pasti dan tidak perlu dibuktikan lagi serta tidak dapat diragukan.

Barangsiapa yang menela’ah Al-Qur-an dan As-Sunnah, niscaya akan menemukan besarnya pengaruh As-Sunnah dalam pembinaan syari’at Islam dan keagungan serta keabadiannya yang tidak mungkin diingkari oleh pakar-pakar yang mengerti masalah ini.

Baca lebih lanjut

Pengertian Bid’ah Menurut Bahasa

Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani.

Kata Bada’a dalam bahasa mempunyai dua makna [1], yaitu :

Pertama :

Berarti sesuatu yang diciptakan (diadakan) tanpa ada contoh sebelumnya. Makna ini sebagaimana dalam firman Allah. “Artinya : Katakanlah, “Aku bukanlah rasul pertama diantara para rasul” [Al-Ahqaaf : 10]

Makna ini juga terdapat dalam perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu. “Artinya : Sebaik-baiknya bid’ah” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 4/250 no.2010]. Baca lebih lanjut

Hubungan Antara Ibtida’ & Ihdaats

Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani.

Ibtida’ dan Ihdats dalam asal bahasa mempunyai kesamaan makna, yaitu mendatangkan sesuatu yang baru yang belum ada sebelumnya.

Adapun dalam makna syar’i, maka ke-empat hadits yang lalu telah menunjukkan bahwa bid’ah itu menurut syari’at mempunyai dua nama, yaitu “bid’ah dan muhdatsat”. Hanya saja kata bid’ah banyak dipergunakan dan diungkapkan pada urusan (sesuatu) yang diada-adakan dan tercela dalam agama saja. Adapun kata muhdatsat banyak diungkapkan pada sesuatu yang diada-adakan lagi tercela, baik dalam masalah agama ataupun yang lainnya. Baca lebih lanjut

Hubungan Antara Bid’ah & Maksiat

Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani.

A. Kesamaan Bid’ah Dengan Maksiat.

[1]. Keduanya sama-sama dilarang, tercela dalam syari’at, dan pelakunya mendapat dosa. Maka sesungguhnya bid’ah masuk di dalam kemaksiatan [lihat Al-Itisham 2/60]. Dengan tinjauan ini, setiap bid’ah adalah maksiat, tapi tidak setiap maksiat adalah bid’ah.

[2]. Keduanya bertingkat-tingkart, bukan satu tingkatan saja, karena –menurut kesepakatan ulama- maksiat itu terbagi dalam kemaksiatan yang bisa membuat pelakunya kafir, dan kemaksiatan yang sifatnya kaba’ir (dosa-dosa besar) dan shagha’ir (dosa-dosa kecil) [lihat Al-Jawaabul Kaafi 145-150], begitu juga bid’ah terbagi menjadi : Baca lebih lanjut

Hubungan Antara Bid’ah & Niat Baik

Oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari.

Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbesit dalam hati untuk melakukan bid’ah!. Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]. Baca lebih lanjut

Hubungan Antara Adat & Ibadah

Oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari.

Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”.

Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”. Baca lebih lanjut

Hubungan Antara Bid’ah & Maslahah Mursalah

Oleh Muhammad bin Husain Al-Jizani.

A. Kesamaan Antara Bid’ah Dan Mashlahat Mursalah

[1]. Kedua-duanya (baik bid’ah ataupun maslahat mursalah) merupakan bagian dari hal-hal yang belum pernah terjadi pada masa nabi –apalagi maslahat mursalah-. Kejadian seperti ini umumnya berupa bid’ah-bid’ah –dan ini sangat sedikit- pada zaman Nabi, seperti dalam kisah tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[2]. Sesungguhnya masing-masing bid’ah –biasanya- dan maslahat mursalah keduanya luput dari dalil yang spesifik, karena dalil-dalil umum yang muthlaq-lah yang paling mungkin untuk dijadikan sebagai dalil kedua hal itu. Baca lebih lanjut

Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah (6) : Sebagian Sahabat Telah Melakukan Perbuatan Bid’ah

Diantara syubhat yang dijadikan dalih oleh para pendukung bid’ah hasanah adalah pernyataan mereka bahwa sebagian sahabat telah melakukan perbuatan-perbuatan ibadah yang bid’ah yang tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan hal tersebut, akan tetapi ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.

Contoh akan hal ini diantaranya :

Pertama :

Kisah Khubaib radhiallahu ‘anhu yang sholat dua raka’at sebelum terbunuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya. Baca lebih lanjut

Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah (4) : Apa saja yang Dipandang Baik oleh Kaum Muslimin maka Disisi Allah juga Merupakan Kebaikan

Diantara dalil yang digunakan oleh para pendukung bid’ah hasanah adalah sebuah atsar yang diakui sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan” (HR Ahmad).

Karenanya jika kaum muslimin memandang suatu bid’ah baik maka ia juga baik di sisi Allah. Baca lebih lanjut

Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah (3) : Sabda Nabi, “Barangsiapa Memulai Dalam Islam Perbuatan yang Baik Maka baginya Pahala dari Perbuatannya tersebut”

Diantara dalil yang dipegang oleh pendukung bid’ah hasanah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ.

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim no 1016). Baca lebih lanjut