Syarat Sah Shalat (4) : Menghadap Kiblat


Kita diperintahkan untuk shalat menghadap kiblat. Apa yang dimaksud kiblat? Kita bisa pahami dari tulisan berikut ini yang bersumber dari kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.

Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,

وَمِنْهَا: اِسْتِقْبَالُ اَلْقِبْلَةِ

قَالَ تَعَالَى: { وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ } اَلْبَقَرَةِ: 150

Di antara syarat shalat lainnya adalah menghadap kiblat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.’ (QS. Al-Baqarah: 150)”.

Apa itu Kiblat?

Kiblat secara bahasa artinya jihhah (arah). Secara syar’i berarti menghadap Ka’bah musyarrafah (yang dimuliakan).

Kisah Menghadap Baitul Maqdis

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sekitar sepuluhan bulan menghadap Baitul Maqdis setelah beliau tiba di Madinah. Orang Yahudi lantas senang akan hal itu. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senang menghadap Baitul Maqdis karena menyukai kiblatnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Setelah itu beliau berdoa kepada Allah, menengadah ke langit, berharap supaya Jibril turun dan mendatangkan jawaban atas yang diminta. Kemudian turunlah firman Allah,

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖفَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚفَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚوَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)

Dengan ayat di atas, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menghadap Ka’bah. Karena pengalihan ini, orang Yahudi lantas mengatakan, ia sebenarnya rindu menghadap kiblat bapaknya Ibrahim, namun kenapa ia tinggalkan kiblat tersebut. Ia shalat menghadap ke arah ini, lalu berpaling ke arah lain. Kaum musyrikin menanggapi dengan mengatakan, Muhammad telah rancu dan ragu akan agamanya sendiri. Sedangkan orang munafik menyatakan, kenapa sampai ia berpaling, ia shalat menghadap satu arah pada satu waktu dan beralih ke arah lainnya pada waktu lainnya. Kemudian Allah menurunkan ayat,

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚقُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus“.” (QS. Al-Baqarah: 142)

Menghadap Qiblat itu Syarat Sah Shalat

Tidak ada beda pendapat di antara para ulama bahwa menghadap Ka’bah dalam shalat merupakan syarat sahnya shalat, ini berlaku bagi yang mampu menghadapnya sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144)

Bagi yang mampu menghadap kiblat, maka tidak sah jika tidak menghadapnya. Demikian ijmak kaum muslimin.

-o-

Di antara syarat shalat lainnya adalah menghadap kiblat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 150)

Ketika tidak mampu menghadap kiblat karena sakit atau sebab lainnya, maka menghadap kiblat jadi gugur sebagaimana semua kewajiban jadi gugur ketika tidak mampu. Karena Allah Ta’ala berfriman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).

Keadaan Pertama Menghadap Kiblat Menjadi Gugur : Ketika Tidak Mampu

Dicontohkan oleh Syaikh As-Sa’di seperti dalam keadaan sakit. Keadaan lainnya seperti ketika shalat khauf (shalat dalam keadaan genting).

Tidak Ada Kewajiban Ketika Tidak Mampu

Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam bait syair kaedah fikihnya mengatakan,

وَ لَيْسَ وَاجِبٌ بِلاَ اِقْتِدَارٍ

“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu,”

Dalam penjelasan Ghayah Al-Muqtashidin (1:189-190) disebutkan, “Setiap yang Allah dan Rasul-Nya wajibkan, atau dijadikan syarat ibadah, atau rukun ibadah, atau jadi sah tidaknya suatu ibadah, maka tetap melihat pada kemampuan. Karena hal-hal ini termasuk yang diperintahkan, sehingga perlu melihat pada kemampuan. Dalam hal ‘ajez(ketidakmampuan), maka tidak diperintahkan dan tidak dibahas sah atau tidaknya ibadah ketika itu. Seperti berdiri saat shalat, membaca surat, ruku’, dan sujud dilakukan ketika mampu. Hal tersebut jadi gugur ketika tidak mampu. Seperti saat kita mampu menutup aurat, maka menutup aurat menjadi syarat. Begitu pula bentuk ibadah lainnya seperti zakat, puasa, dan haji menjadi gugur ketika tidak mampu. Namun kalau ada pengganti, tetap beralih kepada pengganti. Seperti tidak mampu bersuci dengan air, maka beralih kepada tayamum. Tidak mampu shalat berdiri, maka diganti shalat dalam keadaan duduk. Tidak mampu berpuasa, maka diganti dengan tidak puasa dan mengeluarkan fidyah. Tidak mampu menunaikan haji dengan badan, maka ia dihajikan oleh lainnya dengan hartanya karena Allah Ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16). Juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا نَهَيتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ ، وَإَذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأَتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah. Jika aku memerintahkan kalian pada suatu perintah, maka jalankanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengatakan kepada ‘Imran bin Hushain,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, maka tidurlah menyamping.” (HR. Bukhari, no. 1117).”

-o-

Sekarang lanjutan terakhir dari bahasan menghadap kiblat yaitu kaitannya menghadap kiblat saat melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan.

Di antara syarat shalat lainnya adalah menghadap kiblat. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 150)

Ketika tidak mampu menghadap kiblat karena sakit atau sebab lainnya, maka menghadap kiblat jadi gugur sebagaimana semua kewajiban jadi gugur ketika tidak mampu. Karena Allah Ta’ala berfriman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah ketika safar di atas kendaraannya menghadap ke mana saja arah kendaraan tersebut. Hal ini disebutkan dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih. Dalam lafazh lain disebutkan, beliau shalat di atas kendaraan selain melakukan shalat wajib.

Keadaan Kedua Menghadap Kiblat Menjadi Gugur : Ketika Melakukan Shalat Sunnah bagi Musafir di Atas Kendaraan

Dari Jabir bin ’Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari, no. 400).

Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul ihram menghadap kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar dan ingin melaksanakan shalat sunnah lantas beliau mengarahkan kendaraannya ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir, lalu beliau shalat sesuai arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud, no. 1225. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Adapun dalam shalat fardhu (shalat wajib), menghadap kiblat merupakan syarat.

Shalat di Pesawat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Penumpang pesawat jika ingin mengerjakan shalat sunnah, maka ia shalat ke arah mana pun, tidak wajib baginya menghadap kiblat. Karena ada hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya saat safar dengan menghadap arah mana pun.

Adapun untuk shalat fardhu, wajib menghadap kiblat. Ketika itu juga tetap melakukan ruku’ dan sujud jika memungkinkan. Jika mampu melakukan seperti itu, maka boleh melakukan shalat di pesawat. Namun jika shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat sesudahnya, seperti jika masuk waktu Zhuhur dan shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat Ashar atau shalat Maghrib dijamak dengan shalat Isya, maka lebih baik dilakukan jamak takhir. Hendaklah penumpang bertanya pada petugas di pesawat mengenai arah kiblat jika memang di dalam pesawat tidak ada petunjuk arah kiblat. Jika tidak mencari arah kiblat lebih dahulu, shalatnya tidaklah sah.” (Majalah Ad-Da’wah,no. 1757, hlm. 45, dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 82536)

Dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 82536, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyebutkan, “Jika tidak mampu berdiri dan tidak mampu menghadap kiblat, maka shalatnya sah. Namun jika mampu untuk berdiri dan menghadap kiblat, namun tidak dilakukan, shalatnya tidaklah sah.”

Menghadap Kabah Langsung dan Menghadap ke Arah (Jihhah)

  • Pertama: Wajib menghadap kea rah Kabah bagi yang melihat Kabah secara langsung. Ada klaim ijmak (sepakat ulama) tentang hal ini dari Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, dan Ibnu Taimiyyah.
  • Kedua: Bagi yang berada di Makkah dan dapat melihat Kabah secara langsung, maka disyaratkan menghadap Kabah. Bagi yang tidak mampu melihatnya secara langsung karena jauh dari Kabah, maka cukup menghadap jihhah (arah saja). Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Ash-Shan’ani, Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
  • Ketiga: Bagi yang berada di luar Makkah, maka ia cukup menghadap ke jihhah (arah) Kabah. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hambali, salah satu pendapat ulama Syafi’iyah, dan menjadi pendapat Ibnu Hazm. Lihat bahasan dalam Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 191.

Melenceng Sedikit dari Arah Kiblat

Dalam Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin (1:188) disebutkan bahwa menghadap ke arah (al-jihhah) dan menyimpang sedikit tidaklah masalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

Arah antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Tirmidzi, no. 342, dari Abu Hurairah. Tirmidzi mengatakan hadits ini shahih. Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil dan Misykah Al-Mashabih bahwa hadits ini shahih). Berarti antara arah timur dan barat adalah kiblat.

Dalam Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat (hlm. 192) disebutkan pula bahwa menyimpang sedikit dari jihhah (arah Kabah) tidaklah masalah. Inilah pendapat dari ulama Hanafiyah, Hambali, salah satu pendapat dari Imam Malik, pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnu ‘Utsaimin, dan juga merupakan pendapat dari Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

***

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Selengkapnya dalam sumber :

One response to “Syarat Sah Shalat (4) : Menghadap Kiblat

  1. Ping balik: Kumpulan Artikel Seputar Ibadah Shalat | Abu Zahra Hanifa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s