Sekarang kita masuk bahasan syarat shalat “Menutup Aurat” dari kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
وَمِنْ شُرُوْطِهَا : سَتْرُ العَوْرَةِ بِثَوْبٍ مُبَاحٍ لاَ يَصِفُ البَشَرَةَ
“Dan di antara syarat shalat adalah menutup aurat dengan pakaian yang mubah yang tidak menyifatkan kulit”.
Perintah Menutup Aurat
Maksud dari kalimat Syaikh As-Sa’di rahimahullah adalah wajib menutup aurat dalam shalat dan wajib menutup bagian yang diharamkan untuk dilihat.
Dalil perintah menutup aurat adalah firman Allah,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚإِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk memakai zinah (berhias diri) dan menutup aurat merupakan bagian dari berhias diri.
Dari Ummul Mukmini Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidaklah menerima shalat wanita yang haidh (telah baligh) kecuali dengan mengenakan khimar.” (HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Syarat Pakaian yang Menutupi Aurat
1). Pakaiannya menutupi badan (aurat).
2). Pakaian tersebut suci.
Dalil pakaian itu harus suci adalah firman Allah,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Mudattsir: 4)
3). Pakaian tersebut mubah.
Jadi pakaian tersebut bukanlah yang haram. Contoh pakaian yang bermasalah:
- laki-laki memakai kain sutera tanpa kebutuhan.
- memakai pakaian syuhrah (ketenaran, tampil beda),
- pakaian musbil untuk laki-laki (menjulur di bawah mata kaki) pada sarung atau celana,
- pakaian yang ada unsur tasyabbuh (menyerupai pakaian non-muslim),
- pakaian dari usaha yang haram seperti mencuri atau merampas
Menurut salah satu pendapat, shalat dengan pakaian bermasalah seperti di atas tidak sah sebagaimana shalat di tanah rampasan. Namun pendapat lain menyatakan bahwa shalatnya tetap sah, namun berdosa. Karena larangan yang ada tidak terkait langsung dengan shalat, yaitu larangan tersebut tidak kembali pada dzat shalat. Karena hal-hal yang disebutkan di atas berlaku di dalam maupun di luar shalat. Seperti misalnya seseorang mencuci pakaiannya dengan air curian, shalat dengan pakaian seperti itu sah, namun berdosa karena mencuri airnya. Pendapat yang menyatakan sah, inilah yang menjadi pendapat Hanafiyah, pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, ini juga menjadi pendapat Syafi’iyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat.
4). Pakaian tersebut tidak menyifati kulit.
Maksudnya adalah kalau masih menampakkan kulit berarti tidaklah menutup aurat. Jika masih menampakkan warna kulit, maka bukan menutup.
-o-
Aurat Wanita Dalam Shalat
Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidaklah menerima shalat wanita yang telah haidh (telah baligh) kecuali dengan mengenakan khimar.” (HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Yang dimaksud shalat wanita yang telah haidh yaitu shalat wanita yang telah baligh. Namun bukan hanya haidh sebagai tanda baligh, tanda baligh bisa pula dengan ihtilam (mimpi basah). Di dalam hadits ini diibaratkan wanita baligh dengan haidh karena jadi tanda baligh yang khusus bagi wanita. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (5:277) menyatakan bahwa sepakat para ulama, mimpi basah yang didapati laki-laki dan perempuan menjadikan wajib untuk ibadah, hudud, dan hukum lainnya.
Khimar yang dimaksud dalam hadits ini adalah sesuatu yang menutup kepala wanita.
Beberapa faedah dari hadits ini:
- Wajib bagi wanita yang telah baligh untuk menutup kepalanya dalam shalatnya.
- Jika rambut wanita terbuka dalam shalatnya, shalatnya tidaklah sah, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Tirmidzi untuk judul bab hadits ini.
- Anak perempuan yang belum baligh shalatnya tetap sah walau ia shalat dalam keadaan kepala terbuka karena auratnya lebih ringan dibanding wanita dewasa.
- Adapun untuk wajah, wanita hendaklah membuka wajahnya ketika shalat. Hal ini adalah ijmak (kata sepakat para ulama) seperti dinyatakan oleh Ibnu Baththol dan Ibnul Mundzir. Kecuali jika ada laki-laki yang bukan mahram (seperti ipar laki-lakinya, anak dari pamannya atau sepupu) wajib menutup wajahnya menurut pendapat paling kuat di antara pendapat para ulama. Karena untuk memandang itu jadi aurat, menutup wajah lebih menjauhkan diri dari godaan, menutup wajah lebih menyelamatkan agama, dan membawa maslahat bagi kaum muslimin.
- Adapun dua telapak tangan sampai dengan pergelangan tangan, menurut jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh menampakkan telapak tangan dalam shalat.
- Adapun kedua telapak kaki untuk wanita adalah aurat dalam shalat. Inilah yang jadi pendapat Syafi’iyah, Hambali, Malikiyah.
Masalah Kaki Wanita dalam Shalat
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan gamis dan kerudungnya saja, lalu tidak memakai izar (sarung di bawahnya)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظُهُورَ قَدَمَيْهَا
“Boleh jika memang gamisnya lebar memanjang hingga menutupi punggung telapak kakinya.” (HR. Abu Daud, no. 640. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini yang tepat adalah mawquf, hanya perkataan dari Ummu Salamah, bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dinyatakan yang sama oleh ‘Abdul Haqq Al-Isybiliy. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:335-336). Walaupun hadits ini dhaif, Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa inilah yang dituntut minimal pada wanita yaitu ia menutupi seluruh badannya walaupun dengan selembar kain dari atas sampai bawah. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:336.
Yang jelas tetap ada perintah menutup dirinya dengan gamis dan penutup kepala. Ini sudah dikenal sejak masa salafush shalih dahulu. Sebagaimana ada riwayat dari Ummul Hasan bahwa Ummu Salamah—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—shalat dengan memakai gamis dan khimar. Ada juga riwayat dari Al-Auza’i bahwa ‘Atha’ mengatakan para wanita dahulu shalat dengan gamis dan khimar. Begitu pula ditemukan hal ini pada istri Nabi lainnya seperti Maimunah sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah Al-Khaulani. Menutup dengan gamis yang lebar dan khimar, inilah yang lebih sempurna dan afdal serta lebih baik dalam menutup aurat wanita dalam shalat.Inilah yang nampak dari shahabiyah dahulu ketika shalat sebagaimana diceritakan oleh Aisyah saat menyebut pakaian al-muruth (pakaian yang lebar) ketika para shahabiyah menghadiri shalat Shubuh. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:337.
Menutup Aurat di Dalam Shalat Berbeda dengan Di Luar Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:113-114), “Apabila wanita shalat sendirian, maka ia diperintahkan untuk menutup kepalanya. Namun kalau ia berada di rumah dalam keadaan tidak shalat, ia boleh membuka kerudungnya. Seorang wanita menutup auratnya dalam shalat karena menjalankan perintah Allah. Karenanya tidak boleh seseorang melakukan thawaf keliling Kabah dalam keadaan telanjang walaupun ia melakukannya sendirian di malam hari. Begitu pula seseorang tidak boleh shalat dalam keadaan telanjang walaupun ia shalat sendirian. Maka dapat diketahui bahwasanya menutup aurat dalam shalat berbeda dengan menutup aurat di luar shalat, yang satu punya bahasan sendiri berbeda dengan lainnya.”
-o-
Aurat Laki-Laki dalam Shalat
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab, inilah yang jadi pendapat kebanyakan ulama.
Adapun pusar dan lutut bukanlah termasuk aurat, inilah pendapat jumhur ulama (mayoritas), dalam madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambali).
Apakah Paha itu Aurat?
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (32:57) disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai paha itu aurat ataukah bukan. Kebanyakan ulama menganggap paha laki-laki itu aurat dan wajib untuk ditutup.
Ada hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الفَخِذُ عَورةٌ
“Paha termasuk aurat.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 2:228. Hadits ini shahih bisa dijadikan hujjah menurut Imam Al-Baihaqi. Juga ada riwayat dari Jarhad Al-Aslami diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, no. 2797, haditsnya hasan gharib dengan bentuk ini).
Para ulama yang berpendapat bahwa paha bukanlah aurat berdalil dengan riwayat berikut ini.
Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berperang di Khaibar. Lalu kami mengerjakan shalat shubuh yang waktu masih gelap. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik kendaraannya, dan Abu Thalhah pun naik kendaraannya di mana aku duduk membonceng Abu Thalhah. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati jalan sempit di Khaibar.
Anas pun berkata,
وَإِنَّ رُكْبَتِي لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَسَرَ الْإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sehingga kedua lututku bersentuhan dengan paha Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membuka/menyingkap kain sarungnya dari pahanya hingga aku melihat putihnya paha Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, no. 371). Dari hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan bahwa bersentuhannya lutut dan paha di sini tentu tanpa ada pembatas. Karena menyentuh aurat tanpa ada pembatas, tidaklah dibolehkan. Lihat Fath Al-Bari, 1:481.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berbaring di rumahku dalam keadaan paha atau betis beliau tersingkap. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta izin untuk menemui beliau dan beliau pun mengizinkan kemudian ia mengutarakan maksudnya. Setelah itu datanglah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau pun mengizinkannya dan ia pun menyampaikan keperluannya. Datanglah Utsman radhiyallahu ‘anhu, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk duduk dan merapikan bajunya–Muhammad berkata: “Saya tidak menyatakan mereka (ketiga sahabat tadi) masuk menemui nabi di hari yang sama–.
Utsman pun masuk dan mengutarakan keperluannya lalu ia keluar. Saya (Aisyah) pun bertanya, “Wahai Rasulullah ketika Abu Bakr dan Umar masuk menemuimu, namun Anda tidak menghiraukan kondisimu, namun sikap Anda berbeda ketika Ustman yang menemui anda?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ المَلاَئِكَةُ؟
“Apakah saya tidak malu kepada pria yang malaikat saja malu kepadanya?” (HR. Muslim, no. 2401)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menjelaskan bahwa dalam masalah ini ada beda pendapat di antara para ulama. Yang lebih hati-hati dalam beragama, dari sisi tinjauan akhlak dan muru’ah, hendaklah seorang pria muslim menutupi pahanya. Para ulama yang menganggap bahwa paha itu bukanlah aurat tetap mengingatkan dua kondisi: (1) saat shalat, (2) jika menimbulkan godaan. Kedua kondisi mengharuskan paha itu amannya ditutup.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menurut salah satu pendapat dari Imam Ahmad, yang termasuk aurat adalah qubul dan dubur, sedangkan paha bukanlah aurat. Jadi boleh dipandang oleh lainnya. Namun hal ini tidaklah berlaku ketika shalat dan thawaf. Tidak boleh seseorang shalat dalam keadaan pahanya terbuka, baik yang menganggap paha termasuk aurat ataukah bukan. Dan seseorang juga tidak boleh thawaf dalam keadaan telanjang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:116)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat terkuat menurutku, paha bukanlah aurat kecuali jika ditampakkan dapat menimbulkan godaan. Yang ada pada para pemuda, wajib pahanya ditutup.” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 12:265)
Apakah Pundak Wajib Ditutup Saat Shalat?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ
“Tidak boleh salah seorang di antara kalian shalat dengan satu helai kain yang tidak menutupi pundaknya sedikit pun.” (HR. Bukhari, no. 359 dan Muslim, no. 516)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا فاَلْتَحِفْ بِهِ، وَإنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Jika pakaian itu lebar (bisa menutupi atas dan bawah), maka jadikan menutupi atas dan bawah (hingga pundak). Namun jika pakaiannya sempit, maka cukup jadikan sarung (menutupi bawah).” (HR. Bukhari, no. 361 dan Muslim, no. 3010)
Para ulama berselisih pendapat tentang disyaratkan sesuatu yang menutup pundak dalam shalat.
- Pendapat pertama: menyatakan bahwa menutup pundak dengan sesuatu dalam shalat itu disunnahkan (tidak sampai wajib). Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama seperti ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, serta merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.
- Pendapat kedua: menyatakan bahwa menutup pundak saat shalat itu syarat. Inilah pendapat madzhab Hambali, juga menjadi pendapat Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa menutup pundak saat shalat adalah sunnah, bukanlah wajib, baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Hal ini berdasarkan hadits “jika memang sempit, maka jadikanlah sarung dengannya”. Pendapat yang menyatakan pundak itu disunnahkan ditutup, itulah pendapat yang lebih kuat dan jadi pendapat kebanyakan ulama. Perintah yang mengharuskan pundak ditutup bukanlah maksudnya pundak itu aurat. Namun demi kesempurnaan dalam berpakaian saat shalat, pundak itu ditutup. (Syarh Al-Mumthi’, 2:168)
Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menguatkan pendapat wajibnya menutup pundak, ia pun merinci:
- Jika memang pakaian itu lebar (bisa menutupi atas dan bawah), maka tutuplah atas dan bawah.
- Jika memang pakaian itu sempit (hanya bisa menutupi atas atau bawah), maka tutuplah aurat yang wajib yaitu antara pusar dan lutut. Dan sepakat ulama masih boleh shalat dengan sehelai kain saja sebagaimana kata Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid, 1:286.
Wallahu a’lam.
***
Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal
Selengkapnya dalam sumber :
Ping balik: Aurat Wanita dalam Shalat | Abu Zahra Hanifa
Ping balik: Aurat Laki Laki dalam Shalat | Abu Zahra Hanifa
Ping balik: Kumpulan Artikel Seputar Ibadah Shalat | Abu Zahra Hanifa