Kabar Rasulullah dan Rencana Pembunuhan
Jauh-jauh hari, Rasulullah telah mengabarkan kepada Ali bin Abu Thalib tentang musibah yang akan menimpanya. Beliau bersabda:
أشْقَى الْأَوَّلِينَ عَاقِرُ النَّاقَةِ وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ-وَأَشَارَ حَيْثُ يُطْعَنُ
“Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (dari kaum Nabi Shalih). Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali !” seraya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menunjuk letak tubuh mana Ali ditikam.
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqatul Kubra (3/35) dengan sanad mursal[11], akan tetapi memiliki syawahid (penguat-penguat) dari hadits lain. (Lihat pembahasan hadits ini dalam Ash-Shahihah 3/78 no. 1088)
Hadits di atas adalah kabar akan wafatnya Ali bin Abi Thalib dalam keadaan syahid, sekaligus hukum kesesatan bagi mereka yang membunuh beliau.
Sekilas biografi dan keutamaan Ali bin Abi Thalib
Beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim Al-Qurasyi, putra paman Rasulullah n. Sahabat yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk jannah ini lahir sebelum kerasulan, tercatat sebagai sahabat pertama yang masuk Islam di masa kecilnya[1].
Tersohor sebagai sosok pemberani, hingga Rasulullah n menugaskannya tidur di rumah beliau saat hijrah ke Madinah, di tengah kepungan pemuda-pemuda Quraisy yang siap dengan pedang-pedang tajam yang terhunus.
Ramadhan, tahun 2 Hijriyah, beliau membawa panji perang Badr [2], peperangan dahsyat yang telah mengukir kejayaan Islam. Janji Allah pun beliau raih bersama seluruh ahlu Badr, berupa jaminan ampunan-Nya. Allah berfirman tentang Ahlu Badr:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الْجَنَّةُ
“Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh telah pasti atas kalian Al-Jannah.”[3].
Tahun 7 Hijriyah, Rasulullah kembali memberi kepercayaan kepadanya memegang bendera perang Khaibar. Dalam perang itu, Ali mendapat jaminan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah mencintainya. Malam hari sebelum perang Rasul bersabda:
لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ
“Sungguh aku akan berikan esok hari bendera perang pada seorang yang mencintai Allah l dan Rasul-Nya dan Allah l serta Rasul-Nya mencintainya, melalui tangannya Allah l bukakan kemenangan.”[4].
Ali bin Abi Thalib adalah sosok yang masyhur dalam kefasihan dan ketajaman bicara, hingga Rasulullah n memercayainya untuk menyampaikan ayat-ayat dari awal surat At-Bara’ah (At-Taubah) kepada orang-orang kafir Quraisy di musim haji tahun 9 H[5].
Ali bin Abi Thalib menyertai Rasulullah n dalam semua peperangan, kecuali perang Tabuk. Beliau tidak mengikutinya karena Rasulullah memberi kepercayaan mengganti posisi Rasulullah n di Madinah, satu amanah yang besar tentunya. Sempat beliau bersedih karena tidak bisa menyertai Rasul dalam perang tersebut.
Namun sekali lagi justru Rasulullah memberikan berita yang menyejukkan, sabda yang menunjukkan keutamaan beliau. Rasul berkata: “Engkau denganku seperti kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku.”[6]
Cukuplah sebagian berita di atas sebagai hujjah yang menggambarkan keutamaan beliau di sisi Allah.
Detik-detik wafatnya Ali bin Abi Thalib
Malam Jum’at, 17 Ramadhan [7] adalah waktu yang direncanakan Ibnu Muljam untuk membunuh Ali. Keluarlah orang yang paling celaka ini untuk mewujudkan kebinasaanya.
Di tengah keheningan akhir malam, dia dapati Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berjalan.
Dengan penuh ketawadhu’an kepada Allah dan penuh kecintaan pada Rabbul ‘alamin, Ali bin Abi Thalib keluar menuju shalat shubuh, untuk berdiri di hadapan Allah. Wajah bersinar dan hati yang hidup tampak dari sosok mulia menantu Rasulullah, putera paman Rasulullah. Beliau berjalan menuju saat-saat yang telah Allah tetapkan.
Dengan tiba-tiba Ibnu Muljam menebaskan pedangnya dengan penuh kekuatan ke arah Ali bin Abi Thalib, tepat mengenai kening yang diisyaratkan Rasulullah dengan telunjuk beliau yang mulia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un!
Pedang beracun tepat mengenai kening Ali bin Abi Thalib. Bukan sekadar goresan, namun luka yang demikian dalam hingga mencapai ubun-ubunnya –semoga Allah meridhai Ali. Kening yang senantiasa bersujud kepada Allah, kening yang dipandang Rasulullah dengan penuh cinta dan kasih sayang, kening yang telah penuh dengan debu jihad bersama Rasul, kening yang telah dijamin selamat dari api neraka, kini disambar pedang Ibnu Muljam.
Darah pun bersimbah… Awan kelabu meliputi Kufah, menorehkan kesedihan dalam catatan sejarah.
Allah tetapkan syahadah bagi beliau, dan Allah tetapkan kecelakaan bagi Ibnu Muljam Al-Khariji, sebagaimana sabda Rasulullah:
وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ
“Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali!”.
Ketika pedang mengenai Ali, beliau berseru: “Jangan biarkan orang ini lepas!”
Orang-orang yang mendengar seruan Ali bergegas menangkap Ibnu Muljam. Saat itu datanglah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib.
Ummu Kultsum berkata: “Wahai musuh Allah, engkau telah membunuh Amirul Mukminin!”
Ibnu Muljam berkata: “Dia hanya sekadar bapakmu” (bukan Amirul mukminin, pen.).
Kata Umu Kultsum: “Demi Allah, aku benar-benar berharap semoga Amirul Mukninin tidak apa-apa” Tetes-tetes air mata cinta dan kesedihan pun mengalir membasahi pipi Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib.” Ya, tetes air mata rahmah…
Dengan ketus Ibnu Muljam berkata: “Kenapa kau menangis? Demi Allah aku telah rendam pedangku ini dalam racun selama sebulan, sungguh tidak mungkin dia akan hidup setelah aku mati, aku pasti berhasil membunuhnya!”.
Malam Ahad, sebelas hari tersisa dari bulan Ramadhan tahun 40 H, wafatlah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Beliau dimandikan kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain, dua cucu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, serta Abdullah bin Ja’far (keponakannya), dan dikafani dengan tiga lembar kain tanpa memakai gamis, sebagaimana Rasulullah dikafani.[8]
Ali z dibunuh dalam keadaan menuju shalat shubuh dan mengajak manusia untuk shalat. Meninggal setelah 4 tahun 8 bulan 22 hari masa kekhilafahan, di umur beliau yang ke-63.
Hasbunallah wani’mal wakil.
***
Catatan Kaki :
- Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang umur beliau saat masuk Islam, dikatakan ketika lima tahun, delapan tahun, atau sepuluh tahun.
- Al-Mustadrak (3/111). Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Syaikhain.” Disepakati oleh Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish.
- Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 438, dishahihkan Al-Albani.
- Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Sahl bin Sa’d z.
- Sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/156 dan 2/32), dishahihkan Asy-Syaikh Ahmad Syakir.
- Shahih Muslim, Kitab Fadhail ash-shahabah no. 2404.
- Demikian Ibnu Sa’d menyebutkan dalam Ath-Thabaqat pada juz ketiga. Faedah: Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib pada biografi ‘Utsman bin Affan menyebutkan adanya perbedaan pendapat mengenai tanggal terjadinya pembunuhan. Ibnu Hajar berkata: “Dia (Ibnu Muljam) membunuh Ali z pada malam Jumat 13 hari berlalu, atau dikatakan 13 hari tersisa dari bulan Ramadhan tahun 40 H. Dikatakan pula awal malam sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.”
- Ath-Thabaqatul Kubra (3/33), dinukil Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis.
sumber bacaan : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/09/08/manusia-paling-celaka-adalah-pembunuhmu-wahai-ali/