Di antara sebagian sahabat, ada beberapa orang yang memiliki keistimewaan di hadapan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Ammar bin Yasir adalah salah satunya. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan keistimewaan Ammar sebagaimana akan dikisahkan di bawah ini.
Tidak lama setelah kepindahan umat Islam ke Madinah, Rasulullah bersama para sahabat mendirikan masjid di sana. Saat mereka sedang bekerja, Sahabat Ali bin Abu Thalib -radhiyallahu anhu- menggubah sebuah bait syair yang didendangkan berulang-ulang dan dikuti oleh mereka.
Berikut ini adalah baitnya:
“Orang yang memakmurkan masjid nilainya tidak sama, Sibuk bekerja sambil duduk di sini berdiri di sana, Sedang pemalas lari menghindar tertidur di sana“
Kebetulan saat itu, Ammar bin Yasir sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. Dia juga turut berdendang, mengulang-ulangnya dengan nada yang tinggi. Salah seorang sahabat lalu menyangka bahwa Ammar dengan nyanyiannya hendak menyombongkan dirinya.
Terjadilah pertengkaran di antara mereka, dan kata-kata kemarahan dikeluarkan. Mendengar itu Rasulullah marah, beliau bersabda, “Apa maksud mereka terhadap Ammar? Diserunya mereka ke Surga, tapi mereka hendak mengajaknya ke neraka! Sungguh, Ammar adalah biji mataku sendiri.”[1]
Dalam riwayat lainnya, Utsman bin Abi al-Ash berkata, “Ada dua orang yang sangat disukai Rasulullah sampai pada hari wafat beliau. Mereka adalah Abdullah bin Masud dan Ammar bin Yasir”[2]
Riwayat lainnya, sebgaimana disampaikan Hasan, Rasulullah menugaskan sahabat untuk ekspedisi di bawah komando Amr bin Ash. Seseorang lalu berkata kepadanya, “Rasulullah biasa menunjukmu sebagai komandan, membuatmu selalu dekat dengannya, dan sangat menyukaimu.”
Mengenai hal ini, Amr bin Ash menyatakan, “Meskipun Rasulullah biasa menunjukku sebagai komandan, aku tidak tahu apakah itu karena beliau (berbuat demikian) hanya untuk menenangkan hatiku, atau karena dia benar-benar menyukaiku?“
“Namun aku dapat menunjukkan kepadamu dua orang yang sangat disukai Rasulullah sampai pada hari wafat beliau. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud dan Ammar bin Yasir”[3]
Dalam riwayat lainnya, Hudzaifah bin al-Yaman mengatakan, Rasulullah bersabda, “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku akan bersama kalian.”
Mengisyaratkan ke arah Abu Bakar dan Umar, Rasulullah menambahkan, “Ikutilah mereka (Abu Bakar dan Umar) setelah aku, teladanilah gaya hidup Ammar, dan percayalah terhadap apa pun yang dikatakan Ibnu Masud kepada kalian.”[4]
Perihal gaya hidup Ammar yang dimaksud oleh Rasulullah, riwayat ini paling tidak dapat menjadi sedikit gambaran. Abdullah bin Abu Hudzai meriwayatkan, suatu ketika AbdulIaah bin Masud membangun rumahnya, dia berkata kepada Ammar, “Kemari dan lihatlah apa yang telah aku bangun.”
Ammar ikut bersamanya, namun ketika dia melihat rumah itu, dia berkata, “Engkau telah membangun struktur yang kokoh dan memiliki harapan yang panjang (untuk dapat tinggal di sana dalam waktu yang lama), padahal kematianmu sudah sangat dekat.”[5]
Demikianlah beberapa keistimewaan Ammar bin Yasir dalam beberapa riwayat.
Kemudian diriwayatkan pada suatu kisah :
Rasul al-Amin dengan dibantu oleh para sahabat sibuk membina rumah dan mendirikan masjid. Semuanya bekerja dengan riang gembira, mulai dari mengangkut batu, mengaduk pasir dengan kapur, hingga mendirikan dinding.
Sebagian kelompok kerja di satu sisi, dan kelompok lainnya di sisi yang lain. Di tempat baru ini mereka berbahagia, sambil bekerja mereka bernyanyi dengan suara merdu dan lantang:
“Andainya kami duduk-duduk berpangku tangan, sedang Nabi sibuk bekerja tak pernah diam, Maka perbuatan kami adalah perbuatan sesat lagi menyesatkan“.
Demikianlah mereka bernyanyi dan berdendang. Lalu mereka menyanyikan lagu lainnya:
“Ya Allah, hidup bahagia adalah hidup di akhirat, Berilah rahmat Kaum Anshar dan Kaum Muhajirat“
Dan setelah itu terdengar lagu ketiga :
“Apakah akan sama nilainya? “Orang yang bekerja membina masjid, Sibuk bekerja, baik berdiri maupun duduk, Dengan yang menyingkir berpangku tangan?”
Sementara itu, Rasulullah yang mulia mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sukar. Sahabat yang lain juga terus bekerja dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan.
Lalu di tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, terlihatlah Ammar bin Yasir yang sedang mengangkat batu besar, memindahkannya dari tempat semula ke tempat yang akan dibangun. Tiba-tiba, Rasulullah melihatnya, dan dengan rasa belas kasihan beliau mendekatinya.
Setelah sampai, tangan beliau yang penuh berkah itu mengibaskan debu yang menutupi kepala Ammar. Lalu dengan pandangan yang dipenuhi oleh nur ilahi, dipandanginya wajah-wajah orang yang beriman yang sedang diliputi ketenangan itu.
Kemudian beliau bersabda di hadapan semua sahabat, “Aduhai Ibnu Sumayyah (Sumayyah adalah ibunda Ammar), dia dibunuh oleh golongan pendurhaka”
Dan bukan hanya sekali, nubuat ini diulangi kembali oleh Rasulullah. Masih dalam suasana kerja membangun Madinah, di titik Ammar sedang bekerja, dinding di atasnya ambruk menimpanya. Sebagian sahabat menyangka Ammar meninggal, dan mereka menduga bahwa inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah sebelumnya.
Para sahabat terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasulullah menjelaskan, “Tidak, Ammar tidak apa-apa, hanya nanti dia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka.”[6]
Dalam riwayat lainnya, ini terjadi ketika Ammar masih di Makkah dan sedang mengalami penyiksaan dari Bani Makhzum. Diriwayatkan oleh Amr bin Maimun, waktu itu kaum Musyirikin sedang menyalakan api untuk membakar Ammar, Rasulullah sedang melintas.
Meletakkan tangannya di atas kepala Ammar, Rasulullah berkata, “Wahai api! Jadilah sejuk dan nyaman bagi Ammar seperti yang engkau lakukan untuk Ibrahim.” Rasulullah kemudian memberi tahu Ammar bahwa (dia tidak akan mati karena penyiksaan ini, tetapi) sekelompok pemberontak akan membuatnya mati syahid.[7]
Lalu siapakah golongan yang dimaksud yang akan membunuh Ammar tersebut? Dan kapan dan di mana peristiwa tersebut akan terjadi?
Ammar mendengarkan nubuat tersebut dan meyakini kebenaran yang telah diungkapkan oleh pandangan Rasulullah yang menembus masa depan. Meski demikian, dia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam, dia telah siap untuk mati syahid di setiap detik baik siang maupun malam, sebagaimana telah terjadi terhadap kedua orang tuanya.
Hari-hari berlalu, tahun demi tahun silih berganti, dan Ammar masih berumur cukup panjang. Hingga sampailah Rasulullah ke tempat tertinggi, disusul oleh Abu Bakar, lalu berangkat pula Umar bin Khattab. Setelah itu Utsman bin Affan naik ke tampuk kekhalifahan.
Sejarawan Khalid Muhammad Khalid menuturkan, “Sementara itu musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah, berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah.
“Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh gerakan subversi ini, yang gerakannya menembus ke Madinah tak ubahnya bagai angin panas, dan bergerak dari negeri yang kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh Umat Islam.
“Berhasilnya usaha mereka terhadap Umar membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkannya, mereka sebarkan fitnah dan nyalakan apinya di sebagian besar negeri-negeri Islam.
“Dan mungkin Utsman tidak memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini hingga terjadilah pula peristiwa yang menyebabkan syahidnya Utsman dan terbukanya pintu fitnah yang melanda Kaum Muslimin.”[8]
Selanjutnya, setelah menetap bersama Rasulullah di Madinah, Ammar terus mengiringi perjalanan kenabian, termasuk terjun dalam perjuangan bersenjata pada Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Tabuk, singkat kata, dia ikut semuanya tanpa terkecuali. Namun kisah hidup Ammar masih belum berakhir, dia berumur panjang, bahkan masih hidup cukup panjang setelah wafatnya Rasulullah.[9].
Bukti Nubuah Kenabian Pada Ammar bin Yasir
Ammar bin Yasir setelah mengalami nubuat dari Rasulullah, yakni menikmati hidangan terakhirnya di dunia, susu yang dicampur dengan air, maju ke medan pertempuran. Mengenai bagaimana jalannya pertempuran, Abu Abdurrahmaan Sulami meriwayatkannya.
Berikut ini adalah riwayatnya sebagaimana disampaikan oleh Hakim dan Ibnu Saad:
(Dengan dorongan dari Ammar ini) Hasyim mengibarkan bendera dan mengatakan (bait berikut ini):
“Pria bermata satu ini telah menghabiskan hidupnya mencari rumah untuk keluarganya sampai dia telah menjadi lelah”
“Dia sekarang akan bertarung sampai dia mengalahkan lawan atau dikalahkan”.
Dia kemudian maju ke salah satu lembah Shiffin (untuk berperang). Abu Abdurrahman Sulami berkata,
“Aku kemudian melihat para sahabat Rasulullah mengikuti Ammar seolah-olah dia adalah bendera mereka”
Dalam riwayat lainnya, Abu Abdurrahman Sulami mengatakan, “Aku memperhatikan bahwa (dalam Perang Shiffin) setiap kali Ammar maju ke salah satu lembah Shiffin, semua sahabat Rasulullah yang ada di sana mengikutinya. Aku juga melihatnya mendekati Hasyim bin Utbah yang mengibarkan bendera pasukan Ali.
“Dia berkata, ‘Wahai Hasyim! Majulah! Jannah terletak di bawah bayang-bayang pedang dan kematian terletak di ujung tombak. Pintu Jannah telah terbuka lebar dan para gadis di Jannah telah dipercantik. Hari ini aku akan bertemu orang-orang yang aku cintai, Muhammad dan pengikutnya.’
Dia kemudian melancarkan serangan bersama Hasyim dan mereka berdua mati syahid. Pada saat itu, Ali dan pasukannya juga melancarkan serangan terhadap orang-orang Syam seolah-olah mereka semua adalah satu orang. Kedua orang itu – Ammar dan Hasyim – terlihat bagaikan bendera mereka.”
Penggambaran lainnya tentang peristiwa di atas, setelah Ammar maju, dijelaskan oleh sejarawan al-Azhar Khalid Muhammad Khalid:
Kemudian bagai sebuah peluru dahsyat dia menyerbu ke arah Muawiyah dan orang-orang di sekelilingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring yang menggetakarkan,
“Dulu kami hantam kalian di saat diturunkannya. Kini kami hantam lagi kalian karena menyelewengkannya. Tebasan maut menghentikan niat jahat. Dan memisahkan kawanan pengkhianat. Atau al-Haq berjalan kembali di jalurnya.”
Maksud dari syair Ammar adalah bahwa para sahabat dulu memerangi Bani Umayyah yang dipimpin oleh Abu Sufyan, ayah Muawiyah, karena secara terang Alquran telah memerintahkan untuk memerangi pasukan Musyrikin.
Dan sekarang, di bawah kepemimpinan Muawiyah, meskipun mereka telah masuk Islam, namun menurut ijtihad dan penyelidikkan Ammar, golongan ini telah menyelewengkan agama dan menyimpang dari ajaran Alquran, serta mengacaukan takwil dan salah menafsirkannya, dan mencoba membelokkan maknanya agar sesuai dengan kepentingan pribadi mereka.
Orang-orang dari pihak Muawiyah, yang tahu mengenai nubuat Nabi, bahwa yang akan membunuh Ammar adalah “golongan pendurhaka”, sekuat tenaga menghindari Ammar agar pedang mereka tidak sampai membunuhnya.
Namun Ammar yang pada saat itu sudah berusia 93 tahun, masih terlampau kuat bagi mereka. Tenaganya digambarkan bagaikan satu pasukan penuh. Sehingga pertimbangan untuk tidak membunuhnya menjadi sirna karena malah-malah dia bisa membahayakan mereka. Dibunuhnyalah Ammar oleh pasukan Muawiyah.
Berita mengenai tewasnya Ammar segera tersebar dari mulut ke mulut, dan mereka menjadi terngiang-ngiang akan nubuat Nabi, “Ammar akan dibunuh oleh golongan pendurhaka….”.
Banyak orang di pihak Muawiyah yang menjadi bimbang dan ragu, bahkan sebagian telah hendak memisahkan diri dan menyebrang ke pihak Ali.
Syahidnya Ammar bin Yasir
Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menyampaikan sebuah riwayat dari al-Amash. Al-Amash berkata:
Abu Abdurrahman al-Sulami meriwayatkan:
Kami bersama (berada di pihak) Ali (bin Abi Thalib) di Shiffin dan kami telah menugaskan dua orang untuk (berdiri di samping) kuda Ammar (bin Yasir) untuk menjaganya (Ali) dan mencegahnya agar tidak diserang.
Tetapi, setiap kali mereka (para penjaga Ali) lengah sejenak, dia (Ali) sendiri akan melakukan serangan dan tidak kembali sampai dia mewarnai pedangnya (dengan darah).
Dan mana kala dia melakukan serangan dia tidak akan kembali sampai pedangnya rusak berubah bentuk. Dia melemparkannya ke arah mereka, berkata, “Jika bukan karena rusak, aku tidak akan kembali.”
(Al-Amash berkata, “Demi Allah, itu adalah serangan dari seseorang yang melampaui keraguan,” dan Abu Abdurrahman menganggapi, “Orang-orang yang berada di sana mendengar sesuatu dan menceritakannya kembali, dan mereka bukan pembohong!”)
Abu Abdurrahman kemudian melanjutkan:
Aku melihat bahwa setiap kali Ammar pergi ke salah satu wadi (sungai kering di padang pasir yang hanya terisi air jika hujan turun-pen) Shiffin para Sahabat (Nabi) Muhammad yang ada di sana mengikutinya.
Dan aku melihatnya menuju ke arah Mirqal, Hasyim bin Utbah yang menjadi pembawa Panji Ali, dan berkata, “Hasyim, yang bermata satu dan seorang pengecut! Tidak ada kebaikan pada seorang pria bermata satu yang tidak terjun ke medan perang.
“Dan lalu, bagaimana jika seseorang dari kedua belah pihak berkata, ‘Demi Allah, yang ini meninggalkan Imam-nya, meninggalkan pasukannya, dan enggan berjuang?’ Majulah, Hasyim!”
Hasyim mengendarai (kudanya) dan maju, mengucapkan (bait syair):
Seorang pria bermata satu yang mencari lawan yang tangguh
sudah menyibukkan dirinya dengan kehidupan sampai akhirnya bosan dengan itu semua.
Haruskah dia menaklukkan atau ditaklukkan?
Dan Ammar berkata, “Maju terus, Hasyim! Surga berada di bawah bayang-bayang pedang dan kematian berada di ujung tombak. Gerbang surga telah dibuka, dan para gadis (di Surga) telah menghiasi diri mereka sendiri. Hari ini aku akan bertemu dengan yang tercinta, Muhammad dan pengikutnya.” Tidak ada yang kembali, dan keduanya terbunuh.
(Abu Abdurrahman berkomentar, “Kata-kata ‘para sahabat Nabi yang ada di sana’ menerangkan kepadamu, al-Amash, tentang mereka berdua, bahwa mereka telah membedakan diri mereka sebagai orang yang pemberani [sehingga membuat para sahabat lain mengikuti mereka seolah-olah mereka berdua adalah Panji Ali itu sendiri—lihatlah tentang riwayat ini pada seri sebelumnya-pen].)
Dia (Abu Abdurrahman) kemudian melanjutkan:
Dan ketika malam harinya aku berkata, “Aku akan pergi ke (perkemahan) musuh untuk mencari tahu apakah berita tentang pembunuhan Ammar telah mempengaruhi mereka
sebagaimana itu telah mempengaruhi kami,” karena, ketika kita berhenti berperang (dalam setiap harinya), mereka biasa berbicara dengan kami dan kami dengan mereka.
(Jika melihat riwayat-riwayat lain sebelumnya mengenai Perang Shiffin, karena ini adalah perang saudara di antara sesama Muslim, seringkali mereka digambarkan telah mengenal satu sama lain sebelumnya.
(Menyimak perkataan Abu Abdurrahman di atas, tentang berbicara satu sama lain di antara pihak yang sedang berperang, kemungkinan maksudnya adalah kedua belah pihak sepakat untuk tidak saling menyerang di malam hari dan mereka dapat bercakap-cakap selayaknya teman, meskipun besoknya mereka akan berperang kembali-pen.)
Jadilah aku mengendarai kudaku — pada awal malam — dan kemudian aku pergi ke perkemahan mereka. Aku menemukan empat pria sedang berkumpul melingkar. Muawiyah, Abu al-Awar al-Sulami, Amr bin al-Ash, dan Abdallah bin Amr, yang merupakan orang-orang yang terbaik di antara mereka. Aku menggiring kudaku ke sekitar mereka, khawatir bahwa aku akan melewatkan apa yang dikatakan salah satu peserta diskusi.
Abdallah berkata kepada ayahnya (Amr bin al-Ash), “Ayah, apakah engkau telah membunuh orang ini (Ammar bin Yasir) dalam pertempuranmu hari ini, meskipun Rasulullah telah mengatakan apa yang beliau sabdakan tentang dia?”
Amr bertanya tentang apa itu, dan putranya berkata, “Apakah engkau tidak bersama kami ketika kami sedang membangun masjid (di Madinah) dan semua orang memindahkan batu demi batu dan bata demi bata, sementara Ammar membawa dua batu dan dua bata sekaligus?
“Upaya itu menyebabkannya pingsan, dan Rasulullah datang kepadanya dan mulai menyeka debu dari wajahnya, berkata, ‘Kasihan sekali dirimu, Ibnu Sumayyah! Orang-orang mengangkut batu demi batu dan bata demi bata, sementara engkau memindahkan dua batu dan dua bata dalam satu waktu, (demi) mengharapkan pahala. Meskipun begitu, para kelompok pemberontak lah yang akan membunuhmu. Kasihan sekali dirimu.’.”
Berita mengenai tewasnya Ammar segera tersebar dari mulut ke mulut, dan mereka menjadi terngiang-ngiang akan nubuat Nabi, “Ammar akan dibunuh oleh golongan pendurhaka….”.
***
Catatan Kaki:
- Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 252-253.
- Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir sebagaimana dikutip dalam Ali bin Abdul Malik al-Hindi, Kanzul Ummal (Vol 5, hlm 238), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 535.
- Ibid.
- Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Ibnu Majah juga meriwayatkan hadis yang sama dari Katsir bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dari kakeknya, dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 47.
- Abu Nuaim al-Isfahani, Hilyat al-Awliya (Vol 1, hlm 142), dikutip kembali dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), Op.Cit., hlm 329.
- Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 257-259.
- Abu Abdullah Muhammad bin Sa‘d bin Mani al-Basri al-Hasyim
- Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 259
- Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 254.
Selengkapnya dalam sumber :