Bulan Dzul Qa’dah sudah di ambang pintu. Kota Madinah masih sibuk sebagaimana biasa. Setelah Makkah berada dalam pangkuan Islam, kabilah-kabilah Arab dan sejumlah raja kecil di sekitar Hijaz mengirimkan utusan mereka. Ada yang menerima dan memeluk Islam, ada pula yang masih tetap dalam keyakinan lamanya, tetapi bersedia menyerahkan jizyah (upeti).
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- belum pernah menunaikan ibadah haji (Haji Islam). Ketika muncul keinginan untuk menunaikan haji ini, beliau memberitahukannya kepada seluruh kaum muslimin.
Mendengar berita ini, tidak hanya para sahabat yang di Madinah dan sekitarnya yang bersiap-siap, mereka yang di Makkah ikut sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
Mereka akan menyambut tamu paling agung yang pernah menziarahi Rumah Suci (Ka’bah) ini, Rasulullah n. Selain itu, teman lama dan kerabat mereka juga akan ikut serta.
Baitullah (Ka’bah) yang telah bersih dari kotoran dan budaya syirik seakan memanggil orang-orang yang dahulu memujanya dengan adat jahiliah, agar memuliakannya dengan tata cara dan tuntunan tauhid. Sahara dan bukit cadas turut merasakan kegembiraan menyambut berita bahwa Rasulullah akan haji di tahun itu.
Tanggal 25 Dzul Qa’dah 10 H, Rasulullah n dan para sahabat, mulai mengarahkan kendaraan mereka ke Masjidil Haram. Semua istri Rasulullah n ikut serta, tidak ada yang tertinggal.
Seakan, Allah -subhanahu wa taala- mengilhamkan kepada beliau bahwa haji ini adalah pertanda akan berakhirnya pengabdian beliau di dunia ini.
Perlahan, rombongan jamaah haji yang mulia ini mulai bertolak meninggalkan gerbang Kota Madinah. Atap-atap rumah dan pucuk-pucuk kurma melambai-lambai seakan mengucapkan, “Selamat jalan, jamaah haji yang mulia….”
Dalam perjalanan, belum lama meninggalkan Kota Madinah, ribuan kaum muslimin dari berbagai pelosok di sekitar Madinah memapak Rasulullah bersama sahabat. Mereka ingin meraih keutamaan menunaikan haji bersama kekasih mereka, Muhamamd shalallahu alaihi wasallam.
Kata Jabir, “Aku melihat lautan manusia mengelilingi beliau. Ada yang berkendaraan, ada pula yang berjalan kaki, di kanan, kiri, depan, dan di belakang Rasulullah, sejauh mata memandang.”
Dari mana mereka datang? Hendak ke mana ribuan manusia ini?
Empat tahun lalu, beliau n bersama 1.400 sahabat atau lebih, berangkat untuk mengerjakan umrah. Akan tetapi, kesombongan jahiliah yang masih tertanam di hati bangsa Quraisy, mendorong mereka menolak tamu-tamu agung ini menziarahi Ka’bah.
Penolakan itu bukan sebuah kehinaan, tetapi kemuliaan, kemenangan, bahkan kemenangan yang agung.
Peristiwa Hudaibiyah, tahun 6 H. Di saat mereka dalam satu tekad membela Allah dan Rasul-Nya, kemudian menyatakan siap menuntut bela atas tertumpahnya darah ‘Utsman bin ‘Affan, yang diduga terbunuh di tangan Quraisy. Hati mereka menyatu, tak akan mundur setapak pun, walaupun harus berkalang tanah. Tercetuslah sumpah setia di bawah sebatang pohon (Bai’atur Ridhwan), sebuah kenangan yang tak terlupakan.
Lalu datang Suhail bin ‘Amr sebagai utusan Quraisy, mendesak agar Rasulullah n dan para sahabat kembali ke Madinah, tidak memasuki Makkah pada tahun itu. Rasulullah menerima kesepakatan itu.
Akan tetapi, para sahabat yang melihat Makkah sudah di depan mata, sempat kecewa, mengapa harus kembali? Namun, mereka tunduk dan menerima keputusan Rasulullah. Mereka yakin, di balik kejadian ini pasti ada kemenangan.
Memang, bahkan kemenangan yang sangat agung. Akhirnya, Islam tersebar ke seluruh penjuru tanah Arab. Dari berbagai pelosok, mulai rakyat biasa, hingga kepala suku dan raja-raja kecil datang bertanya tentang Islam.
Kemenangan mana lagi yang lebih hebat dari ini?
Setahun kemudian, Rasulullah n kembali mengarahkan kendaraannya bersama para sahabat menuju Masjidil Haram menunaikan umrah yang tertunda.
Umratul Qadha telah menampakkan kewibawaan dan keagungan Islam sekaligus keperkasaan para pembelanya. Nyali Quraisy semakin ciut melihatan kekuatan kaum muslimin. Ternyata, di balik fisik yang terlihat lemah itu, tersimpan kekuatan dahsyat. Kekuatan yang pada saatnya nanti datang kembali sebagai penakluk, pembebas Kota Suci Makkah. Yang akan membersihkan Ka’bah dari berhala dan simbol-simbol kesyirikan.
Itulah kekuatan yang bersumber dari hati yang terisi iman yang murni. Kekuatan itulah yang meluluhlantakkan kesombongan jahiliah di dada masyarakat Quraisy dan orang-orang Arab di sekitar mereka. Kekuatan itu pula yang menaklukkan sepertiga belahan bumi ini.
Sesudah itu, sepuluh ribu orang tentara Allah l datang ke Makkah untuk membersihkan Baitullah dari berhala dan tempat-tempat pemujaan di sekelilingnya.
Fathu Makkah, benar-benar kemenangan yang agung.
Kini, pada tahun kesepuluh, kerikil dan pasir sahara kembali terkesima, menyaksikan ribuan kaki yang melintasi mereka. Ke mana gerangan?
Baitullah, itulah tujuan mereka.
Rumah Suci pertama yang diletakkan Pencipta jagat semesta ini, seolah menanti ucapan salam para pemuja-Nya. Bait Suci yang telah kembali kesuciannya, seakan mempercantik diri menyambut tamu-tamu yang agung menziarahi.
Tiba-tiba, suara tangis bayi membuyarkan lamunan. Mereka sudah tiba di Dzul Hulaifah. Asma’ bintu ‘Umais, istri Abu Bakr ash-Shiddiq, melahirkan seorang putra yang diberi nama Muhammad.
Usai melahirkan, Asma’ menemui Rasulullah dan bertanya, “Apa yang harus saya kerjakan?”
Kata Rasulullah, “Mandilah dan ketatkan kainmu, kemudian letakkan kain di tempat keluarnya darah dan berihramlah.”
Di situlah, di Dzul Hulaifah, setelah mereka bermalam, Rasulullah n mulai berihram, diikuti seluruh kaum muslimin.
Usai shalat Zhuhur dua rakaat, beliau n bertalbiyah untuk haji dan umrahnya, di tempat beliau shalat. Setelah itu beliau menaiki untanya dan terus bertalbiyah sampai tiba di al-Baida’:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan itu adalah milik-Mu, (begitu juga) kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Di musim haji itulah Rasulullah memberi pilihan kepada para sahabat dan kaum muslimin seluruhnya sampai hari kiamat dalam mengerjakan manasik haji mereka; tamattu’, qiran, atau ifrad [1]
Enam mil dari Makkah, di Sarif, Rasulullah mengumumkan kepada para sahabatnya, “Siapa yang tidak membawa hadyu (hewan kurban) dan ingin menjadikannya umrah, silakan! Akan tetapi, siapa yang membawa hadyu, jangan lakukan!”.
Tepat di hari keempat bulan Dzul Hijjah, jamaah haji agung ini tiba di Makkah. Perlahan mereka mulai mendekati Ka’bah.
Rasulullah memasuki Kota Makkah dari sebelah atas, Tsaniyatul ‘Ulya, tetapi ketika umrah beliau masuk dari sebelah bawah.
Ath-Thabari menceritakan bahwa Rasulullah memasuki Masjidil Haram dari pintu Bani Syaibah (sekarang). Beliau langsung mendekati Ka’bah untuk thawaf, tanpa shalat tahiyatul masjid.
Setelah berhadapan dengan Hajar Aswad, beliau menyentuhnya, kemudian berjalan ke kanan, memosisikan Hajar Aswad di sebelah kiri.
Tiga putaran pertama, beliau melakukan ramal (jalan cepat) sambil melakukan idhthiba’ (membuka bahu kanannya); menyelempangkan baju ihramnya ke atas pundak kiri. Tiap kali berhadapan dengan Hajar Aswad, beliau memberi isyarat ke arahnya, menyentuhkan tongkatnya, lalu mencium tongkat tersebut.
Selesai thawaf, Rasulullah n berjalan menuju ke belakang Maqam Ibrahim, sambil membaca: “Dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat….” (al-Baqarah: 125).
Lalu beliau shalat dua rakaat dengan posisi Maqam berada antara beliau dan Ka’bah. Dalam shalat ini, beliau membaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas sesudah al-Fatihah.
Setelah itu, beliau menuju Hajar Aswad dan menyentuhnya, lalu keluar menuju bukit Shafa dari pintu yang sejajar dengannya. Begitu mendekati pintu, beliau membaca: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah.” (al-Baqarah: 158).
Lalu beliau mengatakan,
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya.” Maksudnya, beliau memulai dari bukit Shafa sebagaimana lafadz ayat di atas.
Kemudian, beliau menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah, lalu menghadap kiblat, mentauhidkan Allah dan bertakbir, serta mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [وَحْدَهُ] أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
“Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya-lah kekuasaan (Kerajaan) dan segala pujian, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satu-Nya, Dia telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya dan mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian.”
Kemudian beliau berdoa di antara bacaan itu dan mengucapkan seperti itu juga tiga kali.
Setelah itu, beliau turun menuju Marwah hingga ketika kedua kaki beliau sudah menginjak perut lembah (sekarang diberi tanda hijau), beliau melakukan sa’i. Ketika sudah naik, beliau berjalan hingga tiba di Marwah, lalu mengerjakan amalan sebagaimana yang beliau lakukan di atas bukit Shafa.
Selesai Sa’i, beliau berkata, “Orang-orang yang tidak membawa hadyu, boleh melepas pakaian ihramnya (tahallul).”
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, pada hari Tarwiyah, Rasulullah n dan rombongan menuju Mina. Setibanya di Mina beliau n berdiam kemudian melaksanakan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh di sana.
Beliau tinggal di Mina sampai terbit matahari, lalu bertolak menuju Arafah.
Di Arafah, beliau mendapati sebuah tenda sudah dibuat untuk beliau di Namirah (sebuah daerah di Arafah). Beliau pun singgah di sana.
Ketika matahari sudah condong (ke barat), beliau minta dibawakan al-Qashwa, unta beliau. Kemudian beliau menuju perut lembah dan berkhutbah di hadapan kaum muslimin.
Ribuan manusia, satu hati, satu tujuan, mengagungkan Pencipta mereka yang Mahatunggal. Semua tunduk melantunkan talbiyah tauhid.
Hilang sudah kesombongan jahiliah….
Di sanalah beliau memulai khutbahnya yang agung.
Pesan-pesan terakhir, seolah-olah mengisyaratkan bahwa itulah penutup rangkaian perjalanan risalah Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang kepada hamba-Nya, yang beliau emban lebih dari dua puluh tahun.
Setelah memuji Allah l, mengucapkan syahadatain, Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- menyampaikan pesan-pesannya.
“Amma ba’du ; Wahai sekalian manusia… Saya tidak tahu apakah akan bertemu kembali dengan kalian sesudah haji tahun ini di tempat ini (ataukah tidak)…”
Hening. Para sahabat terpaku. Di bawah langit biru, di saat mereka merasakan bahagia, Rasulullah mengisyaratkan perpisahan?
“Wahai sekalian manusia… Hari apakah ini? Bulan apakah ini?”
Setiap kali beliau bertanya, para sahabat terdiam. Mungkin Rasulullah ingin memberi nama yang baru.
“Bukankah hari ini adalah hari Haji Akbar?”
“Benar,” sahut para sahabat.
“Bukankah ini bulan haram?”
“Benar,” kembali para sahabat menjawab.
Kemudian beliau bertanya pula, “Negeri apakah ini?”
Para sahabat terdiam, mungkin beliau hendak mengganti namanya.
Rasulullah berkata pula, “Bukankah ini adalah Tanah Haram (Tanah Suci)?”
“Benar,” sahut para sahabat pula.
Setelah itu beliau berkata, “Sungguh, darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram (suci, tidak boleh dilanggar), seperti sucinya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Janganlah kalian kembali menjadi orang-orang yang kafir (ingkar) sepeninggalku, saling membunuh satu sama lain“.
Wahai sekalian manusia…Sesungguhnya, semua urusan jahiliah berada di bawah telapak kakiku ini. Semua urusan darah (utang nyawa, pembunuhan) ala jahiliah, gugur dan tidak ada nilainya (tidak ada tebusannya).
Adapun urusan darah pertama yang saya gugurkan adalah darah Rabi’ah bin al-Harits, yang menyusu di Bani Sa’d lalu dibunuh oleh orang-orang dari suku Hudzail.
Demikian pula perkara riba jahiliah, saya nyatakan batal. Tidak ada nilainya (tidak perlu ditunaikan). Adapun riba pertama yang saya gugurkan adalah riba (keluarga) kami, riba ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib.
Wahai manusia, bertakwalah kalian dalam urusan wanita. Sungguh, kamu (wahai kaum pria) telah memiliki mereka dengan amanat dari Allah. Kalian telah menjadikan kehormatan (kemaluan) mereka halal dengan kalimat Allah.
Kalian mempunyai hak yang wajib dipenuhi oleh para istri. Di antara hak kalian adalah mereka tidak boleh mengizinkan siapa saja yang tidak kalian senangi menginjakkan kaki di permadani atau lantai rumah kalian.
Kalau mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.
Istri-istri kalian juga mempunyai hak yang wajib kalian penuhi, yaitu menerima pakaian dan rezeki yang pantas.
Wahai manusia…
Telah saya tinggalkan sesuatu pada kalian. Kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitab Allah.
Dan…
Kalian semua akan ditanya tentang saya, maka apa jawab kalian?”
Para sahabat serempak menjawab setelah beberapa saat terpana mendengar khutbah beliau, “Kami bersaksi bahwa Anda telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan memberi nasihat.”
Mendengar jawaban mereka, Rasulullah n mengangkat telunjuknya ke langit, lalu menudingkannya ke arah ribuah jamaah haji yang mulia itu sambil berkata, “Ya Allah, saksikanlah,” tiga kali.
Allah Maha Menyaksikan, bahkan membanggakan mereka di hadapan malaikat-Nya.
Setelah itu, Bilal mengumandangkan adzan lalu iqamat dan shalat Zhuhur, iqamat lagi lalu shalat Ashar. Beliau tidak shalat di antara keduanya sama sekali.
Kemudian beliau mendatangi tempat wuquf dan menderumkan untanya, al-Qashwa, hingga duduk di atas sahara, sambil menghadap kiblat. Mulailah beliau berdoa.
Beliau berkata, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.”[2]
Beliau tetap wuquf sampai matahari terbenam dan hilang sedikit cahaya kuningnya sampai betul-betul tenggelam.
Beliau pun bertolak dan mengencangkan tali kekang al-Qashwa menuju Muzdalifah.
Rasulullah n menundukkan kepala hingga menyentuh tempat duduk di kendaraannya, dan berkata dengan (isyarat) tangan kanannya, “Wahai manusia, perlahan-lahanlah, perlahan-lahanlah!”
Sesampainya di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamat, tanpa shalat sunat di antara keduanya.
Kemudian beliau berbaring sampai terbit fajar dan shalat Subuh (fajar) ketika telah jelas waktu subuh, dengan satu adzan dan iqamat.
Setelah itu, beliau berangkat hingga tiba di Masy’aril Haram, kemudian menghadap kiblat, dan berdoa kepada Allah l, bertakbir membesarkan-Nya serta mentauhidkan-Nya. Beliau tetap berdiri sampai hari betul-betul terang.
Sebelum terbit matahari beliau bergerak hingga tiba di dasar lembah Muhassir. Beliau mempercepat kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Itulah tuntunan beliau bila melewati lokasi atau daerah yang dahulu pernah turun azab Allah l menghancurkan musuh-musuh-Nya.
Di sanalah dahulu Abrahah dan gajahnya dihancurkan oleh Allah Yang Mahaperkasa, sebagaimana diceritakan dalam surat al-Fil.
Seperti itu pula yang dilakukan beliau n ketika melalui perkampungan Hijr (yang dihuni bangsa Tsamud).
Setelah itu, beliau melewati jalan yang tengah dan keluar menuju Jumrah al-Kubra, jumrah yang ada di dekat pohon (batas akhir Mina). Kemudian melemparinya dengan tujuh kerikil, kerikil sebesar satu ruas ujung jari kelingking, sambil bertakbir pada tiap-tiap lemparan.
Selesai melempar jumrah, beliau menuju tempat penyembelihan dan mulai menyembelih 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri. Sisanya, 37 ekor beliau serahkan agar disembelih oleh ‘Ali bin Abi Thalib z. Setelah itu, beliau memerintahkan agar dagingnya disedekahkan kepada orang-orang yang miskin.
Usai menyembelih, beliau memanggil tukang cukurnya, “Hai Ma’mar, Rasulullah n menyerahkan rambut dekat telinganya kepadamu…”
“Wahai Rasulullah, ini adalah karunia besar bagiku,” katanya.
“Betul,” kata Rasulullah [3].
Kemudian Rasulullah memerintahkannya mencukur dari yang kanan. Setelah itu beliau membagikan rambut tersebut kepada sahabat-sahabat yang ada di dekat beliau.
“Apakah Abu Thalhah ada di sini?” tanya beliau.
Para sahabat menjawab, “Ada.” Rasulullah pun menyerahkan rambut sebelah kirinya kepada beliau.
Kemudian Rasulullah berangkat dan bertolak menuju Ka’bah dan shalat Zhuhur di Makkah.
Beliau menemui Bani ‘Abdul Muththalib yang bertugas memberi minum jamaah haji dengan air Zamzam.
Beliau berkata, “Bagilah, hai Bani ‘Abdul Muththalib! Kalau bukan karena khawatir dianggap manasik, tentu aku akan membagi dan minum bersama kalian.”
Mereka pun memberi beliau secangkir air Zamzam dan meminumnya sambil berdiri.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa beliau berkhutbah dua kali di Mina, pada hari nahar (menyembelih). Yang kedua adalah ketika pada hari tasyriq.
Pada kesempatan itu, beliau mengingatkan kaum muslimin umumnya, terutama para sahabat yang ada ketika itu.
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di Jazirah Arab. Akan tetapi, dia sangat berambisi untuk menimbulkan persengketaan di antara kalian“.
Zaman telah kembali sebagaimana Allah l menciptakan langit dan bumi. Jumlah bilangan bulan di sisi Allah l ada dua belas. Empat di antaranya adalah bulan-bulan haram: Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar, yang terletak antara Jumadi (Tsani) dan Sya’ban.
Wahai manusia…
Rabb kalian adalah satu. Ayah kalian adalah satu, yaitu Adam. Semua kalian berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah. Tidak ada kelebihan orang Arab dari orang ajam (non-Arab), selain dengan ketakwaan.
“Sampaikanlah semua ini kepada yang tidak hadir. Bisa jadi, yang disampaikan itu lebih paham daripada yang mendengar….”
Itulah sebagian khutbah beliau.
Seolah-olah memberikan isyarat bahwa usia beliau yang penuh berkah akan segera berakhir. Pertemuan dan kebersamaan akan usai. Beliau pun bersiap-siap menjumpai Kekasihnya, Allah subhanahu wata’ala.
Tuntas sudah. Semua yang terkait dengan ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, telah beliau ajarkan, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Tidak hanya itu, seluruh ajaran Islam, mulai akidah (tentang keimanan, kepada Allah l, dan urusan gaib), ibadah, akhlak, dan muamalah, baik terkait dengan individu maupun kenegaraan, telah beliau ajarkan.
Benarlah beliau, dan memang pantas beliau dibenarkan, ketika bersabda:
إنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقّاً عَلَيْهِ أنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُم شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُم
“Sesungguhnya, tidak ada seorang nabi pun sebelumku, melainkan wajib atas nabi itu menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan melarang mereka dari kejahatan yang diketahuinya.”[4]
Kebaikan yang paling utama yang beliau perintahkan adalah tauhid; menyerahkan seluruh ibadah (berdoa, meminta syafaat, istighatsah, dan sebagainya) hanya kepada Allah taala.
Adapun kejahatan yang paling utama yang beliau larang adalah syirik, yaitu menyekutukan Allah l dalam hal-hal yang khusus bagi Allah l, seperti syirik dalam rububiyah; meyakini ada kekuatan selain Allah l yang mengatur alam semesta ini, ada yang memberi rezeki selain Allah l, ada yang menghidupkan dan mematikan, menjadikan seseorang kaya atau miskin selain Allah l, dan sebagainya.
Kemudian syirik dalam uluhiyah; menyerahkan ibadah, yang sebetulnya merupakan hak Allah yang paling utama, kepada sesuatu selain Dia, apakah kepada nabi yang diutus, malaikat yang didekatkan, atau selain mereka.
Ditegaskan pula oleh Allah l bahwa Rasulullah n sudah menyampaikan risalah-Nya dengan tuntas dan sempurna dengan menurunkan firman-Nya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3).
Oleh sebab itu, tidak ada satu pun urusan agama ini yang kurang sehingga harus ditambah, atau berlebih lalu perlu dikurangi.
Ayat ini turun di saat Rasulullah masih hidup, bahkan belum beranjak meninggalkan Tanah Suci Makkah setelah menunaikan ibadah hajinya.
Artinya, masih ada kemungkinan akan terjadi perubahan dalam syariat Islam yang beliau bawa. Namun, ternyata tidak ada perubahan apa pun, walillahil hamdu.
Ayat ini adalah dalil pertama yang harus dihadapkan kepada ahlul batil, siapa pun dia, di mana saja dan kapan saja.
Oleh sebab itu, apa saja di masa Rasulullah n yang bukan merupakan ajaran Islam, di zaman ini dan seterusnya juga bukan bagian dari Islam.
Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama ini, berarti dia menuduh Muhammad n telah mengkhianati risalah yang diberikan oleh Allah l kepadanya.
Agaknya, Rasulullah n pun menyadari ajalnya sudah dekat. Beberapa bulan sebelumnya, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan, “Hai Mu’adz, mungkin engkau tidak lagi menjumpaiku sesudah ini. Mungkin engkau hanya melewati masjidku ini dan kuburanku.”
Mu’adz menangis tersedu-sedu mendengar pesan sang junjungan. Berat hatinya meninggalkan Madinah. Tetapi, tugas ini dipercayakan oleh Rasulullah ke pundaknya. Sam’an wa tha’atan, ya habibi (saya mendengar dan taat, duhai kekasihku!).
Pantas dan sangat pantas Mu’adz menangis. Kita pun seharusnya demikian. Tidak ada kesedihan yang lebih berat daripada berpisah dengan Rasulullah n, di dunia, apalagi di akhirat. Na’udzu billah min dzalik!
Setelah menunaikan thawaf wada’, Rasulullah n bersama kaum muslimin bersiap menuju Madinah. Istirahat? Bukan, melainkan melanjutkan jihad di jalan Allah.
Beberapa hari kemudian, beliau -shalallahu alaihi wasallam- jatuh sakit.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Dia limpahkan atasmu, wahai junjungan.
***
Ustadz Abu Muhammad Harits
Catatan Kaki:
[1]. Haji tamattu’ adalah mengerjakan umrah pada bulan-bulan haji, lalu bertahallul dari umrah itu untuk melaksanakan haji pada tahun itu juga. Haji qiran ialah berihram untuk haji dan umrah secara bersamaan (sekaligus). Adapun haji ifrad adalah berihram hanya untuk haji. Lihat pembahasan haji lebih lengkap pada Asy Syariah Vol. III/No. 27.
[2]. Penggalan hadits dari Thalhah bin ‘Ubaidillah bin Katsir, diriwayatkan oleh al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (1/422) dan sanadnya mursal. Namun, ada penguatnya dari jalur ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 3579).
[3]. HR. Ahmad (6/187), Abu Dawud (2019), disahihkan oleh al-Hakim (1/467) dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[4]. HR. Muslim (6/18, 1844) (46)