Sirah Nabi (58) : Perang Tabuk


Bulan Rajab tahun ke sembilan hijrah. Panas menyengat kota Madinah. Pasir dan batu bagaikan bara api. Tetapi pada saat itu buah-buahan sedang ranum-ranumnya untuk dipetik. Sehingga betul-betul menggoda hati untuk tidak beranjak menikmati teduhnya naungan, menanti panen.

Sebab-sebab Peperangan

Setelah jatuhnya Makkah ke pangkuan Islam. Sirna pula keraguan terhadap risalah yang diemban Manusia Agung, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Muththalib shalallahu alaihi wasallam.

Manusiapun memeluk Islam berbondong-bondong. Kaum musliminpun mulai tenang mempelajari syariat Islam di negeri-negeri mereka.

Tetapi, nun jauh di utara, di luar bumi Hijaz. Satu kekuatan besar mengancam perkembangan agama yang baru bersemi ini. Kekuatan Imperium Romawi.

Sebuah kekuatan imperium yang menguasai belahan bumi bagian barat. Negara yang sudah memiliki strata peradaban yang maju untuk ukuran dewasa itu. Jauh melampaui negara-negara Arab yang ada. Bahkan kekuatan kabilah Arab yang ada seperti Quraisy, tidak ada artinya di hadapan kekuatan imperium Romawi.

Setelah terbunuhnya utusan Rasulullah Al-Harits bin ‘Umair Al-Azdi di tangan Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani, beliaupun mengirim pasukan Zaid bin Haritsah hingga terjadi pertempuran sengit di Mu’tah dengan gugurnya para panglima pasukan muslimin ; Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhum.

Akan tetapi peristiwa ini tidak diperhitungkan oleh Heraklius, raja Romawi ketika itu. Sehingga dia tidak merasa perlu melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin untuk menjaga keamanan wilayah kekuasaannya.

Bagi kabilah Arab lainnya yang menjadi jajahan Romawi, peristiwa Mu’tah telah memberi pengaruh begitu dalam. Satu demi satu mereka melepaskan diri dari kekuasaan Romawi.

Setelah melihat kondisi inilah Heraklius baru menyadari betapa perlunya menyiapkan pasukan untuk menumpas gerakan kaum muslimin agar tidak mengganggu kekuasaan Romawi. Maka Heraklius pun segera memobilisasi rakyatnya.

Sampailah berita ke kota Madinah tentang persiapan tentara Romawi untuk menyerang kaum muslimin.

Kisah Masjid Dhirar

Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, ada seorang tokoh dari Khazraj digelari Abu ‘Amir Ar-Rahib (Si Pendeta). Di masa jahiliyah, dia memeluk agama Kristen dan membaca ilmu ahli kitab. Dia rajin beribadah ketika itu dan mempunyai kedudukan mulia di kalangan orang-orang Khazraj.

Setelah Rasulullah tiba sebagai muhajir di Madinah, dan kaum muslimin bersatu mendukung beliau, lalu Islam memiliki kemuliaan dan Allah menangkan mereka dalam perang Badr, Abu ‘Amir merasa menelan kepahitan hingga diapun menampakkan permusuhan dan lari bergabung dengan orang-orang kafir Makkah, menghasut mereka agar memerangi Rasulullah. Dia juga yang menggali lubang jebakan dalam peperangan hingga Rasulullah jatuh di salah satu lubang jebakan tersebut.

Suatu ketika Abu ‘Amir mencoba membujuk orang-orang Anshar agar mendukung dan membelanya. Tetapi dia justeru menerima cercaan dari orang-orang Anshar. Rasulullah sendiri pernah mengajaknya kepada Islam dan membacakan Al-Qur’an kepadanya, namun dia menolak dan menentang. Akhirnya Rasulullah n mendoakannya mati sebatang kara terusir dari tanah airnya.

Hal itu menjadi kenyataan. Ketika dia melihat kedudukan Rasulullah semakin menjulang, dia lari ke Syam bergabung dengan Heraklius, meminta bantuan kepadanya memerangi Nabi. Heraklius menjanjikan dan mengizinkannya tinggal di negerinya. Kemudian Abu ‘Amir menulis surat kepada beberapa orang yang masih mendukungnya dari kalangan Anshar yang munafik. Dia menjanjikan bahwa akan ada bantuan untuk memerangi Rasulullah serta mengembalikan kedudukannya di tengah-tengah kaumnya.

Untuk memuluskan rencananya, Abu ‘Amir memerintahkan pendukungnya untuk membuat satu markas mengamati keadaan kaum muslimin jika bantuan itu datang. Akhirnya merekapun segera membangun sebuah masjid yang berdekatan dengan Masjid Quba. Masjid itu selesai sebelum Rasulullah berangkat menuju Tabuk.

Merekapun datang meminta agar Rasulullah mau shalat di masjid tersebut sebagai bukti bahwa beliau telah merestui. Mereka memberi alasan bahwa masjid itu dibangun untuk menampung kalau ada yang sakit dan kesulitan di malam musim dingin serta orang-orang yang lemah.

Allah menjaga beliau agar tidak shalat di sana, kata beliau: “Kami sedang dalam perjalanan. Kalau kami sudah kembali Insya Allah (kami akan shalat di sana).”

Ketika Rasulullah dalam perjalanan kembali dari Tabuk, tinggal sehari atau dua hari lagi sebelum masuk ke Madinah, turunlah Jibril menerangkan keadaan masjid dhirar tersebut. Bahwasanya mereka mendirikan masjid tersebut di atas kekafiran, memecah belah kaum mukminin di masjid mereka. Akhirnya Rasulullah mengirim beberapa orang untuk meruntuhkan masjid itu menjelang kedatangan beliau di Madinah.

Allah berfirman menerangkan keadaan masjid ini:

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (At-Taubah: 107-108)

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa ada empat perkara yang mendorong mereka mendirikan masjid tersebut, yaitu :

  • Upaya menimbulkan mudarat bagi orang lain
  • Kekafiran kepada Allah dan membanggakan diri terhadap kaum muslimin
  • Memecah belah kaum mukminin
  • Memata-matai untuk mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagai bantuan buat musuh-musuh Allah.

Allah menggagalkan usaha mereka dan membuat tipu daya mereka sia-sia dengan memerintahkan Nabi-Nya agar meruntuhkan serta memusnahkan masjid tersebut.

Allah juga melarang Rasul-Nya n dan kaum mukminin shalat di masjid tersebut dengan larangan yang sangat keras.

Allah berfirman: “Janganlah kamu menegakkan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)

Adapun sumpah yang mereka ucapkan sebagaimana dalam firman Allah tersebut: “Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.”

Justeru celaan terhadap mereka atas angan-angan keji dan kedustaan mereka. Maka sebab itulah Allah berfirman: “Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta.

Dengan hancurnya masjid dhirar, semakin sempitlah ruang gerak kaum munafik. Jati diri mereka pun semakin jelas bagi kaum muslimin.

Persiapan Menuju Tabuk

Tabuk adalah daerah di pinggiran wilayah Syam ke arah kiblat (selatan), dari Madinah sekitar 12 marhalah. Menurut Yaqut Al-Hamawi daerah ini terletak antara Wadil Qura dan negeri Syam. Daerah ini termasuk jajahan Bizantium (Romawi) ketika itu.

Rasulullah bertekad untuk memerangi Romawi, padahal ketika itu musim panas begitu hebat. Keadaan perekonomian sedang mengalami masa-masa sulit. Beliau sengaja menampakkan kepada kaum muslimin keinginan tersebut. Bahkan beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui di sekitar beliau agar berangkat bersama beliau. Maka terkumpullah pasukan cukup besar, yaitu sekitar 30.000 orang.

Walaupun keadaan serba sulit, Rasulullah tetap mendorong kum muslimin bersiap-siap untuk berperang. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Beliau membangkitkan semangat orang-orang yang berharta agar berinfak di jalan Allah. Maka berlomba-lombalah para hartawan mengeluarkan hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan yang kesulitan) tersebut.

Az-Zuhri dan ulama lainnya menceritakan:

“Rasulullah biasanya kalau ingin berangkat berperang, melakukan serangkaian taktik. Misalnya dengan membuat kiasan atau kata-kata sandi. Tetapi dalam perang Tabuk ini, beliau justeru menyampaikan terang-terangan tujuan dan sasarannya agar kaum muslimin bersiap-siap. Beliau sampaikan bahwa yang dituju adalah Romawi.

Pada suatu hari dalam situasi persiapan tersebut, Rasulullah berkata kepada Jadd bin Qais, salah satu keluarga kabilah Bani Salimah: “Hai Jadd, apakah tahun ini engkau ada keinginan kepada kulit-kulit Banil Ashfar (orang bule)?”

Jadd menukas: “Ya Rasulullah, izinkanlah saya (tidak ikut berperang). Jangan anda jerumuskan saya dalam fitnah. Demi Allah, kaumku semua tahu bahwa tidak ada laki-laki yang paling besar kekagumannya kepada wanita daripada aku. Saya khawatir kalau saya melihat wanita bule itu, saya tidak dapat bersabar” . Rasulullah pun meninggalkannya sambil berkata: “Saya beri izin untukmu

Tentang Jadd inilah turun firman Allah [1]: “Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 49)

Ada pula dari kalangan kaum munafikin yang mengatakan: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Mereka merasa tidak membutuhkan jihad serta meragukan kebenaran dan menimbulkan kegoncangan pada Rasulullah.

Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui.” (At-Taubah: 81).

Kisah Para Sahabat Berlomba Lomba Membiayai Perang Tabuk

Keadaan yang sulit, panas menyengat, dan perbekalan yang tidak memadai menurut hitungan matematika manusia, tidak membuat luntur keinginan mereka memperoleh kesyahidan. Beberapa orang hartawan di kalangan sahabat berlomba-lomba menginfakkan hartanya membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan Kesulitan).

Umar bin al-Khathab radhiallahu anhu menuturkan, “Inilah saatnya, aku akan mengalahkan Abu Bakr ash-Shiddiq (dalam kebaikan)”.

Esok harinya, dia berangkat menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membawa separuh hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?”

Masih ada separuhnya untuk mereka, wahai Rasulullah,” jawab Umar.

Tak berapa lama datanglah ash-Shiddiq al-Akbar radhiallahu anhu.

Dia datang menyeret hartanya yang cukup banyak dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Melihat harta yang cukup banyak itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya pula, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakr?”

Abu Bakr menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang aku tinggalkan untuk mereka.”

Mendengar jawaban yang penuh keyakinan ini, Umar radhiallahu anhu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berlomba lagi dalam hal apa pun denganmu selama-lamanya, wahai Abu Bakr”[1]

Kemudian, datanglah Utsman bin Affan membawa seribu dinar lalu mencurahkannya di pangkuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Melihat harta tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membolak-balikkan dinar yang ada di tangan beliau, seraya berkata, “Tidak akan mencelakakan Utsman, apa pun yang dia lakukan setelah hari ini.”[2]

Demikianlah apabila iman sudah tertanam kokoh dalam sanubari setiap muslim. Membelanjakan harta di jalan Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah sesuatu yang berat, sebesar apa pun. Padahal watak asli manusia sangatlah cinta kepada harta.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”  (al-‘Adiyat: 8).

Firman-Nya, “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 20)

Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala memberi syarat, bahwa seseorang akan mencapai tingkatan al-birr (kebajikan, ketakwaan) apabila dia sanggup membelanjakan harta yang dicintainya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai….” (Ali Imran: 92)

Sementara itu, sebagian orang kaya dari kalangan munafik, justru mencari-cari alasan agar tidak ikut serta dalam peperangan ini. Begitu pula orang-orang badui. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima uzur mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, serta mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahanam itu lebih dahsyat panas(nya),’ jikalau mereka mengetahui. Hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (at-Taubah: 81—82)

Menuju Tabuk

Dengan kekuatan 30.000 personel, bertolaklah Jaisyul ‘Usrah menghadang tentara Romawi yang ingin memadamkan cahaya agama Allah subhanahu wa ta’ala.

Pasukan berangkat di bawah terik matahari yang membakar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib  radhiallahu anhu sebagai wakil beliau mengurus keluarga beliau.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga mengangkat Muhammad bin Maslamah al-Anshari radhiallahu anhu sebagai pengganti beliau di Madinah.

Melihat Ali tertinggal, beberapa kaum munafik mencemoohnya, “Dia ditinggal karena memberatkan dan agar ia (Rasulullah, -red.) menjadi lebih ringan.”

Mendengar ejekan tersebut, Ali bergegas mengambil senjatanya dan menyusul Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ketika itu sudah sampai di Jurf [3].

Kemudian Ali menceritakan bahwa orang-orang munafik mengejeknya karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mereka dusta. Kamu aku tinggalkan karena orang-orang yang ada di belakangku. Kembalilah, gantikan aku dalam mengurus keluargaku dan keluargamu. Tidakkah engkau ridha, kedudukanmu di sisiku seperti Harun dengan Musa. Hanya saja, tidak ada lagi nabi sesudahku [4].”

Dengan patuh, Ali radhiallahu anhu kembali ke Madinah.

Kondisi yang berat, membuat wajar saja jika sebagian orang tertinggal sebetulnya. Akan tetapi, itulah serangkaian ujian karena mereka telah menyatakan beriman dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Jadi, mau tidak mau, halangan apa pun harus mereka singkirkan demi mendahulukan seruan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya untuk berjihad.

Beberapa Pesan & Nasehat Rasulullah Sebelum Tiba Di Tabuk

Sebelum tiba di Tabuk, rombongan pasukan melintasi daerah Hijr, wilayah pemukiman bangsa Tsamud dahulu. Sambil menutupkan kain ke wajahnya dan memacu kendaraannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  berkata,

“Janganlah kamu memasuki negeri orang-orang yang disiksa ini kecuali dalam keadaan menangis. Kalau kamu tidak menangis, janganlah memasukinya agar kamu tidak terkena azab seperti yang telah menimpa mereka.”[5]

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan,

“Akan berembus angin kencang malam ini. Janganlah seorang pun dari kalian berdiri. Siapa yang mempunyai unta, hendaklah dia kencangkan ikatannya.”

Bertiuplah angin kencang itu. Ada seseorang yang berdiri, maka dia diterbangkan angin itu sampai jatuh di bukit Thayyi’.[6]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga berpesan kepada pasukan agar tidak menggunakan air dari sumur yang ada, baik untuk berwudhu maupun makan. Akan tetapi, hendaklah mereka menggunakan air yang dahulu menjadi tempat minum unta Nabi Shalih alaihis salam. Kalau ada yang hendak pergi buang hajat, hendaklah berangkat disertai temannya.

Menjelang tiba di Tabuk, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga sempat berpesan,

“Sesungguhnya besok, kamu akan mendekati mata air Tabuk, insya Allah. Kamu tidak akan memasukinya kecuali sampai masuk waktu Dhuha. Siapa di antara kalian yang sampai di tempat tersebut, janganlah dia menyentuh airnya sedikit pun hingga aku datang.”

“Akan tetapi ada dua orang yang mendahului kami sampai di tempat itu, sementara airnya menetes sangat sedikit”.

Kata perawi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian berdua sudah menyentuh air ini?”

Keduanya berkata, “Ya.”

Mendengar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mencela keduanya sedemikian rupa dan mengucapkan kata-kata menurut apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Kemudian mereka menciduk air itu dengan tangan mereka sedikit demi sedikit hingga terkumpul dalam satu wadah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun membasuh kedua tangan dan wajahnya, lalu mengembalikannya ke tempat itu. Seketika memancarlah air yang berlimpah atau sangat banyak. (Abu Ali ragu-ragu mana yang disebutkan perawi). Akhirnya pasukan itu memperoleh air minum.

Kemudian beliau berkata, “Wahai Muadz, andaikata panjang usiamu, sungguh akan engkau lihat di sini akan penuh dengan kebun-kebun.”[7]

Itulah sebagian mukjizat beliau dan sekarang telah menjadi kenyataan.

Setelah tiba di Tabuk, beliau mengistirahatkan pasukan dan menetap beberapa hari di sana. Tak lama, datanglah penguasa negeri Ailah. Dia mengajak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdamai dan bersedia menyerahkan jizyah.

Beberapa hari menetap di Tabuk, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan pasukan menjamak shalat mereka. Melihat pasukan Romawi tidak muncul, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersiap-siap hendak kembali.

Bersiap Kembali Ke Madinah

Peperangan urung terjadi. Tidak diketahui alasan yang pasti mengapa peperangan itu tidak terjadi, walaupun ada yang menyebutkan salah satu alasan itu di antaranya; pasukan Romawi lebih senang tinggal di dalam wilayah Syam untuk berlindung di benteng-bentengnya ketika sampai kepada mereka berita tentang kekuatan pasukan muslimin.

Apa pun alasannya, Rasulullah tetap di Tabuk selama beberapa hari, dan mengirim beberapa pasukan kecil ke sekitar daerah Tabuk. Tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah n ini menambah kekuatan wibawa Islam di wilayah utara jazirah ‘Arab dan membuka jalan ke arah penaklukan daerah Syam sesudah itu.

Walaupun tidak terjadi pertempuran, ada sahabat yang meninggal dunia.
Abdullah bin Mas’ud menceritakan, pada suatu malam yang sunyi dia terjaga dari tidurnya dan melihat ada selarik api di bagian agak jauh dari pasukan. Beliau berusaha mendekati cahaya api tersebut. Ternyata, Rasulullah, Abu Bakr dan ‘Umar sedang mengurus jenazah ‘Abdullah Dzul Bijadain Al-Muzani.

Rupanya, Rasulullah n bersama kedua sahabatnya itu sudah menggali kuburan untuk jenazahnya. Rasulullah n masuk ke dalam liang kubur itu, sementara Abu Bakr dan ‘Umar mendekatkan jenazah itu kepada beliau yang berkata, “Kemarikan jenazah saudaramu itu.”

Setelah meletakkannya di dalam kubur tersebut, beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku meridhainya, maka ridhailah dia.” Mendengar doa itu, Abdullah bin Mas’ud berkata dalam hati, “Duhai, kiranya akulah yang dikuburkan itu.”

Makar Kaum Munafik

Perang Tabuk dinamakan juga ghazwatul ‘usrah (Perang Kesulitan), karena menyatunya berbagai kesulitan atas kaum muslimin, baik dalam hal kendaraan, perbekalan, air, cuaca, medan, maupun gangguan orang-orang munafik. Akan tetapi, sahabat-sahabat Rasulullah begitu tabah memikul segala kesulitan tersebut di jalan Allah.

Semoga Allah meridhai mereka. Bagaimanapun, kaum munafik tidak pernah membiarkan satu peluang pun untuk menjatuhkan Islam dan kaum muslimin. Terlebih lagi, di dalam peperangan ini. Sejak awal persiapan, mereka sudah mulai berusaha meruntuhkan semangat kaum muslimin agar tidak berangkat berjihad di panas yang terik ini.

Dalam masa-masa perang Tabuk inilah turun surat At-Taubah membeberkan watak asli kaum munafikin. Allah benar-benar membuka aib mereka dan menampakkan kejahatan hati mereka kepada kaum mukminin dengan lengkap dan jelas. Allah menerangkan alasan yang mereka buat-buat agar tetap tinggal di Madinah, tidak ikut berperang.
Allah l berfirman:

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam uzurnya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka, dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. (At-Taubah: 42-44)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan, “Allah l mencela orang-orang yang tertinggal dari Nabi n dalam perang Tabuk sesudah meminta izin dan menampakkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai uzur, padahal tidak demikian.”

Allah taala berfirman: لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا (Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh), kata Ibnu ‘Abbas , “(Artinya) rampasan perang yang dekat (mudah diperoleh); وَسَفَرًا قَاصِدًا (dan perjalanan yang tidak berapa jauh), yang dekat juga; pasti mereka mengikutimu untuk mendapatkannya, tetapi perjalanan ke Syam amat jauh terasa oleh mereka. Apabila kamu kembali kepada mereka, tentu mereka akan bersumpah, “Seandainya kami tidak mempunyai uzur, pasti kami berangkat bersamamu”.

Itulah sebagian alasan mereka yang dibuat-buat.

Ada pula di antara mereka yang ikut serta sampai di Tabuk, ternyata berusaha menyebarkan keraguan dalam hati kaum muslimin.

Ketika Rasulullah kehilangan untanya, seorang munafik mengatakan, “Kalau memang Muhammad mengaku nabi dan menyampaikan kepada kamu berita dari langit, mengapa dia tidak mengetahui di mana untanya berada?

Rasulullah pun berkata, “Ada orang yang mengatakan, ‘Kalau memang Muhammad mengaku nabi dan menyampaikan kepada kamu berita dari langit, mengapa dia tidak mengetahui di mana untanya berada?

“Demi Allah, saya memang tidak mengetahui apa-apa kecuali yang diberitahukan oleh Allah. Dan Allah telah menerangkan kepada saya di mana unta tersebut. Unta itu di lembah anu, di jalan anu, dan talinya tersangkut sebatang pohon”.

Umarah, salah seorang sahabat, ada di dekat beliau. Tak lama, beberapa sahabat berangkat hendak mencarinya.

Umarah pun kembali ke tendanya dan berkata, “Demi Allah, sungguh ajaib yang diceritakan oleh Rasulullah tadi, tentang perkataan seseorang yang diberitakan oleh Allah kepada beliau.”

Mendengar ucapan ‘Umarah ini, salah seorang yang ada di situ, tapi tidak mendengar langsung perkataan Rasulullah, berkata, “Demi Allah yang diucapkan oleh Rasulullah itu adalah perkataan yang diucapkan Zaid bin Lushaid, sebelum engkau datang.”

Umarah menjadi marah, dia pun mencekik leher Zaid dan mengusirnya dari tenda itu serta melarangnya menyertai dirinya lagi, “Di tendaku ada kejadian begini, dalam keadaan aku tidak tahu? Keluarlah kau dari tendaku, wahai musuh Allah. Jangan menyertaiku lagi.

Ucapan berbahaya ini masih ringan. Kaum munafik tidak berhenti sampai di situ. Mereka pun berencana membunuh Rasulullah.

Waktu itu, Rasulullah mulai bertolak menuju Madinah. Dalam perjalanan, beberapa gelintir munafik berupaya melakukan tipu daya untuk membunuh Rasulullah dengan cara mendorong beliau jatuh dari puncak tebing di jalan tersebut.

Kemudian, Rasulullah mengatakan, “Siapa di antara kalian mau melalui dasar lembah, itu lebih luas bagi kalian.”

Akhirnya, Rasulullah melalui jalan yang mendaki, sedangkan pasukan muslimin melewati dasar lembah, kecuali beberapa orang yang ingin membunuh Rasulullah tadi. Karena itu, ketika mereka mendengar ucapan beliau, mereka segera bersiap-siap dan menutupi muka mereka.
Alangkah keji rencana mereka terhadap Rasulullah.

Rasulullah memanggil Hudzaifah Ibnul Yaman dan ‘Ammar bin Yasir agar berjalan bersama beliau. Lalu beliau memerintahkan ‘Ammar memegang tali kekang unta, sedangkan Hudzaifah menuntunnya.

Pada waktu mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba terdengar suara di belakang mereka. Rupanya, orang-orang munafik tadi sedang berusaha menyusul beliau.

Rasulullah marah dan memerintahkan agar Hudzaifah menjauhkan mereka. Karena melihat kemarahan di wajah Rasulullah, Hudzaifah segera berbalik sambil membawa sebatang tongkat yang berkeluk kepalanya. Kemudian, dia menghadang kendaraan mereka dan memukulnya dengan tongkat.

Hudzaifah pun melihat orang-orang munafik itu dalam keadaan menutup wajah mereka. Hudzaifah mengira mereka menutupi wajah itu sekadar kebiasaan musafir, padahal tidak. Mereka ingin menyembunyikan identitas yang sesungguhnya.

Demikianlah keadaan kaum munafik, mereka menutupi diri, bersembunyi dari manusia, tetapi tidak dapat menyembunyikan diri dari Allah , karena Allah beserta mereka. Allah sudah memperhitungkan segala tindak-tanduk mereka dan telah menyiapkan balasan yang setimpal buat mereka di dunia dan akhirat.

Rasa takut menyelinap dalam hati mereka ketika melihat Hudzaifah berdiri di jalan yang akan mereka lalui. Mereka mengira tipu daya mereka sudah diketahui oleh Hudzaifah. Akhirnya, mereka segera bergabung dengan pasukan, sementara Hudzaifah berbalik menuju Rasulullah.

Setelah mendekat, Rasulullah berkata, “Pukullah kendaraan ini, wahai Hudzaifah! Dan berjalanlah, wahai ‘Ammar!

Rombongan mempercepat jalan mereka hingga tiba di puncak bukit, lalu keluar dari jalan itu menunggu pasukan.

Nabi shalallahu alaihi wasallam bertanya kepada Hudzaifah, “Tahukah engkau siapa rombongan pengendara tadi?

Kata Hudzaifah, “Saya mengenal kendaraan si Fulan dan si Fulan. Waktu itu malam sangat gelap dan mereka menutupi wajah mereka.”

Rasulullah bertanya lagi, “Tahukah kamu apa yang mereka inginkan?

Keduanya berkata, “Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah.”

Kata beliau, “Sesungguhnya mereka berencana hendak ikut berjalan bersamaku, dan jika telah tiba di jalan yang berbukit, mereka akan mendorongku sampai jatuh.”

Serempak mereka berkata, “Kalau begitu, mengapa Anda tidak memerintahkan mereka dipanggil, agar kami penggal leher mereka?

Beliau pun berkata, “Saya tidak suka orang akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.”

Kemudian beliau menyebut nama-nama mereka dan berkata, “Rahasiakanlah oleh kalian berdua!”[8]

Sejak saat itu pula Hudzaifah dikenal sebagai pemegang rahasia nama-nama kaum munafik lengkap dengan ciri-ciri mereka. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat mengetahui seseorang adalah munafik, apabila Hudzaifah tidak mau menyolatkan jenazahnya.

Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan melelahkan itu, terdengar pula sebuah ucapan dari salah seorang prajurit, “Kita belum pernah melihat qurra’ (ahli baca Qur’an) kita seperti mereka ini,” yang dimaksudkannya adalah pribadi Rasul dan para sahabat, “Paling gendut perutnya, tidak (pernah kita lihat) yang paling dusta ucapannya, dan tidak (pernah kita lihat) yang paling takut ketika bertemu (musuh).”[9]

Ketika dilaporkan kepada Rasulullah dan mereka ditanya, mereka mengatakan, “Kami hanya bergurau.”

Namun, ternyata Rasulullah n hanya menjawab dengan membacakan firman Allah l: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (At-Taubah: 65)

Dengan tegas pula Allah l menyatakan bahwa berolok-olok dengan Allah l, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya adalah kekafiran: “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”

Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa menjadikan Allah l, ayat-Nya, dan Rasul-Nya sebagai bahan ejekan, hukumnya kafir, keluar dari Islam.

Demikianlah keadaan kaum munafik. Di zaman itu mereka menyembunyikan jatidirinya agar tidak turun ayat membeberkan kejahatan mereka. Di zaman ini, mereka dengan terang-terangan menampakkan kejahatan tersebut.

Mereka terang-terangan menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya sebagai bahan ejekan, cemoohan, dan hinaan. Mereka berusaha menampilkan citra kekafiran, apa pun bentuknya, adalah baik. Sedangkan seruan kembali kepada Islam adalah keburukan, radikal, ekstrem, jumud, statis, kemunduran, dan segudang ejekan lainnya. Mereka lebih bangga dengan semua yang serba Barat. Kemajuan adalah apa yang datang dari Barat.

Hanya kepada Allah kita memohon, semoga Allah l tidak memperbanyak jumlah mereka.

Rasulullah & Pasukan Kaum Muslimin Tiba Di Madinah

Rasulullah bersama pasukan muslimin mulai mendekati kota Madinah. Beberapa penduduk kota berlarian menyambut beliau, begitu pula wanita dan anak-anak yang hendak menyambut beliau, suami dan ayah-ayah mereka. Anak-anak itu dengan gembira mendendangkan nyanyian:

Telah muncul purnama kepada kami dari Tsaniyatil Wada

Kemudian Rasulullah n memasuki masjid dan shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.

Setelah itu, mulailah berduyun-duyun orang-orang yang tertinggal menemui beliau mengajukan uzur tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Sebagian dari mereka diterima oleh beliau dan urusan batinnya diserahkan kepada Allah.

Kisah Penangguhan Tiga Orang Sahabat Karena Tidak Mengikuti Perang Tabuk

Di antara sahabat, ada beberapa orang yang sengaja mengikat tubuh mereka di tiang-tiang masjid. Rasulullah melihat mereka dan bertanya, “Siapa yang mengikat dirinya di tiang masjid?

Sahabat lain menjawab, “Itu Abu Lubabah dan teman-temannya, karena mereka tidak ikut berperang bersama Anda, wahai Rasulullah. Mereka ingin Anda sendiri yang melepaskan mereka”.

Rasulullah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan dan tidak pula menerima uzur mereka, sampai Allah sendiri yang melepaskan mereka. Mereka tidak suka ikut bersamaku dan tidak mau berperang bersama kaum muslimin”.

Ketika sampai perkataan Rasulullah kepada sahabat-sahabat tersebut, mereka berkata, “Kami pun tidak akan melepaskan diri kami hingga Allah sendiri yang melepaskan kami.”

Kemudian turunlah firman Allah : “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102).

Setelah ayat ini turun, Nabi pun menemui mereka, melepaskan tali yang membelit mereka dan menerima uzur mereka. Tak lama kemudian, mereka datang menemui Rasulullah sambil membawa harta mereka dan berkata, “Wahai Rasulullah, inilah harta kami. Bersedekahlah dengan harta ini dan mintakanlah ampunan untuk kami.”

Beliau menjawab, “Saya tidak diperintah mengambil harta kalian.” Lalu turun ayat: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)

Kemudian, datang pula tiga orang sahabat yang mulia: Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin ar-Rabi’.

Mereka tidak ikut mengikat diri mereka bersama Abu Lubabah dan teman-temannya. Mereka merasa tidak punya alasan yang memberatkan hingga tertinggal dari Rasulullah. Mereka hanya menyampaikan bahwa mereka tidak ikut serta. Akhirnya, Rasulullah menyerahkan urusan mereka kepada Allah.

Kejadian ini bisa kita ketahui dari penuturan sahabat yang mulia, Ka’b bin Malik z, berikut ini.

“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah n dalam peperangan yang beliau lakukan kecuali Perang Tabuk. Walaupun saya pernah tertinggal dari Perang Badr, tapi Rasulullah n tidak mencela saya dan siapa pun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasulullah n keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, walaupun akhirnya Allah l mempertemukan beliau dengan musuh-musuhnya tanpa kesepakatan sebelumnya.

Sungguh, saya telah ikut bersama Rasulullah n pada malam ‘Aqabah ketika kami sangat yakin kepada Islam. Saya tidak suka malam itu digantikan dengan peristiwa Badr, meskipun Badr lebih dikenang orang daripada malam itu.

Saya belum pernah merasa keadaan saya lebih kuat sama sekali dan lebih mudah daripada keadaan saya ketika tertinggal dari beliau dalam perang (Tabuk) tersebut. Demi Allah, saya belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali Perang Tabuk. Biasanya, bila hendak berangkat berperang, Rasulullah n melakukan tauriyah (berbuat atau mengatakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian, red.) dengan hal-hal yang lain.

Setelah melakukan persiapan, walaupun serba minim, karena pada waktu itu adalah musim panas yang sangat buruk, kendaraan dan perbekalan serba kurang, Rasulullah n berangkat juga. Beliau menampakkan dan memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan perlengkapan perang mereka. Beliau n menyampaikan terang-terangan ke mana arah yang beliau tuju dan lawan yang akan dihadapi, sehingga banyak yang menyertai Rasulullah n. Akan tetapi, tidak ada penulis yang mencatat—semacam sensus—jumlah mereka dengan pasti.

Kata Ka’b selanjutnya, “Ada yang ingin mengelak dan mengira pasti akan dapat bersembunyi dari beliau selama tidak turun wahyu Allah tentang dia.”

Tak lama, ketika buah-buahan mulai masak, naungan mulai rimbun, Rasulullah n pun berangkat diikuti oleh kaum muslimin. Saya datang pagi-pagi untuk bersiap-siap bersama mereka, lalu pulang tetapi tidak melakukan apa-apa.

Saya berkata dalam hati, “Saya dapat segera menyiapkannya.”

Pagi harinya Rasulullah dan kaum muslimin sudah mulai bergerak. Tetapi, saya masih belum mempersiapkan diri sedikit pun. Saya berkata dalam hati, “Saya akan mempersiapkan diri sesudah satu atau dua hari ini lalu menyusul mereka.”

Saya pun datang pagi-pagi, lalu kembali lagi sesudah mereka berangkat. Saya pulang dan belum juga berbuat apa-apa.

Saya datang dan pergi lagi tanpa melakukan sesuatu. Hal ini berlangsung terus-menerus sampai pasukan semakin jauh dari kota. Saya mulai bertekad menyusul mereka.

Duhai, kiranya saya memang melakukannya, namun belum juga ditakdirkan untuk saya. Suatu hari, saya keluar di antara orang banyak sesudah Rasulullah n dan pasukan muslimin berangkat. Saya pun berkeliling. Sungguh menyedihkanku, ternyata saya tidak melihat siapa-siapa kecuali orang-orang yang tertuduh munafik atau orang-orang lemah yang diberi uzur oleh Allah.

Rasulullah tidak menyebut-nyebut nama saya sampai beliau tiba di Tabuk. Setelah berada di Tabuk, mulailah beliau bertanya ketika duduk-duduk di antara pasukan, “Apa yang dikerjakan Ka’b?

Salah seorang dari Bani Salimah berkata, “Wahai Rasulullah, dia ditahan oleh dua burdahnya dan melihat betapa bagusnya burdah itu.”

Mu’adz bin Jabal menukas, “Alangkah buruknya ucapanmu. Demi Allah, wahai Rasulullah. Kami tidak mengetahui tentang dia kecuali yang baik-baik saja.” Rasulullah pun diam.

Kemudian, Ka’b bin Malik melanjutkan, “Ketika sampai berita bahwa Rasulullah n dan kaum muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncullah keinginanku mencari-cari tipuan. Saya berkata dalam hati, “Dengan apa kira-kira saya dapat lolos dari kemarahan beliau nanti?” Saya pun meminta saran dari seluruh keluarga saya.

Tatkala diberitakan bahwa Rasulullah n sudah mulai kembali, hilanglah kebatilan (kebohongan). Saya pun tahu, tidak akan mungkin lolos dengan sedikit kebohongan saja dari beliau selamanya. Akhirnya, saya mengumpulkan sikap jujur untuk beliau.

Esok harinya, Rasulullah n dan pasukan pun sampai di Madinah. Penduduk berduyun-duyun menyambut beliau. Biasanya, kalau baru tiba dari safar beliau selalu singgah lebih dahulu di masjid dan shalat dua rakaat, kemudian duduk menghadapi orang banyak yang datang mengajukan uzur dan meminta maaf atas ketertinggalan mereka. Setelah itu, datanglah orang-orang yang tertinggal itu dan mulailah mereka mengajukan alasan serta bersumpah. Jumlah mereka sekitar delapan puluh orang. Rasulullah n menerima alasan mereka, membai’at, dan memintakan ampunan buat mereka serta menyerahkan rahasia mereka kepada Allah l.

Saya datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau tersenyum masam kepada saya seraya berkata, “Kemarilah!” Saya pun melangkah sampai duduk di hadapan beliau, lalu beliau berkata, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau sudah membeli kendaraan?”

Kata saya, “Betul. Sungguh, demi Allah, wahai Rasulullah. Seandainya saya duduk dengan orang lain di dunia ini, pastilah Anda melihat saya akan lolos dari kemarahannya dengan satu alasan. Sungguh, demi Allah, saya diberi kemampuan berdebat. Tetapi demi Allah, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu kebohongan, lalu Anda meridhai saya, pastilah Allah akan membuat Anda marah kepada saya. Sungguh, seandainya saya berbicara kepada Anda dengan jujur niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya betul-betul berharap pemaafan Allah dalam masalah ini.

“Tidak. Demi Allah, saya tidak punya uzur sama sekali. Saya tidak pernah merasa keadaan saya lebih kuat dan lebih mudah sama sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”

Kemudian Rasulullah n berkata, “Adapun dia ini, sudah berkata jujur. Berdirilah sampai Allah memberi keputusan tentangmu.”

Saya pun berdiri, dan berdatanganlah orang-orang Bani Salimah menyusul sambil mengatakan, “Demi Allah, kami tidak pernah lihat engkau berbuat kesalahan sebelum ini, engkau sungguh lemah. Mengapa engkau tidak meminta uzur kepada Rasulullah sebagaimana orang-orang yang tertinggal meminta uzur kepada beliau? Sudah cukup dosamu itu dengan Rasulullah n memintakan ampun untukmu.

Demi Allah, mereka terus-menerus mendorong saya sampai saya berkeinginan rujuk dan mendustakan diri sendiri. Kemudian saya katakan kepada mereka, “Apakah ada orang yang mengalami keadaan seperti ini bersama saya?

Kata mereka, “Ya, ada dua orang. Mereka mengucapkan hal yang sama seperti engkau dan dikatakan kepada mereka seperti yang diucapkan kepadamu.”

Saya pun bertanya, “Siapa mereka?

Kata mereka, “Murarah bin ar-Rabi’ al-‘Amri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.

Mereka menyebutkan dua orang saleh yang pernah ikut perang Badr. Mereka adalah teladan bagiku. Saya pun tetap melanjutkan sikap saya setelah mereka menyebut dua orang saleh ini.

Rasulullah mulai melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tertinggal. Akhirnya, orang banyak mulai menjauhi kami. Keadaan pun berubah, sampai saya merasa diri saya asing di bumi ini (Madinah). Seolah-olah tanah (Madinah) ini bukan seperti yang saya kenal. Dan kami merasakannya selama lima puluh hari.

Kedua sahabatku merasa hina dan hanya berdiam diri di rumah mereka sambil menangis. Sedangkan aku yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin, berkeliling di pasar-pasar dalam keadaan tidak seorang pun mengajakku bicara. Saya mencoba mendatangi Rasulullah n untuk mengucapkan salam kepada beliau ketika beliau duduk di majelisnya seusai shalat.

Saya bertanya dalam hati, “Apakah beliau menjawab salamku atau tidak?”.

Saya berusaha shalat di dekat beliau sambil mencuri-curi pandang. Kalau saya menekuni shalat saya, beliau menghadap ke arahku. Tapi kalau saya menoleh ke arah beliau, beliau membuang muka.

Sampai ketika saya merasakan kekakuan orang banyak ini semakin lama, saya berjalan lalu memanjat pagar rumah Abu Qatadah. Dia adalah anak paman saya dan orang yang paling saya cintai. Saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah, dia tidak menjawab salam saya.

Saya pun berkata, “Wahai Abu Qatadah, saya sumpahi engkau demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia tetap diam. Saya ulang menyumpahinya, tapi dia diam. Saya pun mengulangi lagi.

Akhirnya, Abu Qatadah berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Air mata saya mulai berlinang. Saya pun mundur dan turun dari pagar itu.
Abu Qatadah tidak mengatakan ya atau tidak. Sepatah kata tidaklah dianggap bicara. Bagaimana Ka’b tidak menangis, saudara sepupu yang sangat dicintainya, tidak menjawab salam dan pertanyaannya, padahal dia sudah menuntutnya dengan sumpah, yang jelas-jelas sebagai perkara ibadah. Di samping itu, pertanyaan Ka’b dengan sumpah itu sama artinya menuntut sebuah persaksian. Akan tetapi, Abu Qadatah tidak mau bersaksi walaupun dia mengetahui Ka’b mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Suatu hari, tatkala saya sedang berjalan di sebuah pasar kota Madinah, tiba-tiba seorang nabthi (orang Arab yang bercampur dengan Romawi dan ajam [non-Arab] sehingga nasabnya tercampur dan bahasanya rusak) dari penduduk Syam yang biasa membawa makanan untuk dijual di Madinah bertanya, “Siapa yang bisa menunjukkan kepada saya Ka’b bin Malik?
Orang banyak serentak menunjuk ke arah saya. Akhirnya dia menemui saya dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan.

Ternyata isinya, “Amma ba’du, “Sebetulnya sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad) mengucilkanmu. Allah tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami niscaya kami memuliakanmu.

Akan tetapi, beliau adalah orang yang beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya serta mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil, terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat dicintai, kalau saja beliau orang yang lemah iman, tentu dengan segera menyambut tawaran itu.

Setelah membacanya saya pun berkata, “Ini juga musibah,” lalu saya menyalakan tungku dan membakarnya.

Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah: menghancurkan sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya.

Empat puluh malam mulai merambat. Tak lama, datang utusan Rasulullah menemui saya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.”

Saya bertanya, “Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?

Katanya, “Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.” Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua sahabat saya itu.

Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allah memutuskan perkara ini.”

Datanglah istri Hilal bin Umayyah menemui Rasulullah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang laki-laki renta dan tidak punya pelayan. Apakah Anda tidak suka kalau saya melayaninya?

Kata beliau, “Tidak, tapi dia tidak boleh mendekatimu.”

Wanita itu berkata, “Sungguh, demi Allah, dia tidak ada keinginan lain kepada sesuatu. Demi Allah, dia terus menangis sejak awal kejadian ini sampai hari ini.”

Sebagian keluarga saya berkata, “Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah tentang istrimu sebagaimana diizinkan untuk istri Hilal bin Umayyah agar dia melayanimu”.

Saya pun berkata, “Demi Allah, saya tidak akan meminta izin untuknya kepada Rasulullah. Apa kira-kira yang akan saya katakan, seandainya saya minta izin kepada Rasulullah, padahal saya seorang pemuda?

Akhirnya, tinggallah saya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, hingga genap lima puluh hari sejak Rasulullah melarang kami semua.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allah dalam setiap urusan besar, sehingga kaum muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.

Seusai shalat shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas loteng rumah, persis seperti diterangkan Allah, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!

Saya pun menyungkur sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullah memberitahukan adanya taubat dari Allah atas kami ketika shalat shubuh.

Kaum muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua sahabat tersebut.

Ada seseorang datang berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Sedangkan suara lebih cepat dari kuda. Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut. Padahal, demi Allah, saya tidak punya baju yang lain pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasulullah.

Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allah”.

Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullah sudah dikelilingi oleh para sahabat lain. Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah berlari kecil menyambut dan menyalami saya sambil mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah”.

Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang mereka cintai untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allah limpahkan kepada saudara mereka, yaitu turunnya wahyu yang agung yang menerangkan bahwa taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’b masuk ke dalam masjid.

Ka’ab melanjutkan ceritanya.

“Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah n, beliau berkata dengan wajah berseri-seri, ‘Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”

Rasulullah n benar, karena Allah telah menurunkan taubatnya dan taubat kedua temannya dalam Al-Qur’an yang dibaca. Rabb semesta alam yang mengucapkannya dan menurunkannya kepada Muhammad, terpelihara dengan perantaraan Jibril dan terjaga sampai hari kiamat.

Tidak seorang pun selain para nabi, atau orang-orang yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an yang kisahnya terpelihara seperti kisah Ka’ab dan dua sahabatnya.

Kisah ini abadi dan senantiasa dibaca dalam Kitab Allah, di bilik-bilik masjid, di mimbar-mimbar, dan di mana pun. Siapa yang membaca kisah ini, dia memperoleh sepuluh kebaikan dari setiap huruf Al-Qur’an yang dibacanya.

Ka’b berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ini dari engkau atau dari sisi Allah ?

Kata beliau, “Dari sisi Allah.” Dan kalau Rasulullah gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.

Setelah duduk di hadapan beliau, saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan harta saya untuk sedekah kepada Allah l dan Rasul-Nya”.

Rasulullah berkata, “Tahanlah sebagian hartamu, tentu itu lebih baik.”
Kata saya, “Sesungguhnya, saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”

Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan saya tidak lain karena kejujuran. Termasuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”

Demi Allah, saya tidak melihat ada seorang muslim yang Allah l beri ujian dalam hal kejujuran—sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah n—yang lebih berat daripada yang diberikan kepada saya.

Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullah n sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allah l memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.

Tak lama, Allah subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :

Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117—119)

Demi Allah, tidak pernah Allah memberi nikmat yang lebih besar kepada saya—sesudah memberi saya hidayah kepada Islam—daripada kejujuran kepada Rasulullah. Saya tidak akan berdusta kepada beliau, yang akibatnya saya binasa sebagaimana hak orang yang berdusta. Sungguh, Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang yang berdusta itu, karena menurunkan wahyu yang berisi hal yang lebih buruk daripada yang ditujukan kepada yang lain.

Allah ta’ala berfirman: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu” (At-Taubah: 95—95)

Dan kefasikan adalah sebab tidak diperolehnya keridhaan Allah subhanahu wataala.

Ka’b melanjutkan lagi kisahnya.

Dahulu kami bertiga ditunda dari mereka yang diterima oleh Rasulullah n ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membai’at serta memintakan ampunan untuk mereka. Rasulullah menunda persoalan kami sampai Allah memutuskannya.

Itulah firman Allah : “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka….” Maknanya bukan tertinggal dari peperangan, tapi ketertinggalan kami dan penundaan beliau terhadap urusan kami dari mereka yang telah bersumpah kepada beliau dan mengajukan alasan lalu beliau terima.”

Beberapa Faedah :

  • Seorang muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan dia pun menjadi golongan orang-orang yang mujaharah (terang-terangan berbuat dosa).
  • Seorang mukmin merasakan kepedihan ketika menelantarkan sebuah kewajiban.
  • Seorang mukmin tidak akan mengejek saudaranya, tetapi membelanya, seperti yang dilakukan Mu’adz bin Jabal terhadap Ka’ab.
  • Memutuskan hubungan adalah obat yang ampuh untuk mengembalikan orang-orang yang menyimpang kepada kebenaran. Larangan yang ada berlaku dalam urusan dunia atau melampiaskan kejengkelan.
  • Mukmin yang sempurna tidak akan menjual agamanya, walaupun diberi dunia dan seisinya.
  • Sujud syukur ketika memperoleh kelapangan, seperti yang dilakukan Ka’ab.

Wallahu a’lam.

***

Al Ustadz Abu Muhammad Harits

Catatan Kaki :

  1. Lihat Shahih Abu Dawud (5/366) dan at-Tirmidzi (3676), beliau mengatakan, “Hasan sahih.”
  2. HR. at-Tirmidzi (no. 3634) dan kata beliau, “Hadits ini hasan gharib.” Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2920.
  3. Kira-kira 30 mil dari Madinah.
  4. HR. al-Bukhari (8/86) dan Muslim (no. 2404), lihat Zadul Ma’ad 3/530.
  5. HR. al-Bukhari (8/288) dan Muslim (no. 2980); dalam Zadul Ma’ad (3/532).
  6. HR. Muslim (4/1785), lihat Zadul Ma’ad (3/531).
  7. HR. Muslim no. 706.
  8. HR. Ahmad (5/453), pentahqiq Zadul Ma’ad mengatakan rawi-rawinya tsiqat (tepercaya) dan ada penguatnya dalam Shahih Muslim (2779) (11). Wallahu a’lam.
  9. Artinya, mereka adalah orang-orang yang sangat gendut perutnya karena kebanyakan makan, tidak ada pekerjaan lain kecuali makan, selalu berbicara dusta, dan sangat takut jika bertemu musuh serta pasti melarikan diri. (Syarah Riyadhis Shalihin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t, 1/124).

Sumber Bacaan :

6 responses to “Sirah Nabi (58) : Perang Tabuk

  1. Ping balik: Kisah Ka’ab bin Malik, Saat Semua Berpaling (1/2) | Abu Zahra Hanifa

  2. Ping balik: Kisah Ka’ab bin Malik, Saat Semua Berpaling (6/6) | Abu Zahra Hanifa

  3. Ping balik: Sirah Nabi (59) : Kedatangan Delegasi Dari Penjuru Arab | Abu Zahra Hanifa

  4. Ping balik: Mukjizat Mukjizat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam | Abu Zahra Hanifa

  5. Ping balik: Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berupa Berita Ghaib | Abu Zahra Hanifa

  6. Ping balik: Mukjizat Nabi Muhammad (13) : Berita Ghaib Yang Terjadi | Abu Zahra Hanifa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s