Kisah Ka’ab bin Malik, Saat Semua Berpaling (6/6)


Rasulullah mulai melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tertinggal. Akhirnya, orang banyak mulai menjauhi kami. Keadaan pun berubah, sampai saya merasa diri saya asing di bumi ini (Madinah). Seolah-olah tanah (Madinah) ini bukan seperti yang saya kenal. Dan kami merasakannya selama lima puluh hari.

Kedua sahabatku merasa hina dan hanya berdiam diri di rumah mereka sambil menangis. Sedangkan aku yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin, berkeliling di pasar-pasar dalam keadaan tidak seorang pun mengajakku bicara.

Saya mencoba mendatangi Rasulullah n untuk mengucapkan salam kepada beliau ketika beliau duduk di majelisnya seusai shalat.

Saya bertanya dalam hati, “Apakah beliau menjawab salamku atau tidak?”.

Saya berusaha shalat di dekat beliau sambil mencuri-curi pandang. Kalau saya menekuni shalat saya, beliau menghadap ke arahku. Tapi kalau saya menoleh ke arah beliau, beliau membuang muka.

Sampai ketika saya merasakan kekakuan orang banyak ini semakin lama, saya berjalan lalu memanjat pagar rumah Abu Qatadah. Dia adalah anak paman saya dan orang yang paling saya cintai. Saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah, dia tidak menjawab salam saya.

Saya pun berkata, “Wahai Abu Qatadah, saya sumpahi engkau demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia tetap diam. Saya ulang menyumpahinya, tapi dia diam. Saya pun mengulangi lagi.

Akhirnya, Abu Qatadah berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Air mata saya mulai berlinang. Saya pun mundur dan turun dari pagar itu.
Abu Qatadah tidak mengatakan ya atau tidak. Sepatah kata tidaklah dianggap bicara. Bagaimana Ka’b tidak menangis, saudara sepupu yang sangat dicintainya, tidak menjawab salam dan pertanyaannya, padahal dia sudah menuntutnya dengan sumpah, yang jelas-jelas sebagai perkara ibadah. Di samping itu, pertanyaan Ka’b dengan sumpah itu sama artinya menuntut sebuah persaksian. Akan tetapi, Abu Qadatah tidak mau bersaksi walaupun dia mengetahui Ka’b mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Suatu hari, tatkala saya sedang berjalan di sebuah pasar kota Madinah, tiba-tiba seorang nabthi (orang Arab yang bercampur dengan Romawi dan ajam [non-Arab] sehingga nasabnya tercampur dan bahasanya rusak) dari penduduk Syam yang biasa membawa makanan untuk dijual di Madinah bertanya, “Siapa yang bisa menunjukkan kepada saya Ka’b bin Malik?
Orang banyak serentak menunjuk ke arah saya. Akhirnya dia menemui saya dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan.

Ternyata isinya, “Amma ba’du, “Sebetulnya sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad) mengucilkanmu. Allah tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami niscaya kami memuliakanmu.

Akan tetapi, beliau adalah orang yang beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya serta mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil, terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat dicintai, kalau saja beliau orang yang lemah iman, tentu dengan segera menyambut tawaran itu.

Setelah membacanya saya pun berkata, “Ini juga musibah,” lalu saya menyalakan tungku dan membakarnya.

Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah: menghancurkan sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya.

Empat puluh malam mulai merambat. Tak lama, datang utusan Rasulullah menemui saya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.”

Saya bertanya, “Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?

Katanya, “Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.” Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua sahabat saya itu.

Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allah memutuskan perkara ini.”

Datanglah istri Hilal bin Umayyah menemui Rasulullah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang laki-laki renta dan tidak punya pelayan. Apakah Anda tidak suka kalau saya melayaninya?

Kata beliau, “Tidak, tapi dia tidak boleh mendekatimu.”

Wanita itu berkata, “Sungguh, demi Allah, dia tidak ada keinginan lain kepada sesuatu. Demi Allah, dia terus menangis sejak awal kejadian ini sampai hari ini.”

Sebagian keluarga saya berkata, “Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah tentang istrimu sebagaimana diizinkan untuk istri Hilal bin Umayyah agar dia melayanimu”.

Saya pun berkata, “Demi Allah, saya tidak akan meminta izin untuknya kepada Rasulullah. Apa kira-kira yang akan saya katakan, seandainya saya minta izin kepada Rasulullah, padahal saya seorang pemuda?

Akhirnya, tinggallah saya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, hingga genap lima puluh hari sejak Rasulullah melarang kami semua.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allah dalam setiap urusan besar, sehingga kaum muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.

Seusai shalat shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas loteng rumah, persis seperti diterangkan Allah, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!

Saya pun menyungkur sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullah memberitahukan adanya taubat dari Allah atas kami ketika shalat shubuh.

Kaum muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua sahabat tersebut.

Ada seseorang datang berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Sedangkan suara lebih cepat dari kuda. Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut. Padahal, demi Allah, saya tidak punya baju yang lain pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasulullah.

Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allah”.

Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullah sudah dikelilingi oleh para sahabat lain. Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah berlari kecil menyambut dan menyalami saya sambil mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah”.

Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang mereka cintai untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allah limpahkan kepada saudara mereka, yaitu turunnya wahyu yang agung yang menerangkan bahwa taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’b masuk ke dalam masjid.

Ka’ab melanjutkan ceritanya.

“Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah n, beliau berkata dengan wajah berseri-seri, ‘Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”

Rasulullah n benar, karena Allah telah menurunkan taubatnya dan taubat kedua temannya dalam Al-Qur’an yang dibaca. Rabb semesta alam yang mengucapkannya dan menurunkannya kepada Muhammad, terpelihara dengan perantaraan Jibril dan terjaga sampai hari kiamat.

Tidak seorang pun selain para nabi, atau orang-orang yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an yang kisahnya terpelihara seperti kisah Ka’ab dan dua sahabatnya.

Kisah ini abadi dan senantiasa dibaca dalam Kitab Allah, di bilik-bilik masjid, di mimbar-mimbar, dan di mana pun. Siapa yang membaca kisah ini, dia memperoleh sepuluh kebaikan dari setiap huruf Al-Qur’an yang dibacanya.

Ka’b berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ini dari engkau atau dari sisi Allah ?

Kata beliau, “Dari sisi Allah.” Dan kalau Rasulullah gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.

Setelah duduk di hadapan beliau, saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan harta saya untuk sedekah kepada Allah l dan Rasul-Nya”.

Rasulullah berkata, “Tahanlah sebagian hartamu, tentu itu lebih baik.”
Kata saya, “Sesungguhnya, saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”

Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan saya tidak lain karena kejujuran. Termasuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”

Demi Allah, saya tidak melihat ada seorang muslim yang Allah l beri ujian dalam hal kejujuran—sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah n—yang lebih berat daripada yang diberikan kepada saya.

Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullah n sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allah l memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.

Tak lama, Allah subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :

Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117—119)

Demi Allah, tidak pernah Allah memberi nikmat yang lebih besar kepada saya—sesudah memberi saya hidayah kepada Islam—daripada kejujuran kepada Rasulullah. Saya tidak akan berdusta kepada beliau, yang akibatnya saya binasa sebagaimana hak orang yang berdusta. Sungguh, Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang yang berdusta itu, karena menurunkan wahyu yang berisi hal yang lebih buruk daripada yang ditujukan kepada yang lain.

Allah ta’ala berfirman: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu” (At-Taubah: 95—95)

Dan kefasikan adalah sebab tidak diperolehnya keridhaan Allah subhanahu wataala.

Ka’b melanjutkan lagi kisahnya.

Dahulu kami bertiga ditunda dari mereka yang diterima oleh Rasulullah n ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membai’at serta memintakan ampunan untuk mereka. Rasulullah menunda persoalan kami sampai Allah memutuskannya.

Itulah firman Allah : “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka….” Maknanya bukan tertinggal dari peperangan, tapi ketertinggalan kami dan penundaan beliau terhadap urusan kami dari mereka yang telah bersumpah kepada beliau dan mengajukan alasan lalu beliau terima.”

Beberapa Faedah :

  • Seorang muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan dia pun menjadi golongan orang-orang yang mujaharah (terang-terangan berbuat dosa).
  • Seorang mukmin merasakan kepedihan ketika menelantarkan sebuah kewajiban.
  • Seorang mukmin tidak akan mengejek saudaranya, tetapi membelanya, seperti yang dilakukan Mu’adz bin Jabal terhadap Ka’ab.
  • Memutuskan hubungan adalah obat yang ampuh untuk mengembalikan orang-orang yang menyimpang kepada kebenaran. Larangan yang ada berlaku dalam urusan dunia atau melampiaskan kejengkelan.
  • Mukmin yang sempurna tidak akan menjual agamanya, walaupun diberi dunia dan seisinya.
  • Sujud syukur ketika memperoleh kelapangan, seperti yang dilakukan Ka’ab.

Wallahu a’lam.

***

sumber : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/10/24/sirah-nabi-58-perang-tabuk/

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s