Adapun al-Harits bin Hisyam, dia tetap memerangi kaum muslimin sampai Fathu Makkah. Ketika tahu bahwa dia termasuk orang pertama yang dicari (untuk dibunuh), maka dia meminta jaminan keamanan kepada Ummu Hani’ bintu Abi Thalib, lalu Ummu Hani’ melindunginya.
Akan tetapi, saudaranya (Ali, Ja’far, atau Aqil) ingin membunuhnya. Ummu Hani’ segera mengadukan hal ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam sambil berkata, “Si Fulan—saudaranya—menganggap aku tidak berhak memberi jaminan”.
Kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Kami melindungi orang yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.”
Al-Harits bin Hisyam semakin jengkel melihat kekalahan Quraisy. Dia berkata, “Duhai kiranya aku mati sebelum kejadian ini dan tidak menyaksikan peristiwa ini.”
Ketika dikatakan kepadanya, “Tidakkah kau lihat apa yang diperbuat oleh Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam)? Dia menghancurkan sembahan-sembahan itu?!”
Kata al-Harits, “Kalau Allah tidak suka, pasti Dia akan mengubahnya.”
Setelah mereka dibebaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hati para pembesar Quraisy mulai merenungkan Islam. Al-Harits termasuk yang masuk Islam saat itu.
Kemudian setelah usai Perang Hunain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam membujuk hati tokoh-tokoh Quraisy tersebut dengan memberi mereka seratus ekor unta. Hal ini semakin menghancurkan duri-duri permusuhan dan sikap keras kepala mereka.
Perlahan tetapi pasti, Islam mulai merambah hati-hati yang mulai tunduk dan melembut itu. Akhirnya bersemilah Islam di dada Al-Harits bin Hisyam, bahkan sangat baik Islamnya.
Pada masa pemerintahan Umar, al-Harits berangkat pindah menuju negeri Syam, sebagai mujahid. Hingga terjadilah peristiwa bersejarah di Yarmuk. Ketika itu Ikrimah bin Abi Jahl radhiallahu anhu berkata, “Siapa yang mau berbaiat untuk mati?”
Berbaiatlah empat ratus orang untuk mati syahid di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menerobos jantung pertahanan musuh, hingga gugur satu per satu di permukaan bumi, sementara arwah mereka menuju langit tinggi. Di antara mereka ada al-Harits bin Hisyam.
Yarmuk menjadi saksi bisu bagaimana tentara tauhid membela agama Allah subhanahu wa ta’ala, meninggikan kalimat-Nya. Jumlah yang tidak seimbang tidak membuat gentar hati-hati yang sudah terisi kokoh dengan kalimat tauhid.
Memang, mereka bukan berperang karena jumlah dan kekuatan fisik. Pasukan salibis dipukul mundur oleh para pembela panji tauhid dengan kekalahan yang sangat memalukan dan menimbulkan dendam hingga berabad-abad lamanya.
Sejarah mencatat sikap kepribadian al-Harits yang agung ketika dia mendahulukan kepentingan orang lain sebelum beliau mati sebagai syahid. Ketika datang seorang prajurit muslim hendak memberinya minum—pada saat-saat kritisnya—dia mendengar erangan saudaranya, Ikrimah. Dia pun meminta agar air itu dibawa kepada Ikrimah.
Prajurit itu membawakan air untuk diminumkan kepada Ikrimah. Akan tetapi, Ikrimah mendengar pula erangan Ayyasy bin Rabi’ah. Dia pun mengisyaratkan agar air dibawa kepada Ayyasy. Namun, ketika mereka sampai di tempat Ayyasy, ternyata dia sudah gugur sebagai syahid.
Prajurit itu kembali kepada Ikrimah, ternyata Ikrimah pun telah wafat. Lalu mereka kembali kepada al-Harits, ternyata dia juga telah wafat.
Benarlah kata mereka (para thulaqa ini, orang-orang yang dibebaskan/baru masuk Islam pada Fathu Makkah), “Kalau di dunia kita dikalahkan oleh mereka (sahabat yang lebih dahulu masuk Islam), maka di akhirat kita bergabung bersama mereka.”
Itu bukan ucapan belaka. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka.
***
sumber : https://asysyariah.com/islamnya-sejumlah-tokoh-quraisy-fathu-makkah-bagian-empat/