Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia berkata, “Dalam suatu peperangan kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju salah satu daerah orang musyrik. Kami berhasil menawan istri salah seorang di antara mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali.
Ketika Rasulullah sedang dalam sebuah perjalanan, beliau berhenti di suatu perkampungan lalu bertanya, ‘Siapakah dua orang di antara kalian yang bersedia agar nanti malam menjaga kami dari serangan musuh?’.
Seorang lelaki dari kaum Muhajirin dan seorang lelaki dari Anshar menjawab, ‘Kami berdua akan menjaga engkau, wahai Rasulullah.’
Mereka adalah sahabat Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr radhiyallahu ‘anhum.
Ketika malam tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Beliau memberikan tugas kepada dua orang sahabat tersebut untuk berjaga di suatu tempat.
Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir saling berbagi waktu. Masing-masing berjaga setengah malam.
Saat Abbad bin Bisyr berjaga, ia ingin menjadikan waktu tersebut terasa singkat dengan menenggelamkan diri dalam shalat malam.
Di tengah shalat, datang seorang musyrik Ghatafan. Lalu ia melempari Abbad dengan panahnya. Panah itu mengenai Abbad. Ia cabut panah itu, kemudian melanjutkan shalat.
Panah kedua kembali menyasar tubuhnya (betis). Ia cabut dan tetap melanjutkan shalat. Hingga akhirnya panah ketiga, ia cabut. Kemudian rukuk, sujud, dan akhiri shalatnya. Artinya ia tidak batalkan shalatnya walaupun dalam keadaan demikian.
Setelah salam, ia bangunkan Ammar bin Yasir.
Saat Ammar melihat darahnya yang menyucur dan melihat tiga anak panah itu, ia berkata kepada Abbad,
“Mengapa engkau tidak membangunkanku tatkala kau dilempari panah?” Ubbad menjawab, “Aku sedang menikmati surat yang aku baca. Aku tak senang kalau tidak menyelesaikannya.” (HR. Abu Dawud 198, Ahmad 14745, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud No.182).
Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Abbad berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir menyia-nyiakan amanah berjaga yang dipercayakan Rasulullah kepadaku, niscaya ia akan lebih dulu membunuhku sebelum aku yang melakukannya kepadanya.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Cet. Darul Ma’rifah al-Qism ats-Tsani Hal 209).
Maksud Ubbad, aku ingin melanjutkan bacaan. Tidak ingin rukuk, sujud, dan menyelesaikan shalat. Tapi hal itu akan membuatnya mendekat dan membunuhku. Sehingga aku termasuk lalai dari perintah Rasulullah untuk berjaga.
Kita hanya bisa berpikir, alangkah nikmatnya membaca Alquran bagi Abbad. Dan alangkah nikmatnya bersepi-sepi dengan Allah dalam kesunyian shalat malam.
Setelah Ubbad menyelesaikan shalat dan membangunkan Ammar, si pemanah itu pun lari. Tanpa diketahui identitasnya. Namun yang jelas ia menjadi tahu, umat Islam itu pemberani dalam peperangan. Dan khusyuk dalam peribadatan. Perang Dzatu ar-Riqa’ memang aktivitas militer tanpa kontak senjata. Namun menimbulkan pengaruh luar biasa pada kabilah-kabilah Ghatafan.
***
Sumber Bacaan :