Beliau bernama Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah. Pemimpin (amir) kaum mukminin. Kunyahnya adalah Abu Khalid Al-Umawi. Lahir pada tahun 25 H.
Dibaiat sebagai khalifah ketika ayahnya masih hidup untuk kemudian memegang urusan pemerintahan sepeninggalnya. Penobatannya sebagai penguasa ditegaskan lagi setelah ayahnya meninggal pada pertengahan bulan Rajab tahun 60 H. Kekuasaan beliau pegang sampai meninggal pada tanggal 14 Rabii’ul Awwal, 64 tahun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah.
Beliau adalah orang pertama yang memerangi Konstantinopel pada tahun 49 H. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pasukan pertama yang memerangi kota Kaisar adalah orang-orang yang diampunkan (dosa-dosa) mereka. ” (HR. Al-Bukhari)
Yazid rahimahullah telah meriwayatkan sejumlah hadits dari ayahnya, yaitu Mu’awiyah, dan telah meriwayatkan dari Yazid yaitu Khalid dan Abdul Malik bin Marwan. Yazid disebutkan oleh Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi dalam kitabnya pada tingkatan tertinggi dari kalangan tabi’in yang tingkatan ini berada tepat di bawah tingkatan shahabat.
Beliau adalah seorang yang pemurah, lemah lembut, fasih berbahasa, pemberani, dan seorang yang bagus pandangannya dalam hal pemerintahan. Namun beliau bukanlah orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Juga tidak luput dari perbuatan mengikuti hawa nafsu pada keadaan tertentu. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan kepada kita dan beliau.
Banyak hadits, riwayat, dan kisah-kisah berisi celaan terhadap Yazid rahimahullah dan pengkaburan kebaikan kehidupannya. Kebanyakan hadits, riwayat, dan kisah tersebut adalah kedustaan dan isu-isu yang dibuat oleh Syi’ah Rafidhah.
Hal ini dikarenakan kedengkian mereka terhadap Bani Umayyah dan juga terhadap sebagian besar shahabat sebagian lainnya sanadnya lemah dan tidak sah.
Di antara periwayatan dusta mereka adalah tuduhan bahwa beliau adalah peminum khamer, meninggalkan shalat, dan mabuk oleh pelampiasan syahwat yang diharamkan.
Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib (yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyyah rahimahullah)mempersaksikan keterlepasan diri Yazid dari perkara ini ketika orang-orang yang membangkang terhadapnya dari penduduk Madinah menuduhnya demikian, beliau (Ibnul Hanafiyyah rahimahullah) mengatakan: “Aku tidak pernah melihat pada dirinya perkara yang kalian tuduhkan. Sungguh aku pernah berada di sisinya dan tinggal dekat dengannya. Maka yang aku lihat adalah dia seorang yang senantiasa menjaga shalat, semangat melakukan amalan kebaikan, bertanya tentang fiqih, dan senantiasa berpegang dengan sunnah. “
Yazid bin Mu’awiyah rahimahullah , diuji dengan tiga fitnah/huru hara yang terjadi pada masa pemerintahannya. Ketiga fitnah ini dijadikan sebagai kesempatan emas oleh orang-orang yang dengki dari kalangan Syi’ah Rafidhah dan selainnya sebagai bahan untuk memburukkan pamornya dan pamor Bani Umayyah. Juga sebagai bahan untuk mencela sebagian shahabat. Tiga fitnah di atas adalah:
- Pemberontakan yang dilakukan oleh Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan pembunuhan terhadapnya.
- Pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Madinah, pembatalan baiat mereka, dan tragedi Harrah
- Pemberontakan yang dilakukan oleh `Abdullah bin Az-Zubair dan pengepungan kota Makkah.
Ketiga peristiwa di atas akan kita bahas secara singkat dengan harapan kebenaran yang akan tampak.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan pembunuhan terhadapnya:
Al-Husain bin `Ali berada di Madinah ketika Yazid bin Mu’awiyah memegang tampuk kekuasaan. Lalu Yazid rahimahullah mengirim surat kepada Al Walid bin Utbah, gubernur Madinah yang diangkatnya, agar mengambil baiat (sumpah setia) dari sejumlah orang yang menolak membaiatnya, mereka adalah Al-Husain bin ‘Ali, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan ‘Abdullah bin Az-Zubair .
Ketika Al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengetahui hal ini, beliau pergi menuju Makkah dan tinggal di sana. Semenjak itu, sebagian kaum muslimin ada yang mengikuti beliau dan memberikan kepercayaan padanya. Mereka juga menggantungkan sejumlah harapan kepadanya. Dengan demikian para penyulut api fitnah berbahagia karena mulai ada perpecahan di antara kaum muslimin. Mereka mulai mengambil langkah untuk memanfaatkan keadaan dalam rangka memecah-belah barisan kaum muslimin.
Sikap penduduk Kufah terhadap AI-Husain :
Penduduk Kufah dari kalangan penyulut api fitnah berbahagia ketika mengetahui bahwa Al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu tidak berbaiat kepada Yazid rahimahullah dan telah tinggal di Makkah. Sekian angan-angan telah merayap dalam jiwa jahat mereka.
Mereka berusaha mengetahui keberadaannya di Makkah sebagaimana seorang yang tersesat mencari-cari bintang penunjuk arah dan tempat berlabuh yang amanah. sejumlah surat mulai mereka layangkan kepadanya untuk mengharapkan kedatangannya dari Makkah menuju kepada mereka (di Kufah). Penduduk Kufah menampakkan bahwa mereka telah siap siaga untuk bergabung dengannya dan memberontak kepada Bani Umayyah sampai Al-Husain memegang kekuasaan karena beliau -menurut mereka- adalah orang yang paling berhak dan orang yang tepat untuk memegang kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan sekian bencana dan pertumpahan darah yang akan terjadi karena perbuatan yang mereka lakukan.
Al-Husain, mengutus anak pamannya, yaitu Muslim bin ‘Aqil, untuk menjadi penunjuk jalan dan untuk mencari tahu kenyataan yang ada. Sampailah Muslim bin `Aqil di Kufah. Para penduduknya menyambutnya dengan baik. Sejumlah orang yang mendekati 18.000 orang berkumpul di sekitarnya. Mereka semua mendukung Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dan menjanjikan kepadanya bantuan. Ketika melihat hal yang demikian, Muslim bin ‘Aqil segera menulis surat kepada Al-Husain tentang keadaan yang beliau saksikan. Kemudian Al-Husain memantapkan pilihan untuk menuju Kufah.
Akan tetapi begitu cepatnya penduduk Kufah meninggalkan Muslim bin ‘Aqil, yaitu ketika Khalifah Yazid memutuskan penggantian An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu sebagai gubernur Kufah -beliau adalah seorang pemimpin yang lebih condong kepada sifat pemaaf dan lemah lembut – diganti dengan ’Ubaidullah bin Ziyad seorang yang berperangai keras dan bengis dalam menjaga pamor negara dan dalam menebarkan keamanan dan ketertiban.
Tindakan gubernur yang kejam dan keras nampak jelas ketika ia menghalau pendukung Muslim bin ‘Aqil, dimana dia mampu menangkap pimpinan-pimpinan mereka sehingga yang lain pun menyingkir dari Muslim bin ‘Aqil. Akhirnya, ia menangkap Muslim bin ‘Aqil dan memerintahkan untuk dibunuh.
Al-Husain radhiyallahu ‘anhu berangkat menuju Kufah
Al-Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu memenuhi permintaan penduduk Kufah. Keinginannya untuk menuju Kufah semakin kuat ketika surat Muslim bin ‘Aqil sampai kepadanya. Surat itu dikirim sebelum Muslim dibunuh. Muslim bin’Aqil mengatakan kepada Al-Husain bahwa 18.000 orang telah berbaiat kepadanya, mempersiapkan diri dan nyawa mereka untuk membelanya, dan menghadapi musuh-musuhnya.
Para pemberi nasehat yang sejati telah memberikan nasehat kepada Al-Husain dan memohon dengan sangat agar beliau tetap tinggal di Makkah. Mereka juga menjelaskan kepadanya makar penduduk Iraq dan apa yang mereka perbuat terhadap ayahnya dahulu, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Juga menjelaskan bahwa apa yang akan beliau lakukan akan memecah belah persatuan dan menyulut api fitnah.
Di antara orang-orang yang memberikan nasehat kepada beliau adalah Ibnu `Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Sa’iid Al-Khudri, Abu Waaqid Al-Laitsi, Jabir bin ‘Abdillah, dan selain mereka. Akan tetapi beliau telah terpengaruh oleh surat yang begitu banyaknya dari penduduk Kufah. Oleh karena itu, beliau tetap bersikeras untuk pergi menuju Kufah sebagaimana telah kami terangkan.
Al-Husain radhiyallahu ‘anhu keluar dan berangkat menuju Kufah bersama keluarganya, anak-anaknya, dan sejumlah rekan-rekannya. Mereka semua berjumlah kurang lebih 80 orang. Al-Farazdaq (penyair terkenal) di tengah perjalanan menemuinya lalu Al-Husain menanyainya tentang kondisi penduduk Kufah.
Dia menjawab: “Hati mereka bersamamu akan tetapi pedang mereka bersama Bani Umayyah, sedangkan takdir telah turun dari langit. Allah Ta’ala mengerjakan apa yang Dia kehendaki.”
Namun beliau tetap melanjutkan langkahnya dan tidak memperdulikan isyarat yang disampaikan oleh Al-Farazdaq berupa mara bahaya yang telah menanti, baik dari penduduk Iraq maupun dari kalangan Bani Umayyah.
Al-Husain radhiyallahu ‘anhu juga berjumpa dengan seorang yang baru pulang dari Kufah, namanya Bukair bin Tsa’labah. Beliau mengetahui darinya bahwa kondisi di Kufah telah berubah, pendukung-pendukung Al-Husain radhiyallahu ‘anhu telah menjauh. Mereka enggan menolongnya di hadapan keganasan Ubaidullah bin Ziyad dan kekuatannya. Juga tentang kematian Muslim bin ‘Aqil. Tidak ada lagi di Kufah kekuatan dan penolong untuk Al-Husain.
Ketika itu, sebagian rekannya mengatakan kepada Al-Husain: “Kami meminta kepadamu dengan nama Allah demi dirimu dan keluargamu, agar engkau kembali ke arah engkau datang (yakni Makkah). Sesungguhnya tidak ada di Kufah penolong dan pembantu bagimu. “
Akan tetapi saudara-saudara Muslim bin ‘Aqil mengatakan: “Demi Allah, kami akan tetap melanjutkan perjalanan sampai kami berhasil mengambil hak kami atau merasakan apa yang dirasakan saudara kami. ”
Al-Husain mengatakan: “Tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah mereka. Beliau tetap melanjutkan perjalanannya bersama sekelompok kecil orang yang telah bersamanya (semenjak meninggalkan Makkah).
***
Sumber: Disalin dari buku “TARIKH DAULAH UMAWIYYAH”, Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyyah, Riyadh Saudi Arabia, Penerbit Hikmah Ahlus Sunnah, Cet.Kedua, Hal.37-56.
sumber : https://www.kisahislam.net/2012/03/18/yazid-bin-muawiyah-rahimahullah-60-h-64-h-bag-pertama/
Ping balik: Yazid bin Muawiyah rahimahullah (2/3) | Abu Zahra Hanifa