Belum juga pulih luka-luka umat Islam setelah terjadinya perseteruan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair, masih pada tahun yang sama Ali harus sudah menghadapi lagi persoalan yang lainnya, yakni tentang sikap Muawiyah bin Abu Sufyan yang menolak pergantian dirinya sebagai gubernur sebagai bentuk penolakan bai’atnya kepada khalifah Ali bin Abu Thalib.
Khalifah keempat ini beserta keluarga dan pengikutnya pindah ke Kufah pada tahun 36 Hijriyah, dan kemudian menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahannya yang sebelumnya berada di Madinah.
Ketika Ali pertama kali diangkat menjadi khalifah, hal yang pertama dia lakukan di antaranya adalah memecat para pejabat pemerintah yang diangkat oleh khalifah sebelumnya yang dia anggap tidak cakap. Di antara mereka yang diberhentikan di antaranya adalah Muawiyah.
Kemudian dikirimkannya lah para pejabat pengganti ke daerah-daerah yang dimaksud. Utsman bin Hunaif ke Basrah, Imarah bin Hisan ke Kufah, Abdullah bin Abbas ke Yaman, Qais bin Saad bin Ubadah ke Mesir, dan Suhail bin Hunaif ke Syam.
Para pejabat baru ini dengan aman dan tanpa halangan dapat menerima jabatan mereka, terkecuali Suhail bin Hunaif. Gubernur baru ini, begitu sampai di Tabuk (daerah perbatasan dengan Syam) telah disambut oleh pasukan besar yang dikirim oleh Muawiyah untuk menolaknya masuk ke Syam.
Suhail pun kembali lagi ke Madinah dan melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada Ali. Mendengarnya Ali sama sekali tidak terkejut, sebab dia sudah tahu betul dengan sikap Muawiyah yang suka membangkang dari sejak masa khalifah-khalifah sebelumnya.
Gagalnya Perundingan
Ali kemudian menulis surat kepada Muawiyah, “Amma Badu, tentu engkau telah mendengar musibah yang menimpa Utsman, dan bahwa segenap Kaum Muslimin telah berhimpun di sampingku dan membaiatku sebagai khalifah. Oleh sebab itu masuklah dalam perdamaian, atau jika tidak, maka bersiap-siaplah….”
Ali mengutus utusannya untuk menyampaikan surat tersebut kepada Muawiyah. Sesampainya di Syam, Muawiyah berkata kepadanya, “Kembalilah engkau ke tempatmu semula, aku akan mengirimkan jawabanku melalui utusanku sendiri.”
Hingga terbukti kabar bahwasanya Muawiyah menolak kekhalifahan Ali.
Namun, untuk urusan Muawiyah ini, Ali menundanya, karena Aisyah, Talhah, dan al-Zubair telah melakukan pergerakkan mereka sendiri, dan kisahnya telah dibahas di dalam beberapa seri sebelumnya. Kini, setelah persoalan dengan Aisyah selesai, Ali menata pemerintahannya terlebih dahulu.
Sementara Ali sibuk dengan urusannya, Muawiyah di Syam terus menggalang kekuatan dan memompa semangat rakyat di sana. Semua daerah di seluruh wilayah Islam telah memberikan baiatnya kepada Ali kecuali di Syam.
Di wilayah ini sedang terjadi persiapan besar-besaran untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap Ali, yang mau tak mau, pada akhirnya dia mesti menghadapinya.
Demikianlah, setelah kedua belah pihak tidak mencapai sepakat dalam perundingan, baik melalui surat menyurat maupun pengiriman utusan, akhirnya peperangan tidak dapat dielakkan.
Bersama dengan pasukannya Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berangkat meninggalkan Kufah, dan Muawiyah bin Abu Sufyan RA pun meninggalkan Syam. Kedua pasukan itu bertemu di satu tempat yang disebut dengan Shiffin.
Harapan Ammar bin Yasir Dalam Perang Shiffin
Abdurrahman bin Abza meriwayatkan, dalam perjalanan ke Shiffin, saat dia berada di tepi Sungai Efrat, Ammar bin Yasir RA berkata, “Ya Allah! Andai saja aku tahu bahwa Engkau akan ridha kepadaku jika aku melemparkan diriku dari gunung dan terhempas jatuh ke bawah, aku pasti akan melakukannya.
Ya Allah! Andai saja aku tahu bahwa Engkau akan ridha kepadaku jika aku menyalakan api yang besar dan melemparkan diriku ke dalamnya, aku pasti akan melakukannya.
“Ya Allah! Andai saja aku tahu bahwa Engkau akan ridha kepadaku jika aku melemparkan diriku ke dalam air dan tenggelam, aku pasti akan melakukannya.
“Ya Allah! Aku berperang hanya demi ridha-Mu dan aku yakin bahwa Engkau tidak akan pernah membuatku gagal selama aku melakukan hal-hal yang diridhai-Mu.”
Pada saat berangkat ke Shiffin, Ammar dilaporkan sudah berusia sangat tua, yakni 93 tahun.
Selama dalam perjalanan, dia dilaporkan jarang sekali berbicara, kecuali mengucapkan doa secara terus menerus, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah, Aku berlindung kepada Allah dari fitnah….”
Jalannya Pertempuran
Mengenai jalannya Perang Shiffin, al-Qasim, orang kepercayaan Yazid bin Muawiyah, sebagaimana dikutip dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk karya al-Tabari, meriwayatkan:
Beberapa orang Syam memberikan sumpah setia jiwa dan raganya kepada Muawiyah dan mengikat kaki mereka dengan turban (untuk mencegah agar tidak melarikan diri). Mereka yang melakukannya terdiri dari lima baris. Orang-orang Syam yang berperang membentuk sepuluh baris, sementara orang-orang Irak yang berperang dalam sebelas (baris).
Pada hari pertama (Perang) Shiffin, ketika orang-orang maju dan berperang, (Malik) al-Ashtar memimpin orang-orang Kufah yang ikut (berperang) dan Habib bin Maslamah memimpin orang-orang Syam. Itu hari Rabu. Pertempuran sengit terjadi hampir sepanjang hari, dan kemudian kedua belah pihak mundur, dengan imbang secara terhormat.
Di Hari kedua, Hasyim bin Utbah kemudian maju dengan sejumlah besar pasukan berkuda dan pasukan yang berjalan, dan Abu al-Awar maju untuk melawannya. Mereka bertempur untuk hari itu, para penunggang kuda menyerang para penunggang kuda dan prajurit berjalan dengan prajurit berjalan. Mereka kembali setelah masing-masing saling menyerang.
Pada hari ketiga, Ammar bin Yasir maju, dan Amr bin al-Ash melawannya. Salah satu pertempuran paling sengit yang pernah terjadi, dan Ammar mulai berseru, “Orang-orang Irak, apakah kalian ingin melihat orang yang menunjukkan permusuhan kepada Allah dan Utusan-Nya dan berjuang melawan mereka, yaitu orang yang menindas kaum Muslim dan memberikan dukungan kepada kaum musyrik?
Demikianlah, perang terus berlangsung selama berhari-hari, dan suatu waktu, Ammar bin Yasir mulai bertanya-tanya tentang nasib dirinya. Di bawah ini adalah beberapa riwayatnya:
Abul Bakhtari dan Maysara meriwayatkan, Ammar bin Yasir berperang dalam Perang Shiffin tetapi tidak juga syahid.
Dia kemudian mendekati Ali dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Ini adalah harinya (yang mana Rasulullah mengatakan bahwa aku akan syahid. Lalu kenapa aku masih tetap hidup)?”
Ali menjawab, “Janganlah mengkhawatirkan tentang hal itu.”
Ini terjadi tiga kali hingga Ammar diberi susu. Dia meminumnya dan berkata, “Sesungguhnya, Rasulullah mengatakan bahwa (susu) ini akan menjadi minuman terakhir yang akan aku minum di dunia ini.” Dia kemudian berdiri dan berjuang sampai dia mati syahid.
Abu Sinan Duwali, salah seorang sahabat Nabi, meriwayatkan, bahwa dia melihat Ammar bin Yasir memanggil budaknya untuk membawakan sesuatu untuk diminum. Budak itu membawa secangkir susu, yang diminum Ammar.
Dia kemudian berkata, “Rasulullah telah mengatakan kebenaran. Hari ini aku akan bertemu teman-teman terkasihku, Muhammad dan sahabat-sahabatnya.”
Kelanjutan dari riwayat ini adalah berikut ini.
Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, pada Perang Shiffin, yang merupakan hari ketika Ammar bin Yasir mati syahid, dia mendengar Ammar berseru, “Aku akan bertemu Al-Jabbar (Allah) dan menikahi gadis-gadis di Jannah! Hari ini aku akan bertemu teman-teman terkasihku, Muhammad dan sahabat-sahabatnya, karena Rasulullah telah memberi tahuku bahwa makanan terakhir dari kehidupan duniawiku adalah dadih susu.”
Imam Ahmad menambahkan riwayat ini, menurutnya ketika susu itu dibawakan kepada Ammar, dia tertawa.
***
Sumber Bacaan :