Setelah gugurnya sahabat yang mulia, Thalhah bin ubaidillah dan Zubair bin awwam, kemudian berakhirnya perang Jamal dengan perdamaian antara kelompok khalifah Ali dan ummul mukminin Aisyah, para penyusup dari pembunuh khalifah Utsman masih terus berjuang untuk keselamatan mereka.
Akhirnya adu domba dan fitnah kepada dua kelompok yang tersisa dilakukan. Diantaranya, memperuncing permasalahan muawiyah sebagai khalifah tandingan.
Keputusan Khalifah Ali Menyerang Gubernur Muawiyah
Sejumlah anggota Bani Umayyah juga ambil bagian dalam Perang Jamal melawan Ali. Ketika Perang Jamal berakhir, mereka pergi ke Damaskus untuk bertemu Mu’awiyah.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib telah menetapkan putusan. Ia akan menyerang penduduk Syam. Ia lazimkan penduduk Syam untuk baiat dan tunduk. Al-Hasan bin Ali berkata, “Ayah, jangan lakukan ini. Karena hal ini mengakibatkan pertumpahan darah di tengah kaum muslimin. Dan membuat jurang perselisihan di antara mereka.”
Namun Ali tidak menerima saran putranya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menyerang Syam yang tidak tunduk (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, 5/217).
Ini adalah nasihat kedua yang dilontarkan al-Hasan kepada ayahnya. Sebelumnya ia menasihati ayahnya agar tak menggerakkan pasukan menuju Bashrah. Agar tidak terjadi perang saudara. Namun Ali tetap melakukan apa yang ia pikirkan. Terjadilah Perang Jamal.
Sekarang Ali menggerakkan pasukannya menuju an-Nakhilah. Sebuah daerah di dekat Kufah. Di sana pasukan akan berhimpun dengan pasukan Bahsrah yang dipimpin Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Dari sana mereka serentak bergerak menyisiri Sungai Eufrat menuju Shiffin. Di pihak lain, Muawiyah juga telah bergerak bersama pasukannya menuju Shiffin. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Dzul Hijjah tahun 36 H.
Yang perlu dicatat, sampai pada kondisi ini kedua pasukan tidak berkeinginan untuk berperang. Para sahabat adalah seorang yang sangat mengetahui betapa mahalnya darah seorang muslim. Sehingga pergerakan pasukan ini tidak ditujukan untuk saling bertumpah darah. Bukan untuk saling berperang dan menaklukkan. Mereka tidak mau apa yang terjadi di Perang Jamal terulang kembali.
Hal ini tak akan dipahami oleh mereka yang tidak mengenal para sahabat nabi. Seperti para orientalis dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka tidak memahami bagaimana takwa para sahabat. Bagaiamana persaudaraan di antara mereka. Bagaimana keinginan mereka untuk islah. Bagaimana kecintaan mereka pada kebaikan. Para orientalis tak akan mampu merenungi bagaimana kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi’ saat dipersaudarakan oleh Rasulullah. Mereka tak akan mengerti bagaimana itsar (mendahulukan dalam kebaikan) di tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar yang dipuji Allah dalam surat Al-Hasyr. Para orientalis dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dengan cepat bertanya, “Bagaimana bisa pasukan digerakkan tapi tidak ingin berperang?”
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Lebih dari satu orang dari pasukan Muawiyah mengatakan, ‘Mengapa engkau melawan Ali? Engkau bukan orang yang mengungguli Ali dalam keutamaan dan kekerabatan (dengan Rasulullah)? Ali-lah yang lebih layak menjabat khalifah dibanding dirimu’.
Muawiyah pun mengakui hal tersebut. Namun mereka memihak Muawiyah karena mendapat informasi bahwa di pasukan Ali terdapat kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana kezaliman terhadap Utsman. Mereka siap berperang untuk membela diri. Dan berperang karena hal ini boleh. Karena itulah mereka tidak memulai menyerang. Sampai mereka yang diserang (Ibnu Taimyah: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/217).
Artinya, pasukan Muawiyah mendapat informasi bahwa pasukan Ali telah disusupi oleh para pembunuh Utsman. Sebagaimana yang terjadi di Perang Jamal. Inilah yang terjadi.
Dari Amir asy-Sya’bi dan Abu Ja’far al-Baqir, “Ali mengutus seseorang menuju Damaskus untuk memperingatkan mereka bahwa ia telah menyeru penduduk Irak tentang loyalitas kalian pada Muawiyah. Saat berita ini sampai pada Muawiyah, ia memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan. Orang-orang pun berkumpul memenuhi masjid.
Muawiyah naik mimbar dan berkhutbah, ‘Sesungguhnya Ali telah menyeru penduduk Irak menuju kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang menepuk dada mereka tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Dan tak ada yang mengangkat pandangan mereka.
Seseorang yang disebut dengan Dzul Kila’ berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, engkaulah yang memutuskan dan kami akan melakukan’. Kemudian Muawiyah berkata di hadapan khalayak, pergilah kalian menuju kamp. Siapa yang tertinggal, biarkanlah. Kemudian berkumpullah’.
Lalu utusan Ali itu berangkat menuju Ali dan mengabarkannya. Ali pun memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan di masjid. Lalu ia berkhotbah, ‘Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang bergemuruh. Sehingga Ali tak bisa menangkap apa yang mereka ucapkan. Ali turun dari mimbar dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/127).
Ali sadar pengikutnya tidak satu suara. Kesetiaan mereka tidak bisa diandalkan. Dan di tengah mereka ada pengkhianatan. Bandingkan dengan kesetiaan pengikut Muawiyah. Benar saja, para pengobar fitnah berusaha menggembosi peperangan. Terjadilah perang yang mayoritas para sahabat tidak turut serta di dalamnya. Diriwayatkan Muhammd bin Sirin rahimahullah berkata, “Saat fitnah bergejolak jumlah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 10.000 orang. Yang turut serta di dalamnya tidak sampai 100 orang. Bahkan tidak sampai 30 orang” (Ibnu Taimiyah: Minhaj as-Sunnah, 6/236).
Artinya, para sahabat memegang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah. Mereka menjauhinya. Tidak seperti cerita yang disampaikan para pendusta. Seakan hampir semua atau bahkan semua sahabat terlibat dalam fitnah ini. Mereka kesankan para sahabat berpecah dan saling menumpahkan darah. Mengkhianati pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedatangan Amru bin Ash Di Syam untuk Bai’at Kepada Muawiyah
Imam Thabari dalam Kitab Tarikh al Rusul wa al-Muluk menyebutkan bahwa pada tahun 36 Hijriah, Amr bin Ash menyatakan baiatnya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan (sebagai khalifah tandingan) dan membuat kesepakatan dengannya untuk melawan Khalifah Ali.
Amr bin Ash tiba di Damaskus dan Muawiyah menyambutnya. Dia lantas langsung menyatakan kepada Muawiyah bahwa dia juga memiliki hak untuk membalaskan darah Utsman. Pada mulanya Muawiyah bersikap hati-hati kepadanya, tapi setelah melihat kesungguhan dan loyalitasnya maka Amr menjadi tokoh dari faksi Syam. Amr bin Ash lantas menyatakan sarannya kepada Muawiyah, jika ia gampang menampilkan baju Khalifah Utsman yang berlumuran darah dan potongan jari Nailah justru akan mengendorkan semangat pendukungnya. Maka kedua benda tersebut hendaknya ditampilkan pada momen-momen khusus untuk memberikan kesan mendalam. Muawiyah bin Abi Sufyan menyukai saran ini.
Maka singkatnya menurut Amr, Ali telah kehilangan kekuatan dan pengaruh sebagai akibat dari pembunuhan besar-besaran umat Islam pada Perang Jamal. Tentu, penilaian dan analisa Amr bin Ash adalah tidak masuk akal dan salah kaprah, bahkan para perusuh pun tahu hal ini.
Selalu Berusaha Menggapai Perdamaian
Akbar Syah menyebutkan bahwa pada hari ketiga, Khalifah Ali memecah kesunyiannya dan mengirim Basyir bin Amr bin Mihsan al-Ansari, Said bin Qais dan Shabath bin Rib’i at-Tamimi untuk meyakinkan Muawiyah agar bertindak taat dan untuk menyatakan baiat kepada Khalifah Ali.
Basyir bin Amr berkata kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, “Wahai Mu’awiyah, berhentilah untuk menciptakan perpecahan di antara Muslim dan hindarilah pertumpahan darah.” Muawiyah membalas, “Apakah engkau sedang menasihati kepada temanmu, Ali?” Basyir menjawab, “Dia adalah seorang yang beriman pertama kali dalam Islam dan kerabat yang sangat dekat dengan Nabi dan karena itu memiliki lebih banyak hak untuk kekhalifahan daripada yang lainnya.” Muawiyah berkata, “Sama sekali tidak mungkin bagi kami untuk melepaskan tuntutan kami demi membalas darah Utsman.”
Setelah itu Shabath bin Rib’i berkata, “Wahai Muawiyah, kami tahu betul tujuan Anda di balik permintaan untuk Qisas. Anda sendiri menunda bantuan untuk Utsman agar dia meninggal, agar memberi kesempatan bagimu untuk mempertaruhkan klaim bagimu kepada kekhalifahan dengan alasan membalas dendam darah Utsman. Wahai Muawiyah, hindari konflik dengan Ali dan perhatikanlah apa saja yang melatar belakangi ini semua.”
Negosiasi ini justru menyebabkan kegeraman kepada Muawiyah, dan terbukti tidak membuahkan hasil.
Kekuatan Pasukan Khalifah
Setelah peristiwa ini, kedua belah pihak berdiam selama dua hari. Pasukan dari Hijaz, Yaman, Hamadan, beberapa kabilah Arab dan Persia bergabung dengan pasukan Khalifah Ali hingga jumlahnya menjadi sembilan puluh ribu. Muawiyah hanya memimpin delapan puluh ribu pasukan. Sejarawan berbeda pendapat mengenai jumlah pasukan.
Beberapa menyebutkan hal yang sama dan yang lain menyebutkan berbeda. Ali telah memberikan komando kavaleri penunggang kuda Kufah kepada Malik al-Asytar dan kavaleri Basrah kepada Sahl bin Hunaif. Infanteri Kufah dipercayakan kepada Ammar bin Yasir dan infanteri Basrah kepada Qais bin Sa’ad bin Ubadah, sementara Hasyim bin Utbah membawa panji pasukan. Beberapa kabilah dan suku lain dari berbagai provinsi diletakkan di bawah komando ketua suku masing-masing. Sementara pasukan Muawiyah, Dhil-Kala’ Himyari diletakkan di sayap kanan, Habib bin Maslamah di sebelah kiri dan barisan depan diserahkan ke Abul A’war as-Sulami.
Kavaleri Damaskus ditempatkan di bawah komando Amr bin Ash, sementara infanteri dipimpin oleh Muslim bin Uqbah. Beberapa divisi kecil lainnya diberikan kepada komandan Abdurrahman bin Khalid, Ubaidullah bin Umar dan Basyir bin Malik al-Kindi dan lainnya.
Berakhirnya Perang Shiffin
Di tengah kecamuk Perang Shiffin masih ada sebagian orang yang berpikir bijak. Mereka takut perang yang terus berlanjut akan membinasakan kaum muslimin. Di sisi lain, para musuh terus menyulut menuju ke sana. Mereka ingin menghancurkan sendi kekuatan Islam. Sehingga punggawa-punggawa dakwahnya terkapar. Tak lagi mampu menyebarkannya dengan maksimal.
Di antara mereka yang pertama sadar adalah orang Kufah (pengikut Ali). Dia adalah al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ketika perang tengah berkecamuk, ia angkat bicara di tengah kaumnya.
Ia berkata, “Kaum muslimin, kalian telah menyaksikan suatu peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang Arab banyak meninggal. Demi Allah, seumur hidupku ini aku belum pernah sama sekali melihat kejadian seperti ini. Sampaikanlah kepada orang yang tidak mendengar ucapanku. Kalau menunggu besok kita baru berdamai, pasti orang-orang Arab musnah dan kehormatan disia-siakan. Demi Allah, aku mengatakan ini bukan karena ketakutan. Tapi aku ini adalah seorang yang telah berumur, aku khawatir dengan para wanita dan anak-anak kalau kita esok semuanya tewas. Ya Allah, sungguh Engkau tahu aku ini menyayangi kaumku dan saudara seagamaku. Dan tidak ada yang memberi taufik kecuali Allah.”
Saat ucapan al-Asy’ats ini sampai ke telinga Muawiyah, ia berkata, “Demi Rab Ka’bah, dia benar. Kalau kita berjumpa di peperangan esok, orang-orang Romawi akan membahayakan anak-anak dan istri-istri kita. Orang-orang Persia dan Irak akan melenggang masuk membahayakan istri dan anak kita. Orang yang berpandangan seperti ini adalah seseorang yang visioner. Angkatlah mushaf-mushaf di kepala tombak”.
Sha’sha’ah berkata, “Penduduk Syam (pengikut Muawiyah) menyatakan sikap. Mereka berseru di kegelapan malam, ‘Hai penduduk Irak, siapa yang akan melindungi keluarga kami kalau kalian membunuh kami. Dan siapa yang akan menjaga keluarga kalian kalau sampai kami membunuh kalian? Allah.. Allah.. yang abadi”.
Di pagi hari, penduduk Syam mengangkat Alquran di kepala tombak mereka. Lalu mereka gantungkan di kuda. Orang-orang pun bersemangat dengan seruan mereka. Mereka angkat mushaf Alquran Damaskus yang besar. Yang diangkat oleh sepuluh orang laki-laki di kepala tombak mereka. Mereka berseru, “Hai penduduk Irak, kitabullah antara kami dan kalian.” Mereka mengajak agar permasalahan ini diselesaikan dengan berhukum menurut Alquran.
Abu al-A’war as-Salmi muncul dengan kuda pembawa barang. Ia meletakkan mushaf di atas kepalanya, lalu berseru, “Hai penduduk Irak, kitabullah (yang memutuskan perkara) antara kita”.
Al-Ays’ats berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, “Orang-orang mengajak kepada Kitabullah. Sungguh selayaknya Andalah orang yang terdepan memenuhinya dibanding mereka semua. Mereka semua ingin tinggal dan tak ingin berangkat berperang.”
Ali menjawab, “Ini perkara yang masih perlu diteliti lagi.”
Mereka menyatakan bahwa penduduk Syam masih ragu-ragu. Penduduk Syam berkata, “Hai Muawiyah, kita tidak melihat penduduk Irak menanggapi ajakan kita. Ajaklah mereka kelompok demi kelompok. Apabila engkau melakukan hal tersebut pastilah mereka akan menyepakatimu”.
Muawiyah memanggil Abdullah bin Amr bin al-Ash. Lalu memerintahkan untuk berbicara dengan penduduk Irak. Abdullah bin Amr berangkat dan menemui mereka. Tatkala ia berada di dekat Shiffin ia berseru, “Hai penduduk Irak, aku adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash. Sesungguhnya kita berselisih dalam permasalahan agama dan dunia. Kalau dalam permasalahan agama, Allah membuat kami dan kalian tidak pantas memutuskannya secara mandiri. Kalau dalam permasalahan dunia, Allah telah melebihkan kami dan kalian. Kami telah mengajak kalian pada sesuatu, yang kalau kalian yang menawarkannya pasti akan kami terima. Sungguh yang menyatukan kami dan kalian adalah ridha. Dan itu dari Allah. Manfaatkanlah kesempatan ini.”
Al-Asytar (pembunuh Utsman) tidak berpikir untuk berperang. Ia hanya diam dalam ketakutan. Orang-orang menuding, “Engkau telah menyebabkan kami berperang. Engkau (menyebabkan) membunuh banyak orang. Dan sekarang sekelompok orang menyerukan perdamaian.” (al-Maqrizi: Waqa’atu Shiffin, Hal, 481-484).
Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman merasa ketakutan. Mereka merasa nyawa mereka tengah di ujung pedang vonis hukuman mati. Dan mereka mulai menyalahkan al-Asytar yang menyebabkan mereka terlibat.
Dari sini kita bisa mengetahui, baik di Perang Jamal sampai Perang Shiffin ini, para sahabat sama sekali tidak menginginkan peperangan. Di Perang Jamal mereka disusupi oleh kelompok pembunuh Utsman. Lalu terjadilah peperangan. Dan di Shiffin, ahlul fitnah inipun belum berhenti. Mereka tak tinggal diam dan menyerah begitu saja untuk diadili.
Ammar bin Yasir dan Para Pemberontak
Di antara kejadian penting dalam rangkaian Perang Shiffin adalah syahidnya sahabat Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu. Ammar berada di barisan Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْحَ عَمَّارٍ! تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ
“Duhai Ammar, engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” [HR. al-Bukhari (436, 2657) dan Ahmad (11879)).
Terbunuhnya Ammar ini memperjelas posisi Ali dan Muawiyah. Mana ijtihad keduanya yang benar dan mana yang salah. Ali dan orang yang bersamanya berada di pihak yang benar. Sementara Muawiyah dan orang yang bersamanya keliru dalam ijtihad mereka.
Hasil Dari Tahkim
Setelah peristiwa Shiffin, Ali memerangi para pemberontak Khawarij. Dan setelah peristiwa tahkim, Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu mencopot Gubernur Mesir, Qais bin Saad bin Ubadah. Para pemberontak memfitnah Qais bahwa ia menjalin hubungan dengan Muawiyah. Lalu Ali menunjuk Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya. Namun Muhammad bin Abu Bakar dianggap sebagai orang yang terlibat dalam terbunuhnya Utsman. Penduduk Mesir pun meminta bantuan Muawiyah untuk menggulingkan Muhammad bin Abu Bakar. Akhirnya, Muhammad terbunuh dalam peperangan. Dan Amr bin al-Ash menjabat sebagai gubernur Mesir. Negeri Nabi Musa ini pun menjadi di bawah kekuasaan Syam.
Pada tahun 40 H, perselisihan antara Ali dan Muawiyah belum juga mengalami titik temu. Muawiyah menulis surat kepada Ali, “Kalau kau mau, untukmu Irak dan untukku Syam. Sehingga pedang-pedang pun berhenti di tengah umat ini. Jangan kau tumpahkan darah kaum muslimin”.
Ali pun menyepakati hal tersebut. Dengan demikian Muawiyah dan pasukannya menguasai Syam dan sekitarnya. Sementara Ali menetap di Irak dan menguasainya bersama pasukannya (ath-Thabari: Tarikh ath-Thabari 6/60).
***
Sumber Bacaan :
- https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/09/07/khalifah-ali-bin-abu-thalib-14-berakhirnya-perang-jamal/
- https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/09/07/khalifah-ali-bin-abu-thalib-16-amru-bin-ash-persiapannya-dalam-perang-shiffin/
- https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/09/07/khalifah-ali-bin-abu-thalib-18-peristiwa-perang-shiffin/
- https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/09/07/khalifah-ali-bin-abu-thalib-19-peristiwa-tahkim-antara-ali-muawiyah/
Ping balik: Sikap Ahlussunnah Dalam Menyikapi Pertikaian Yang Terjadi Diantara Sahabat | Abu Zahra Hanifa