Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Melanjutkan kisah Abu Darda’ Rodhiyallahu ‘anhu sebelumnya,
“Ummu Darda’ masuk ke kamar tempat berhala, kemudian dia hampir pingsan ketika melihat berhala mereka telah hancur berkeping-keping, kepingannya berserakan di lantai, kemudian dia mulai menampar pipinya sambil berucap,
“Engkau telah mencelakakanku wahai Ibnu Rowahah, engkau telah mencelakakanku wahai Ibnu Rowahah…“
Faidah
Betapa tergantungnya hati para penyembah berhala kepada sesembahannya. Benarlah sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengantunggkan (hatinya –pen) pada sesuatu maka hatinya akan tergantung dengannya”[1].
Syaikh DR. Sholeh Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,
“Sesungguhnya siapa saja yang hatinya, perbuatannya atau keduanya tergantung kepada sesuatu yang dia harapkan manfaatnya atau mencegah keburukan (selain Allah) maka Allah akan biarkan dia tergantung dengan apa yang hatinya dan perbuatannya bergantung padanya”[2].
“Tidak berselang lama, Abu Darda’ pun pulang dari perniagaannya menuju rumahnya. Kemudian dia melihat istrinya duduk di pintu kamar berhala sambil menangis terisak-isak, tanda-tanda ketakukan terlihat jelas di wajahnya”.
“Kemudian dia berkata, “Ada apa denganmu ?”
Istrinya menjawab, “Saudaramu, ‘Abdullah bin Rowahah telah datang menemuiku ketika engkau tidak ada kemudian melakukan apa yang kau lihat”.
“Kemudian dia melihat berhalanya dan didapatinya telah hancur. Lantas amarahnya pun terpancing dan dia berniat kuat ingin membalasnya. Kemudian dia berhenti sejenak lantas amarahnyapun berangsung berkurang dan hilang. Kemudian diapun diam sejenak dari marahnya sambil memikirkan apa yang baru terjadi. Kemudian dia berkata,
“Seandainya ada kebaikan pada berhala ini niscaya dia mampu mencegah keburukan ini dari dirinya sendiri”.
“Kemudian dia berangkat menuju tempat tinggal ‘Abdullah bin Rowahah, lalu keduanya menuju Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam kemudian mengumumkan dirinya masuk ke Agama Allah, Islam. Adalah Abu Darda’ merupakan orang terakhir dari marganya/keluarga besarnya yang masih hidup dan masuk Islam”.
Faidah :
- Seandainya orang kafir dan orang musyrik mau berfikir sehat tentulah dia akan memilih masuk Islam. Karena hanya Islam lah yang memerintahkan hanya menyembah Pencipta dan mengingkari selain Nya. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا
“Katakanlah, berdo’alah kepada mereka yang kamu anggap sesembahan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”.(QS. Al Isro’ [17] : 56)
Artinya seluruh bentuk kemusyrikan apapun sesembahannya, jimatnya, penangkalnya maka tidak akan mampu memberikan manfaat apapun, sekecil apapun dan tidak juga mampu menghindarkan keburukan apapun, sekecil apapun itu”.
- Ketika hati kita benar-benar bersih, maka tidak akan mampu menolak kebenaran.
“Sejak saat itu Abu Darda’ pun beriman kepada Allah dan Rosul Nya dengan iman yang meresap ke relung hatinya yang dalam.
Kemudian dia menyesal dengan penyesalan yang luar biasa atas banyak kebaikan yang telah terlewatkan darinya dan dia menyesal karena telah berada di sekitar orang-orang telah mendahuluinya masuk Islam, memahami agama Allah, menghafal Al Qur’an, ibadah dan taqwa yang telah tersimpan pada diri mereka dan Allah”.
“Maka dia pun berazam/bertekad kuat untuk mengejar apa yang sudah dia lewatkan tersebut dengan kesungguhan orang yang benar-benar bersungguh-sungguh. Dia berusaha hingga dia menyambung kelelahan malam dengan kelelahan siang hingga dia dapat menyusul ketertinggalannya”.
Faidah :
- Betapa beningnya hati beliau, inilah pokoknya taubat yaitu menyesali kesalahan dan bergiat untuk memperbaiki kebaikan yang sudah terlewatkan.
- Betapa banyak orang yang ketika iman telah ‘menyentak’ hatinya, menghasilkan usaha yang tak kenal lelah untuk mengenal dan mempelajari agama Allah.
***
[1] HR. Tirmidzi no. 2072 dan lain-lain. Syaikh Al Albani Rohimahullah mengakan sanadnya hasan.
[2] Lihat Al Mulakhosh Syarh Kitab Tauhid hal. 82 Terbitan Dar ‘Ashimah, Riyadh, KSA.