Membela Abu Hurairah (8) : Tuduhan Penggelapan Harta Baitul Mal


Mereka menyatakan :

Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. [1].

Tanggapan :

Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai Amir (Gubernur) Bahrain. Beliau menghadap Umar bin Khaththab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain.

Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?”Ia menjawab,”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab, ”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, ”Sebanyak 20.000.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, ”Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, ”Aku berdagang.” Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.” [2]

Dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata kepadanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.”

Umar bertanya kembali: “Dari mana terkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab,”Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang) juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.” [3]

Perhatikanlah! Bagaimana para musuh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memanfaatkan perkataan keras Umar Radhiyallahu ‘anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, kemudian menuduhnya telah mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidaklah demikian.

Umar Radhiyallahu ‘anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap beberapa pejabatnya [4] dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah saja. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir. [5]

Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian. [6]

Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.[7]

Umar Radhiyallahu ‘anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam mengatur perkara-perkara kaum muslimin. [8]

Sungguh Umar Radhiyallahu ‘anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya.[9]

Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya, beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggungjawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikan kepada mereka dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka, tanpa ada syubhat. [10]

Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayatnya secara lengkap.

Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu terhadap Umar Radhiyallahu ‘anhu , yaitu ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”

Dengan demikian jelaslah, bahwa Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginannya mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat di atas dengan bunyi:

“Kemudian, setelah itu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa (tidak mau), padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”.

Akupun menimpalinya, ”Sesungguhnya Yusuf seorang nabi dan anak seorang nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”.

Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Kenapa engkau tidak berkata lima?

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).”

Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”. Seorang perawi (dari Ibnu Sirin.) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. (Lalu Abu Hurairah berkata lagi, Edt),”Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.” [11]

Seandainya Umar Radhiyallahu ‘anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya.

Seandainya Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu meragukan sedikit saja sifat amanah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.[12]

***

Footnote :

  1. Saqifah, op.cit. hlm. 13
  2. Thabaqat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih
  3. Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269
  4. Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13
  5. Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halamaan 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad,105/J.3/Q.2
  6. Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269; dinukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa’ad, 105/J.3/Q.2.
  7. Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
  8. Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
  9. Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimi, hlm. 213.
  10. Ibid.
  11. Al Amwal, oleh Ibnu Ubaid, hlm. 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasaturi dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsar, I/53. diambil dari Difa’un ‘An Abu Hurairah, op.cit. hlm. 142.
  12. As Sunnah Qabla At Tadwin, hlm. 438.

Sumber : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2020/09/28/pembelaan-terhadap-abu-hurairah-radhiyallahu-anhu/

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s