DI ANTARA ORANG-ORANG MUKMIN ADA YANG MENEPATI JANJI KEPADA ALLAH
Dari Musa dan `Isa, dua anak Thalhah, dari ayah keduanya bahwa Para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang Arab Badui yang datang [1] bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang siapa yang telah gugur?
Para Sahabat tidak berani bertanya, mereka sangat segan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kewibawaan beliau. Thalhah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Maka orang Arab Badui itu bertanya, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya kemudian orang itu kembali bertanya lalu Nabi berpaling darinya. Kemudian aku muncul dari balik pintu masjid. Pada saat itu aku memakai pakaian hijau. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku, beliau bersabda: ‘Di mana orang yang bertanya tentang siapa yang telah gugur?’ Maka orang itu menjawab, ‘Aku, wahai Rasulullah.’ Nabi bersabda: `Orang ini termasuk orang-orang yang telah gugur.’” [2]
Dari Thalhah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada Perang Uhud, aku terluka di sekujur tubuhku sampai pada kemaluanku.”[3]
“Di Perang Uhud Thalhah melindungi Muhammad, Pada saat-saat yang sangat sulit dan menakutkan, Dia melindunginya dengan kedua tangannya maka jari-jarinya terpotong di bawah tombak sehingga ia lumpuh”.
ADAB THALHAH BERSAMA NABI
Adab Thalhah al-Khair Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu terlihat sangat jelas ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mundur di Perang Uhud.
Ibnu Ishaq rahimahullah menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak naik ke sebuah batu besar di Bukit Uhud, beliau sudah mulai dimakan usia dan melemah, di samping memakai dua baju besi. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk naik, beliau gagal maka Thalhah bin ‘Ubaidillah duduk dan menjadikan dirinya sebagai pijakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau bisa naik.
Salah satu kaki Thalhah pincang pada saat dia membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika membawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia memaksakan diri untuk berjalan secara normal sebagai satu adab di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia melakukan hal itu agar tidak memberatkan beliau. Karena pemaksaan ini, kaki Thalhah malah sembuh dan tidak pincang lagi.[4]
THALHAH MEMBELA SAUDARA-SAUDARANYA DAN BERBAIK SANGKA KEPADA MEREKA
Dari Malik bin Abu ‘Amir, la berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Thalhah lalu berkata, “Apa pendapatmu tentang orang Yaman itu. Apakah dia lebih mengetahui hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya, Abu Hurairah-. Kami mendengar banyak hal darinya yang tidak kami dengar dari kalian.”
Thalhah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Jika dia mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang tidak kami dengar, hal itu tidak aku ragukan. Aku akan kabarkan kepadamu sesungguhnya kami ini orang-orang yang memiliki rumah.
Kami datang kepada beliau di pagi atau sore hari, sedangkan orang itu-Abu Hurairah adalah orang miskin yang tidak memiliki harta. Dia selalu berada di pintu rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jangan heran kalau dia mendengar apa yang tidak kami dengar. Apakah engkau mendapati seseorang yang memiliki kebaikan berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [5]
Alangkah baiknya jika kita memahami pelajaran ini dengan baik sehingga kita berbaik sangka kepada ulama-ulama kita. Mereka adalah orang-orang yang berdiri menjaga dan membela agama ini dan menyampaikan risalah al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada dunia seluruhnya. Oleh karena itu, ulama ibarat antibody di hadapan setiap musuh agama yang hendak menyerang agama ini.
Umat tidak akan bisa hidup tanpa antibody ini. Jika tidak maka umat akan diserang oleh berbagai macam penyakit dari segala penjuru, akhirnya ia akan melemah. Oleh karena itu, hendaklah kita sebagai umat mengakui kedudukan dan kehormatan para ulama.
INFAK THALHAH DI JALAN ALLAH
Dari Qabishah bin Jabir rahimahullah, ia berkata, “Aku pernah menyertai Thalhah. Aku tidak pernah melihat orang yang mudah memberikan harta melimpah tanpa diminta melebihi dirinya.”[6]
Dari Musa bin Thalhah, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendapatkan harta dari Hadramaut sebanyak tujuh ratus ribu, maka di malam itu Thalhah tidak bisa tidur. Istrinya bertanya kepadanya, Ada apa denganmu?”
Thalhah menjawab, “Dari tadi malam aku berpikir. Aku bertanya kepada hatiku, apa kira-kira yang diduga oleh seorang laki-laki kepada Rabbnya dimana dia bermalam, sedangkan di rumahnya terdapat harta sebanyak ini?”
Istrinya berkata, “Apakah engkau melupakan shahabat-shahabat karibmu. Jika pagi tiba, siapkan nampan dan piring lalu bagikan harta itu kepada mereka.”
Maka Thalhah, “Semoga Allah merahmatimu! Engkau adalah wanita yang mendapatkan bimbingan anak perempuan dari seorang laki-laki yang mendapatkan bimbingan.” Istrinya itu adalah Ummu Kultsum binti Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Di pagi hari Thalhah meminta nampan-nampan itu lalu membagikan hartanya kepada orang-orang Muhajirin dan Anshar.
Satu nampan dia kirim kepada ‘Ali, maka istrinya berkata, “Wahai Abu Muhammad! Apakah kami tidak mendapatkan bagian dari harta tersebut?” Thalhah menjawab, “Engkau dimana saja dari tadi? Yang tersisa itu adalah bagianmu.” Istrinya berkata, “Sebuah kantong berisi kurang lebih seribu dirham.” [7]
Dari Su’da binti ‘Auf al-Murriyyah, ia berkata, “Suatu hari aku datang menemui Thalhah radhiyallahu ‘anhu. Dia terlihat lesu, maka aku bertanya kepadanya, “Adap apa dengan dirimu? Apakah ada sesuatu yang membuatmu curiga kepada keluargamu?” Thalhah menjawab, “Tidak ada, demi Allah, engkau adalah sebaik-baik kawan bagi seorang muslim, tetapi harta yang ada padaku itulah yang membuatku seperti ini.”
Aku bertanya, “Apa yang merisaukanmu? Bagikan saja kepada kaummu.” Maka Thalhah berkata, “Pelayan, panggilkan kaumku kemari! Maka Thalhah membagikan harta itu kepada mereka. Aku bertanya kepada pelayan, “Berapa yang dia bagikan?” Dia menjawab, “400 ribu.” [8]
Dari al Hasan al Bashri rahimahullah bahwa Thalhah radhiyallahu ‘anhu menjual bidang tanah dengan harga 700 ribu. Malam itu dia tidak bisa tidur karena harta tersebut. Ketika pagi tiba, dia langsung membagi-bagikannya.” [9]
Dari ‘Ali bin Zaid rahimahullah, ia berkata, “Seorang Arab Badui datang meminta (harta) kepada Thalhah. Dia bertawassul kepadanya dengan jalinan rahim, maka Thalhah berkata, “Ini adalah jalinan rahim. Tidak seorang pun sebelummu yang memintaku dengannya. Aku mempunyai tanah pemberian ‘Utsman seharga 300 ribu, ambillah! Tetapi jika engkau berkenan, aku menjualnya kepada ‘Utsman dan memberikan harganya kepadamu.”
Maka laki-laki itu menjawab, “Harganya saja.” Maka Thalhah memberikannya. [10]
Dia adalah Thalhah al Khair (yang baik), Thalhah al Fayyadh (yang dermawan) dan Thalhah al Jud (yang murah hati).
Bersambung insyaallah..
***
Sumber : Disalin ulang dari buku ‘Shahabat-Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Mahmud al Mishri, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Foot Note:
- Dalam riwayat at-Tirmidzi, bahwa mereka berkata kepada seorang Arab pedalaman yang tidak mengetahui, “Tanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam siapa orang yang telah gugur?”
- an Nahbu artinya nadzar. Ada yang berkata: kematian. Ada yang berkata: janji. Dan ada yang berkata selain itu. Syu’aib al-Arna-uth berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la (II/26-27) dan at-Tirmidzi (no. 3742) dengan sanad yang hasan.”
- Siyar A’laamin Nubalaa’ karya adz-Dzahabi (I/39).
- Shalaahul Ummah karya Dr. Sayyid Husain (V/640-641).
- Al-Arna-uth berkata, “Rawi-rawinya tsiqat, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Dia dan al-Hafizh menyatakannya hasan.”
- Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (III/1/157) dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir (194).
- Siyar A’laamin an Nubalaa’ karya Imam adz Dzahabi (I/30-31)
- Disebutkan oleh al Haitsami dalam al Majma’ (IX/148), dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath Thabarani dan rawi-rawinya tsiqat.”
- Siyar A’laamin an Nubalaa’ karya Imam adz Dzahabi (I/32)
- Siyar A’laamin an Nubalaa’ karya Imam adz Dzahabi (I/31)
Artikel: www.KisahIslam.net, sumber : https://www.kisahislam.net/2013/12/25/thalhah-bin-ubaidillah-bag-02/
Ping balik: Mengenal Sa’ad bin Abi Waqqash, Pemilik Doa Mustajab | Abu Zahra Hanifa