“Barangsiapa ingin melihat seorang syahid berjalan di atas muka bumi, hendaklah dia melihat kepada Thalhah bin ‘Ubaidillah”
Selamat datang!
Selamat datang kepada seorang laki-laki yang mengorbankan hidupnya demi membela al-Habib Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Uhud.
Selamat datang kepada seorang syahid namun masih hidup, yang menjejakkan kakinya di muka bumi padahal dia mengetahui bahwa dia di Surga.
Selamat datang kepada seorang laki-laki di mana dia termasuk orang-orang yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan tugas mulianya.
Selamat datang kepada seorang Sahabat yang mulia Thalhah bin ‘Ubaidillah al-Qurasyi at-Taimi Abu Muhammad, salah seorang Sahabat dari sepuluh orang Sahabat yang dijamin Surga, salah seorang dari delapan orang yang pertama kali masuk Islam, salah seorang dari lima Sahabat yang masuk Islam di tangan Abu Bakar, dan salah seorang Sahabat dari enam orang ahli syura yang ditunjuk oleh `Umar.[1]
Thalhah adalah pemilik jiwa yang suci yang selalu mencari kebaikan di mana pun ia berada… dia melihat zaman Jahiliyyah di mana masyarakat hidup di dalamnya, jiwanya menolak, hatinya terkoyak sedih dan pedih terhadap keadaan tersebut. Dia dan orang-orang sepertinya -dari kalangan orang-orang yang mempunyai muru-ah (kehormatan) dan jiwa yang bersih lagi suci yang telah difitrahkan di atas kesucian- berharap keadaan tersebut akan berubah dan berganti menjadi sebuah kehidupan yang bersih dan suci, orang-orang hidup di bawah naungan kasih sayang, saling menyintai, berkeadilan, dan bersaudara.
Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu dari sekian banyak tokoh besar Islam, salah seorang ksatria pemberani, seorang laki-laki dari sekian laki-laki yang mempunyai pengaruh baik, yang paling agung adalah di bidang penaklukan-penaklukan Islam yang pertama. Ayah Thalhah adalah ‘Ubaidullah, salah seorang pemuka Makkah, salah seorang hartawan di sana. Ibunya adalah ash-Sha’bah binti ‘Abdillah. Kakek ash-Sha’bah dari jalur ibunya adalah Wahb bin ‘Abdillah, seorang dermawan dan berhati mulia.
Masa kanak-kanaknya tumbuh dan masa mudanya berkembang di tengah pengawasan ayah dan ibunya. Thalhah belajar banyak dari keduanya tentang urusan-urusan kehidupan, mengambil akhlak-akhlak mulia dan sifat-sifat terpuji dari keduanya. Hingga ketika Thalhah mencapai usia dewasa, dia menikah dengan Hamnah binti Jahsy, saudara perempuan Zainab isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Thalhah hidup di Makkah sehingga dia mengenal dataran dan lembahnya. Dia berpindah-pindah di antara gunung-gunung dan bukit-bukitnya. Dia belajar memanah dan melempar tombak. Ketika semakin dewasa, Thalhah merasakan alam Makkah menyempit maka dia memilih berniaga. Dari sini Thalhah dikenal oleh pasar Bashra dan Syam. Dia dikenal sebagai saudagar yang dapat dipercaya dan ditempa sebagai pedagang yang berhati lapang.
Kehidupan Thalhah berjalan di antara dua keadaan: tinggal atau bepergian, diam atau bergerak. Hari-hari terus bergulir, malam-malam terus berganti, Thalhah terus sibuk dengan perniagaannya.
Sebuah profesi yang tidak ringan inilah yang dia pilih untuk dirinya dan dia relakan untuk hidupnya.
Akhirnya impian yang sangat berharga itu terwujud dengan segera, cahaya Islam telah menyingsing, ia menyinari seluruh jagad raya pada saat yang sama, pada hari di mana Jibril turun kepada al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa cahaya yang dengannya Allah menerangi hati-hati yang berada dalam kegelapan, dengannya Allah membimbing jiwa yang tersesat di jalan kehidupan yang sarat persoalan menuju cahaya tauhid dan iman.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus, Abu Bakar telah beriman kepada risalahnya. Begitu mendengar berita tersebut, Thalhah tidak maju mundur dan tidak ragu-ragu untuk menerimanya. Begitu Abu Bakar mengajaknya, dia langsung menjawab panggilan kebenaran dengan balk. Dia mengetahui dengan yakin bahwa Muhammad adalah ash-Shadiqul Amin tanpa ada yang membantah dan bahwa Abu Bakar adalah seorang saudagar yang jujur yang tidak mungkin bersatu dengan al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kesesatan selamanya.
Thalhah pergi sementara hatinya berdetak dengan seluruh kekuatan, kerinduan, dan keinginan untuk bertemu al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia ingin mengumumkan di hadapan seluruh alam, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Sekali pun Thalhah mempunyai kedudukan di mata kaumnya dan termasuk hartawan, hal itu tidak membuatnya selamat dari gangguan di jalan Allah, tetapi Allah segera mengangkat ujian dan siksaan tersebut.
Ketika al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Thalhah juga berhijrah bersama orang-orang Muhajirin demi meraih nikmat menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jauh dari mata orang-orang kafir Quraisy dan penindasan mereka.
SYAHID YANG BERJALAN DI MUKA BUMI
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan berita gembira kepada Thalhah bahwa dia akan wafat sebagai seorang syahid dengan izin Allah Ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas Gunung Hira’, lalu gunung itu bergetar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tenanglah, di atasmu hanya ada seorang Nabi, atau shiddiq, atau syahid.”
Di atas Gunung Hira itu ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, `Utsman, ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. [2]
Ketika mengetahui bahwa dirinya akan wafat sebagai seorang syahid -dan hal itu setelah dia mendengar berita gembira tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Thalhah radhiyallahu ‘anhu terus mencari syahadah (mati syahid) di tempat-tempat yang mungkin didapatkannya. Maka Thalhah ikut dalam seluruh peperangan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Perang Badar. Kebetulan pada saat itu Thalhah sedang berada di Syam untuk urusan perniagaannya.[3]
THALHAH BIN `UBAIDILLAH DI PERANG UHUD
Di Perang Uhud, Thalhah -seperti biasanya- mencari syahadah yang telah disampaikan kepadanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berita gembira dengan harapan Allah akan memberikannya kepadanya di hari itu.
Ketika pasukan Islam yang kecil berhasil mencatat kemenangan yang cemerlang atas orang-orang Makkah pada kali yang lain dengan kemenangan yang tidak kalah mengagumkan daripada kemenangan yang telah mereka raih sebelumnya di medan Badar, pada saat itulah mayoritas pasukan pemanah melakukan kesalahan fatal yang membalikkan keadaan 180 derajat. Kemenangan yang sudah di depan mata berbalik menjadi kekalahan yang memilukan bagi kaum muslimin dan hampir menjadi sebab terbunuhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kekalahan ini meninggalkan nama buruk bagi kaum muslimin dan kewibawaan yang sempat mereka enyam pasca perang Badar.
Ketika pasukan pemanah melihat kaum muslimin mengumpulkan harta rampasan perang dari tangan musuh yang kalah, kecintaan kepada dunia memanggil mereka. Sebagian berkata kepada yang lain, “Harta rampasan! Harta rampasan! Kawan-kawan telah menang, apa yang kita tunggu?”
Adapun panglima mereka telah mengingatkan mereka dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Abdullah bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata kepada mereka, “Apakah kalian lupa terhadap apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Mayoritas pasukan pemanah tidak menghiraukan peringatan `Abdullah ini. Mereka berkata, “Demi Allah, kami akan mendatangi mereka dan kami harus mendapatkan harta rampasan.”[4] Kemudian 40 orang dari mereka meninggalkan pos-pos mereka di bukit. Mereka menyusul mayoritas pasukan kaum muslimin untuk turut serta mengumpulkan harta rampasan perang. Akibatnya, punggung kaum muslimin kosong dari penjaga, yang tersisa hanyalah ‘Abdullah bin Jubair dan 9 orang dari mereka. Mereka tetap teguh menjaga pos mereka. Mereka tetap bersikeras di tempat mereka sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin atau mereka semuanya gugur.
Khalid bin al-Walid [yang ketika itu masih kafir] memanfaatkan peluang emas ini. Dengan sangat cepat dia memutar sehingga dia tiba di belakang pasukan kaum muslimin. Dengan cepat pula Khalid dan kawan-kawannya menghabisi ‘Abdullah bin Jubair dan kawan-kawannya. Selanjutnya dia menyerang pasukan kaum muslimin dari belakang.
Pasukan berkuda Khalid berseru sehingga kaum musyrikin yang telah kalah mengetahui bahwa keadaan telah berubah maka mereka kembali menyerang kaum muslimin. Seorang wanita dari mereka, yaitu ‘Amrah binti ‘Alqamah al-Haritsiyah segera mengangkat panji mereka yang telah terjatuh di tanah. Orang-orang musyrikin berkumpul di bawahnya. Mereka menyusun kekuatan kembali; sebagian memanggil sebagian yang lain sehingga mereka berkumpul menyerang kaum muslimin dan teguh melanjutkan peperangan. Kaum muslimin sendiri terjepit oleh dua kekuatan: dari depan dan belakang. Mereka berada di antara dua batu penggilingan.
Kaum muslimin dijepit oleh dua kekuatan orang-orang musyrikin. Mereka berada di antara dua batu penggilingan orang-orang musyrikin. Tekanan kuat terjadi di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru, “Kemarilah, wahai kaum muslimin! Aku adalah Rasulullah.”
Suara beliau terdengar oleh orang-orang musyrikin, maka mereka mengenalinya. Mereka segera memfokuskan serangan kepada beliau dan menyatukan kekuatan terhadap beliau sebelum pasukan kaum muslimin kembali melindungi beliau. Pada saat itu Rasulullah hanya didampingi oleh sembilan orang Sahabat, maka terjadilah perang yang sengit antara orang-orang musyrikin dengan sembilan orang tersebut. Di dalamnya terlihat kecintaan, kepahlawanan, dan pengorbanan yang tiada tanding.
Dari Anas bin Malik bahwa pada Perang Uhud Rasulullah hanya didampingi oleh 7 orang Anshar dan 2 orang Quraisy. Orang-orang musyrikin menyerang beliau dengan sangat kuat sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang mau menahan mereka dari kami maka baginya Surga?” Atau beliau bersabda: “Dia adalah pendampingku di Surga?”
Seorang laki-laki Anshar maju. Dia berperang sampai dia terbunuh. Orang-orang musyrikin semakin beringas, maka hal itu terulang sampai tujuh orang Anshar tersebut gugur seluruhnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada dua orang Quraisy:
“Kita tidak berlaku adil kepada saudara-saudara kita.” [5]
Orang terakhir dari tujuh orang Anshar tersebut adalah ‘Imarah bin Yazid bin as-Sakan. Dia berperang sampai luka-luka menghentikannya.[6]
Setelah ‘Imarah gugur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didampingi hanya didampingi oleh dua orang Quraisy saja.
Dalam ash-Shahiihain dari Abu ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Tidak tersisa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebagian peperangan beliau, kecuali Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash.” [7]
Adapun Sa’ad bin Abi Waqqash maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menyiapkan kantong anak panahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Lepaskan anak panahmu, ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu.”[8]
Hal ini menunjukkan kemahiran Sa’ad dalam memanah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebutkan ayah-ibunya untuk siapa pun selain untuk Sa’ad radhiyallahu ‘anhu.[9]
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada Perang Uhud kaum muslimin kocar-kacir. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di satu sisi medan perang bersama dua belas orang, salah seorang dari mereka adalah Thalhah. Maka orang-orang musyrikin mendekat, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang menghadapi mereka?’ Thalhah menjawab, ‘Aku.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tetaplah di tempatmu.’ Lalu seorang laki-laki berkata, ‘Aku.’ Nabi bersabda: ‘Engkau, majulah!’ Lalu laki-laki ini berperang sampai dia gugur. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh, ternyata orang-orang musyrikin semakin dekat. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: `Siapa yang menahan mereka?’ Thalhah menjawab, ‘Aku.’ Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ‘Tetaplah di tempatmu!’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Engkau, majulah!’ Lalu laki-laki ini berperang sampai dia gugur.
Hal ini terus berlangsung hingga yang tersisa bersama Nabi bersabda: ‘Siapa menghadapi mereka?’ Thalhah menjawab, ‘Aku.’ Lalu Thalhah berperang layaknya dua belas orang yang telah gugur sampai jari-jarinya terputus. Dia berkata, ‘Aduh!’ Maka Rasulullah bersabda:
“Seandainya engkau mengucapkan bismillaah, niscaya para Malaikat akan mengangkatmu sementara orang-orang melihatnya.” [10]
Dalam riwayat ath-Thabarani: “Seandainya engkau mengucapkan bismillaah, niscaya para Malaikat membawamu terbang sementara orang-orang melihat kepadamu.”
Dalam riwayat an-Nasa-i dan al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il: “Sehingga Malaikat membawamu ke angkasa.”
Dalam riwayat Ahmad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Seandainya engkau mengucapkan bismillaah, niscaya engkau akan melihat sebuah istana di Surga yang dibangun untukmu dari ucapan tersebut, walaupun engkau masih hidup di dunia” [11]
Dari Qais bin Hazim radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku melihat tangan Thalhah lumpuh karena melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Perang Uhud.” [12]
Dalam perang tersebut Thalhah mendapatkan 39 atau 35 luka dan jari-jarinya lumpuh, yakni jari telunjuknya dan jari tengahnya.[13]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Thalhah pada hari tersebut: “Barangsiapa ingin melihat seorang syahid berjalan di atas muka bumi, hendaklah dia melihat kepada Thalhah bin ‘Ubaidillah.” [14]
Abu Dawud ath-Thayalisi meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Jika Abu Bakar teringat Perang Uhud, dia berkata, ‘Hari itu, semuanya milik Thalhah.’ [15]
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu juga berkata tentangnya: Wahai Thalhah bin ‘Ubaidillah telah wajib untukmu Surga dan engkau berhak duduk di atas mutiara yang indah.[16]
Dari `Aisyah dan Ummu Ishaq, dua anak perempuan Thalhah keduanya berkisah, “Pada Perang Uhud, ayah kami mendapatkan luka sebanyak 24 luka. Di antara luka-luka tersebut ada sebuah luka di kepala yang berbentuk segi empat. Urat nadinya terpotong sehingga jarinya lumpuh. Sisa lukanya ada di tubuhnya.
Thalhah tidak kuasa menahan pingsan padahal gigi depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam patah dan wajah beliau terluka. Thalhah masih pingsan padahal dia sedang menahan Nabi untuk membawanya mundur ke belakang. Setiap kali seorang tentara musyrik mendekat, dia memeranginya sampai Thalhah menyandarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke sebuah bukit.”[17]
Sehingga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda tentangnya: “Thalhah berhak atas Surga ketika dia melakukan apa yang telah dia lakukan[18] kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [19]
Bersambung insyaallah..
***
Sumber : Disalin ulang dari buku ‘Shahabat-Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Mahmud al Mishri, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Foot Note :
- Al-Ishaabah karya al-Hafizh Ibnu Hajar (III/430).
- Diriwayatkan oleh Muslim (no. 50), kitab: Fadhaa-lush Shabaabab.
- Ibnu Sa’ad berkata dalam ath-Thabagaat (III/1/154), “Ketika menanti-nantikan kedatangan kafilah dagang orang-orang Quraisy dari Syam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Said bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail -sepuluh malam sebelum beliau meninggalkan Madinah- untuk memata-matai kafilah. Keduanya berangkat sampai tiba di al-Haura’. Keduanya tetap di sana sampai kafilah tersebut lewat dan berita tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum kepulangan Thalhah dan Sa’ad.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari (I/426) dari al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu.
- Diriwayatkan oleh Muslim (II/107, [no. 1789]), bab: Ghazwatu Uhud.
- Sesaat setelah itu beberapa kaum muslimin berhasil mendekat kepada Rasulullah maka mereka mengusir orang-orang kafir dari ‘Imarah. Mereka membawanya mendekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau shallallahu ’alaihi wa sallam menjulurkan kakinya. ‘Imarah gugur dengan pipi yang berbantalkan kaki Rasulullah [Siraah Ibni Hisyam (II/81)].
- Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3722) dan Muslim (no. 2414).
- Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/407; 11/580).
- Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3725) dan Muslim (no. 2412 (42)).
- Diriwayatkan oleh al-Hakim secara ringkas (III/369) dalam Ma’rifatush Shahaabah. Hadits ini mempunyai beberapa jalur periwayatan. Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam ash-Shahiihah (no. 2171), “Hadits inihasan dengan kumpulan jalan-jalan periwayatannya.”
- Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadhaa-ilush Shahaabah (no. 1294), sanadnya shahih.
- Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4063) dari Qais bin Hazim radhiyallahu ’anhu.
- Shahiih al-Bukhari (VII/361).
- Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [no.3739] dan al-Hakim [III/424] dari Jabir radhiyallahu ’anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullahdalam Shahiihul Jaami’ (no. 5962).
- Fathul Bari (VII/361).
- Mukhtashar Taariikh Dimasyqa (VII/82).
- Siyar A’laamin Nubalaa’ karya adz-Dzahabi (I/32).
- [Yaitu, Thalhah merundukkan badannya sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki pundaknya untuk memaniat batu besar yang ada di bukit]. -pent
- Diriwayatkan oleh Ahmad [I/165], at-Tirmidzi [no.1692], Ibnu Hibban dan al-Hakim [III/28] dari az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ShahiihuI Jaami‘ (no.2540) dengan lafazh:
- “Thalhah berhak atas Surga ketika dia melakukan apa yang telah dia lakukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ash-Shahiihah (no. 945).
Artikel: www.KisahIslam.net, sumber : https://www.kisahislam.net/2012/12/23/thalhah-bin-ubaidullah/
Ping balik: Biografi Sa’ad bin Abi Waqqash | Abu Zahra Hanifa
Ping balik: Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu | Abu Zahra Hanifa