Ulama sekaligus Sejarawan Muslim kenamaan asal Libya, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam sebuah buku yang ia dedikasikan untuk Khalifah pertama dalam Islam ini pernah berkata, “Memang, Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal oleh umat Islam akan ketaatannya, kedekatannya dengan Rasul, kelembutannya, ketakwaannya kepada Allah, dan ilmunya.
“Namun, ia juga adalah seorang ahli militer yang brilian, bahkan salah satu yang terbaik dalam sejarah manusia. Pada saat yang menentukan, ia mengambil keputusan dan kebijakan politik yang berani dan tidak populer melawan orang-orang murtad; sebuah keputusan yang pada akhirnya akan mengubah sejarah.”
Kiranya tak berlebihan ungkapan itu jika kita banyak menggali kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tulisan ini merupakan paparan dari Laporan Syamina Edisi Februari 2016, berjudul: Kebijakan-kebijakan Luar Negeri Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Mulanya Abu Bakar dikenal oleh masyarakatnya sebagai salah seorang yang istimewa karena nasab dan perangainya. Nama aslinya adalah Abdullah bin Utsman. Ia lahir dalam keluarga mampu dan terpandang, bani Taim.
Nasabnya tersambung dengan Nabi Muhammad saw pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Ia dikenal oleh bangsa Arab dengan kebaikan, keberanian, kokoh pendirian, memiliki berbagai ide brilian, toleran, penyabar dan mempunyai tekad yang tinggi.
Sebelum dan setelah keislamannya hingga menjabat sebagai khalifah, Abu Bakar berprofesi sebagai usahawan sukses. Dalam ranah dakwah, dengan keislamannya, ia berhasil menarik beberapa kalangan kelas atas bangsa Arab kepada Islam seperti Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah.
Ia selalu menemani Rasulullah saw selama di Makkah, bahkan ialah yang mengiringi Rasulullah saw ketika bersembunyi dalam gua Tsur dan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah hingga sampai ke Madinah. Di samping itu, ia mengikuti seluruh peperangan yang diikuti Rasulullah, baik perang Badar, Uhud, Khandaq, Fathu Makkah, perang Hunain, dan perang Tabuk.
Ketika Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijriah, orang-orang Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah bani Sa’idah. Sempat terjadi sedikit perdebatan tentang siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin kaum Muslimin.
Dengan bijak, Abu Bakar menyudahi perselisihan itu dengan mengajukan dua orang dari Muhajirin untuk memegang kekhilafahan seraya berkata, “Kebaikan yang telah kalian (kaum Anshar) sampaikan, itu memang hak kalian. Namun permasalahan (kekhilafahan) ini tidak akan dijabat kecuali oleh orang dari kalangan Quraisy. Mereka adalah pemilik nasab dan tempat tinggal paling baik. Aku ridha kalau salah satu dari kedua orang ini (Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah) menjadi pemimpin kalian. Terserah kalian, manakah di antara keduanya yang akan kalian pilih!”
Tetapi Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah menolaknya. Umar bin Khaththab lalu mengatakan, “Tidak. Demi Allah! Kami tidak pantas memegang kepemimpinan ini membawahi dirimu. Engkau Muhajirin terbaik, salah seorang dari dua orang kala keduanya berada di gua dan pengganti Rasulullah saw dalam memimpin shalat. Sementara shalat merupakan amal terbaik dalam Islam. Siapakah yang pantas maju di hadapanmu atau memegang perkara ini membawahi dirimu? Ulurkan tanganmu! Kami akan membaiatmu”.
Abu Bakar pun mengulurkan tangannya dan Umar langsung membaiatnya diikuti oleh Abu Ubaidah orang-orang Muhajirin, dan kemudian oleh orang-orang Anshar. Pasca pembaiatan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bersifat terbatas di Saqifah Bani Sa’idah, pada hari berikutnya kaum muslimin berkumpul untuk melakukan pembaiatan umum.
Setelah prosesi baiat berlangsung, Abu Bakar Ash-Shiddiq lantas menyampaikan pidato perdana kekhilafahan dan politiknya. Dengan suara lantang dan penuh keyakinan ia berkata,
“Wahai manusia! Aku telah diserahi kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Itulah sebabnya, jika aku melakukan kebaikan, bantulah aku. Dan jika aku berbuat salah, ingatkanlah aku. Jujur adalah sikap amanah dan dusta merupakan sikap khianat. Orang yang lemah di antara kalian kuanggap kuat di sisiku sebelum aku memberi haknya, insya Allah. Dan orang kuat di antara kalian kuanggap lemah di sisiku sebelum aku mengambil hak yang harus ditunaikan olehnya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad fi sabilillah, kecuali Allah akan menjadikan hidup mereka hina dan dihinakan. Tidaklah perbuatan keji menyebar di suatu kaum, kecuali Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Karena itu, taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ketaatan kepadaku bagi kalian. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kalian“.
Dalam pandangan Ash-Shalabi, pidato perdana kekhilafahan dan politik Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan pidato yang substansial meski ringkas.
Dalam khutbah tersebut, Abu Bakar menetapkan prinsip keadilan dan kasih sayang dalam hubungan antara penguasa dan rakyat. Ia menekankan bahwa ketaatan kepada penguasa harus selaras dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar juga membangkitkan semangat jihad fi sabilillah sebagai jalan sangat penting untuk memuliakan umat dan mengajak umat Islam meninggalkan perbuatan keji demi melindungi masyarakat dari kehancuran dan kerusakan.