Pelajaran Dari Wafatnya Paman Nabi Abu Thalib


Apa saja pelajaran yang bisa diambil dari kisah meninggalnya Abu Thalib?

Pertama: Kisah tersebut menunjukkan agungnya kalimat tauhid laa ilaha illallah yang di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan pamannya mengucapkannya.

Kalimat tersebut berisi kandungan agar kita mentauhidkan Allah dalam ibadah. Siapa saja yang mentauhidkan Allah, maka berarti ia telah bebas dari menjadi budak pada makhluk.

Kedua: Orang-orang musyrik sudah paham bahwa kalimat laa ilaha illallah punya konsekuensi untuk menjadikan sesembahan hanya satu yaitu Allah Sang Khaliq.

Orang musyrik paham akan hal ini, maka mereka enggan untuk mengucapkan kalimat mulia tersebut karena konsekuensi dari kalimat tersebut adalah harus meninggalkan kesyirikan walau itu sudah menjadi budaya yang turun temurun ada. Orang musyrik pada masa jahiliyah lebih paham kalimat tersebut daripada orang yang saat ini mengaku muslim dengan mengucapkan kalimat laa ilaha illallah namun menjadikan kubur sebagai tempat untuk bertawaf, berdoa pada kubur, mereka khawatir mendapatkan celaka, dan mengharap manfaat dari penghuni kubur tersebut.

Bahkan ada yang bertawaf keliling kubur sambil mengucapkan kalimat laa ilaha illallah dan tidak mengetahui kalau perbuatannya bertolak belakang dengan kalimat tauhid tersebut. Siapa yang bertauhid, maka ia akan selamat. Lalu siapa yang berbuat syirik, maka ia akan sengsara sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48).

Dalam Fath Al-Majid (hlm. 70), Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah berkata, “Syirik adalah dosa yang amat besar karena Allah sampai mengatakan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi siapa yang tidak bertaubat dari dosa syirik tersebut. Sedangkan dosa di bawah syirik, maka itu masih di bawah kehendak Allah (masyiah). Jika Allah kehendaki ketika ia berjumpa dengan Allah, maka bisa diampuni. Jika tidak, maka ia akan disiksa. Jika demikian seharusnya seseorang begitu takut terhadap syirik karena besarnya dosa tersebut di sisi Allah.”

Ketiga: Apa hikmahnya Abu Thalib tetap dalam keadaan kafir ketika maut menjemput?.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Abu Thalib masuk Islam, maka tentu ia tidak bisa mencegah kaumnya ketika mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ia bela keponakannya sesuai dengan kemampuannya, baik dengan perbuatan, dengan perkataan, dengan jiwa, dan dengan harta. Akan tetapi ia tidak diberi hidayah iman. Ada hikmah yang besar di balik itu semua. Kita hanyalah bisa beriman dan taslim (pasrah) akan keadaan ini. Seandainya Allah tidaklah melarang untuk memintakan ampun pada orang musyrik, tentu kita akan tetap berdoa kepada Allah agar Abu Thalib diampuni dan mendoakan rahmat untuknya.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:315).

Keempat: Persahabatan dengan teman yang buruk akan membawa kita sesat.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا, يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا, لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِيۗوَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqan: 27-29).

Kelima: Di antara sebab suul khatimah adalah karena pengaruh teman yang buruk, serta berusaha mempertahankan budaya dan tradisi yang rusak.

Dalam riwayat Imam Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi disebutkan, “Seandainya aku tidak khawatir kaum Quraisy akan mencela diriku, niscaya aku senangkan engkau dengan mengucapkan kalimat syahadat itu”.

Keenam: Ketentuan baik dan buruknya seseorang adalah pada akhir hayatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102).

Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493).

Ketujuh: Bahaya taklid buta (fanatik) kepada nenek moyang dan mengikuti semua tradisi dan budaya mereka tanpa memerhatikan batasan-batasan syar’i.

Yang selalu jadi alasan orang Jahiliyah dapat dilihat pada ayat,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka“.” (QS. Az-Zukhruf: 22).

Dalam ayat lain disebutkan,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah: 170).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang tidak mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah, enggan menaati Allah dan Rasul-Nya lalu berpaling pada adat dan tradisi nenek moyang dan masyarakat yang ada. Itulah yang disebut orang Jahiliyyah dan layak mendapat celaan. Begitu pula orang yang sudah jelas baginya kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya lantas ia berpaling pada adat istiadat, itulah orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan hukuman.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:225).

Kedelapan: Bagi setiap muslim, ia hanya wajib untuk berjuang sekuat tenaga dalam berdakwah, sementara taufik untuk memperoleh hidayah berada pada kuasa Allah.

Perlu dipahami bahwa hidayah itu ada dua macam:

  • Hidayah irsyad wa dalalah, maksudnya adalah hidayah berupa memberi petunjuk pada orang lain.
  • Hidayah taufik, maksudnya adalah hidayah untuk membuat seseorang itu taat pada Allah.

Hidayah pertama, bisa disematkan pada manusia. Contohnya seperti pada firman Allah,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52). Memberi petunjuk yang dimaksud di sini adalah memberi petunjuk berupa penjelasan. Ini bisa dilakukan oleh Nabi dan yang lainnya.

Hal yang serupa juga ditemukan dalam surah Yasin pada ayat,

وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (QS. Yasin: 17).

Namun untuk hidayah kedua, yaitu hidayah supaya bisa beramal dan taat tidak dimiliki kecuali hanya Allah saja. Seperti dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚوَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash:56)

Begitu juga dalam ayat,

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 272) (Lihat bahasan Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid, 1:618 dan Hasyiyah Kitab At-Tauhid, hlm. 141).

Dengan memahami hal ini, maka jadi hiburan bagi setiap da’i ketika ia terkadang melihat segala usaha dakwahnya sia-sia. Oleh karena itu, ketika ia mengingat usaha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berhasil untuk mengislamkan Abu Thalib sehingga beliau berulang-ulang mengajaknya, tetapi Abu Thalib tidak mau menerima petunjuk dan tidak ditakdirkan untuk beruntung mendapatkan hidayah Islam.

Kesembilan: Begitu dahsyatnya siksa neraka.

Abu Thalib itu disiksa pada tempat yang paling dangkal di neraka sehingga sampai pada kedua mata kakinya, yang karena panasnya, otaknya pun mendidih. Dan itu adalah siksa neraka yang paling ringan. Karena itu, Allah perintahkan,

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖإِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ, وَلَا تَجْعَلُوا مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۖإِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50-51).

Kesepuluh: Abu Thalib mati dalam keadaan kafir.

Dan ada aturan, kita  sebagai muslim tidak boleh mendoakan ampunan kepada orang kafir yang telah meninggal dunia sebagaimana disebut dalam ayat,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113).

Kesebelas: Kisah ini menunjukkan sahnya taubat atau keislaman seseorang sebelum kematiannya.

Karena seandainya tidak sah taubat atau masuk Islamnya, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Abu Thalib untuk masuk Islam di saat ajalnya tiba. Namun ini dianggap sah sebelum nyawa dicabut (an-nazaa’), sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚأُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 18).

Kedua belas: Seorang muslim punya kewajiban untuk berbuat baik pada kerabat dekat, di antara bentuknya adalah mendakwahi untuk memeluk Islam yang benar.

Allah Ta’ala berfirman tentang perintah berbuat baik pada kerabat,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa’: 36).

Juga dalam ayat lainnya disebutkan,

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214).

Ketiga belas: Bentuk balas budi terhadap kebaikan Abu Thalib adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan syafa’at untuknya.

Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban kepada pamannya ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, “Ia berada di tempat yang dangkal (tidak berada di bagian dasar) dari neraka. Seandainya bukan karena aku niscaya ia berada pada tingkatan paling bawah di dalam neraka.” (HR. Bukhari, no. 3883 dan Muslim, no. 209).

Keempat belas: Tetap amalan kebaikan orang kafir tidak teranggap.

Siksaan yang ringan bagi Abu Thalib di neraka bukanlah karena amal saleh Abu Thalib namun karena syafaat dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pahala dan balasan akhirat hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 10:195)

Perkataan Imam Nawawi ini disimpulkan dari hadits yang berasal dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552).

Semoga menjadi pelajaran berharga dari wafatnya Abu Thalib ini. Wallahu waliyyut taufiq.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Referensi:

  1. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan Tahun 1436 H. Al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi. Penerbit Dar ‘Alamil Kutub.
  2. Fiqh As-Sirah.Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  3. Fath Al-Majid Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan Tahun 1423 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh. Tahqiq: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz. Penerbit Darul Hadits.
  4. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’ dan Ibnu Hazm.
  5. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  6. Fiqh As-Sirah.Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  7. Hasyiyah Kitab At-Tauhid. Cetakan keenam, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Qasim Al-Hambali An-Najdi.
  8. Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid fi Syarh Kitab At-Tauhid.Cetakan kedua, tahun 1429 H. Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Penerbit Dar Ash-Shami’iy.

Selengkapnya dalam sumber :

One response to “Pelajaran Dari Wafatnya Paman Nabi Abu Thalib

  1. Ping balik: Kumpulan Artikel Seputar Sirah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (1) | Abu Zahra Hanifa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s