RIBA JUAL BELI Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhal. Komoditi riba fadhal yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Riba jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhal dan riba nasii-ah.
Riba Fadhal
Kata Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan, sedangkan dalam terminologi ulama adalah,
الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين
(Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan).
Atau ada yang mendefinisikan dengan :
Kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhalatau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Seperti menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas juga. Sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhal.
Riba Fadhl ini dilarang dalam syariat islam dengan dasar :
a). Hadits Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ“
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”.[1]“.
b). Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallambersabda:
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t dan jangan menjual yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada.” (HR Al Bukhari).
c). Sedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ “.
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barang siapa yang menambah atau minta tambahan maka telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi hukumnya sama.”.
d). Hadits Al Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata:
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual beli perak dengan emas secara tempo (hutang)”. (HR Al Bukhari).
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam banyak hadits dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu’, yakni sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhal. Ada yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
Hikmah Diharamkannya Riba Fadhal
Hikmah diharamkannya riba fadhal tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.
Kalau satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak ada hal yang salah. Lalu di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?
Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui bebagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum.
Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa : 65)
Setelah pendahuluan ini, baru kita tegaskan : Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhal ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram. Karena riba fadhal ini seringkali menggiring kepada riba nasii-ah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama bunganya.
Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا شَيْئًا غَائِبًا مِنْهَا بِنَاجِزٍ فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ
“Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama`.[2]”.
Rama` yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi riba fadhal secara langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.
Komoditi Ribawi
Para ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.
Namun mereka berselisih apakah di sana ada illah (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada?
Dalam dua pendapat :
- Pertama: Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.
- Kedua : Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak mungkin membedakan antara yang serupa.
Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaat ribawi pada komoditi tersebut.
Ilaat Ribawi pada Emas dan Perak.
Yang rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan : Yang dimaksud disini adalah pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama –sehingga beliau menyatakan- : penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya”.
Ilaat Ribawi pada Selain Emas dan Perak.
Sedangkan pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.[3].
Sehingga yang menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhal, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.
Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
- Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.
- Kedua : Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.
Inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi tersebut, beliau menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih dari selainnya.”[4]
Dengan demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1). Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:
- sama dalam kwantitas, inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam : ( مثلاً بمثل سواءً بسواء )
- Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam: ( يداً بيد )
Ini berlaku juga pada jual beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ“
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”[5].
Inilah yang dimaksud dengan kaedah : إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض
2). Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum, garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan pokok dan ditakar- atau emas dengan perak – keduanya berbeda jenis, namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan kwantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ“
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga..”[6]
Dengan demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba Fadhl; ( وبغير جنسه وجب التقابض فقط ).
Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kwantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud kaedah: ( وإذا اختلفت العلل لم يجب شيء ).
***
Footnote :
- Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254.
- Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III : 4, dan sanadnya shahih.
- Al Fiqih Al Muyassar –Qismul Muamalat -78
- Majmu’ Fatawa 29/470-471, lihat juga Taisir Al Fiqhi Al Jaami‘ Lil Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah Lisyeikhil Islam Ibnu Taimiyah, Ahmad Muwafi, 2/1022-1025.
- Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254.
- Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254.
Selengkapnya dalam sumber : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2016/11/24/hakekat-riba/
Ping balik: Bentuk Jual Beli yang Terlarang (2/4) | Abu Zahra Hanifa