Yaitu pertambahan dalam hutang sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran [1].
Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:
وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdilmutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (HR Muslim).
Demikianlah Allah dan RasulNya mengharamkannya karena berisi kezhaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.[2].
Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah.
Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:
1). Riba pinjaman.
Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya”.
Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan”.
Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah menyatakan: “Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan: “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya”. Maka turunlah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran: 130)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: “Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.”[3].
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata: “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?”. Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
2). Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya.
Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash menyatakan: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.[4]”. Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya[5]“
3). Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan).
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah.[6]“.
Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: “Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar [7]“.
***
Footnote :
- Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39.
- Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam Al Muwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40.
- Lihat I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135.
- Ahkaamul Qur’aan 1/ 465.
- Ahkaamul Qur’aan 1/ 67.
- Tafsir Ar-Raazi 4/ 92.
- Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir 1/222.
Selengkapnya dalam sumber : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2016/11/24/hakekat-riba/
Ping balik: Bentuk Jual Beli yang Terlarang (2/4) | Abu Zahra Hanifa