Perkataan Ulama Syafi’iyyah Tentang Wajibnya Cadar


CADAR WAJIB MENURUT MADZHAB SYAFI’I

Yang anehnya ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab Syafi’iyah adalah wajibnya menutup wajah, bukan hanya disunnahkan !!. Akan tetapi pendapat ini serasa asing dan aneh di tanah air kita yang notabene sebagian besar kita menganut madzhab syafi’i.

Sebelumnya penulis tidak menemukan perkataan Imam Syafi’i yang tegas dalam mewajibkan cadar, yang penulis dapatkan dalam kitab Al-Umm adalah hanyalah isyarat yang tidak tegas.

Imam Syafi’i berkata :

وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا في وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ في رَأْسِهِ فَيَكُون لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ من غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا يَكُونُ ذلك لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كانت بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ من الناس أَنْ ترخى جِلْبَابَهَا أو بَعْضَ خِمَارِهَا أو غير ذلك من ثِيَابِهَا من فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عن وَجْهِهَا حتى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ على وَجْهِهَا وَلَا يَكُونُ لها أَنْ تَنْتَقِبَ

Dan wanita berbeda dengan lelaki (dalam pakaian ihram-pen), maka wanita ihromnya di wajahnya adapun lelaki ihromnya di kepalanya. Maka lelaki boleh untuk menutup seluruh wajahnya tanpa harus dalam kondisi darurat, hal ini tidak boleh bagi wanita. Dan wanita jika ia nampak (diantara para lelaki ajnabi-pen) dan ia ingin untuk sitr (tertutup/berhijab) dari manusia maka boleh baginya untuk menguraikan/menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau yang selainnya dari pakaiannya, untuk dijulurkan dari atas kepalanya dan ia merenggangkannya dari wajahnya sehingga ia bisa menutup wajahnya akan tetapi tetap renggang kain dari wajahnya, sehingga hal ini seperti penutup bagi wajahnya, dan tidak boleh baginya untuk menggunakan niqoob” (Al-Umm 2/148-149).

Beliau juga berkata :

وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تجافى الثَّوْبَ عن وَجْهِهَا تَسْتَتِرُ بِهِ وتجافى الْخِمَارَ ثُمَّ تَسْدُلَهُ على وَجْهِهَا لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا

“Boleh bagi wanita (yang sedang ihrom-pen) untuk merenggangkan pakaiannya dari wajahnya, sehingga ia bersitr (menutup diri) dengan pakaian tersebut, dan ia merenggangkan khimarnya/jilbabnya lalu menjulurkannya di atas wajahnya dan tidak menyentuh wajahnya“(Al-Umm 2/203).

Beliau juga berkata :

وَأُحِبُّ لِلْمَشْهُورَةِ بِالْجَمَالِ أَنْ تَطُوفَ وَتَسْعَى لَيْلًا وَإِنْ طَافَتْ بِالنَّهَارِ سَدَلَتْ ثَوْبَهَا على وَجْهِهَا أو طَافَتْ في سِتْرٍ

“Dan aku suka bagi wanita yang dikenal cantik untuk thowaf dan sa’i di malam hari. Jika ia thowaf di siang hari maka hendaknya ia menjulurkan bajunya menutupi wajahnya, atau ia thowaf dalam keadaan tertutup” (Al-Umm 2/212).

Seorang wanita disyari’atkan untuk menggunakan niqob (cadar), hanya saja tatkala ia sedang dalam kondisi ihrom maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita untuk menggunakan niqoob, yaitu cadar.

Akan tetapi Al-Imam Asy-Syafi’i –dalam pernyataannya ini- menjelaskan jika seorang wanita baarizah (nampak di kalangan manusia), lalu ia ingin sitr (menutupi dirinya/berhijab) dari manusia (para lelaki asing) yaitu jika ia ingin menutup wajahnya maka caranya dengan menjulurkan kain dari atas kepalanya sehingga menutupi wajahnya, akan tetapi tidak melekat dan menempel di wajahnya sebagaimana halnya cadar yang diikat sehingga menutup wajahnya. Dan juluran kain tersebut menurut Imam Syafi’i kedudukannya seperti penutup bagi wajahnya.

Sangat jelas bahwa menutup wajah tetap disyari’atkan meskipun dalam kondisi ihrom. Hanya saja memang dalam pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i ini tidaklah tegas menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita hukumnya wajib.

Pernyataan-pernyataan wajibnya bercadar kita dapatkan secara tegas dari perkataan mayoritas para ulama syafi’iyah. Dan para ulama syafi’iyah membedakan antara aurot wanita tatkala sholat dan tatkala di hadapan lelaki asing. Dalam sholat wajah dan telapak tangan dibuka, adapaun diluar sholat di hadapan lelaki asing maka wajah adalah aurot dan harus ditutup.

Berikut nukilan pernyataan mereka, yang akan penulis klasifikasikan menjadi dua, (1) para fuqoha’ syafi’iyah dan (2) pafa mufassir syafi’iyah.

PERTAMA : PARA FUQOHA SYAFI’IYAH

Diantara mereka :

1). Imamul Haromain al-Juwaini, beliau berkata :

مع اتفاق المسلمين على منع النساء من التبرج والسفور وترك التنقب

“…disertai kesepakatan kaum muslimin untuk melarang para wanita dari melakukan tabarruj dan membuka wajah mereka dan meninggalkan cadar…“(Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil Madzhab 12/31).

2). Al-Gozali rahimahullah, beliau berkata :

فإذا خرجت , فينبغي أن تغض بصرها عن الرجال , ولسنا نقول : إن وجه الرجل في حقها عورة , كوجه المرأة في حقه, بل هو كوجه الصبي الأمرد في حق الرجل , فيحرم النظر عند خوف الفتنة فقط , فإن لم تكن فتنة فلا , إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه , والنساء يخرجن منتقبات , ولو كان وجوه الرجال عورة في حق النساء لأمروا بالتنقب أو منعن من الخروج إلا لضرورة

“Jika seorang wanita keluar maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurot bagi wanita –sebagaimana wajah wanita yang merupakan aurot bagi lelaki– akan tetapi ia sebagaimana wajah pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurot bagi wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau dilarang untuk keluar kecuali karena darurat” (Ihyaa Uluum Ad-Diin 2/47).

Sangat jelas dalam pernyataan Al-Gozali diatas akan wajibnya bercadar, karena jelas beliau menyatakan bahwa wajah wanita adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh lelaki asing, karenanya para wanita bercadar. Jika wajah para lelaki adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh para wanita secara mutlak maka para lelaki tentu akan diperintahkan bercadar.

3). Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata,

ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة وكذا عند الأمن على الصحيح

Dan diharamkan seorang lelaki dewasa memandang aurot wanita dewasa asing, demikian juga haram memandang wajahnya dan kedua tangannya tatkala dikhawatirkan fitnah, dan demikian juga haram tatkala aman dari fitnah menurut pendapat yang benar” (Minhaaj At-Tholibin hal 95).

Ar-Romly tatkala menjelaskan perkataan An-Nawawi di atas, beliau berkata :

(على الصحيح) ووجَّهه الإمام باتفاق المسلمين على منع النساء أن يخرجن سافرات الوجوه وبأن النظر مظنة الفتنة ومحرك للشهوة فاللائق بمحاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كالخلوة بالأجنبية وبه اندفع القول بأنه غير عورة فكيف حرم نظره لأنه مع كونه غير عورة نظره مظنة للفتنة أو الشهوة ففطم الناس عنه احتياطا

“(menurut pendapat yang benar), dan Al-Imam (Imamul Haromain al-Juwaini) berdalil untuk pendapat ini dengan “kesepakatannya kaum muslimin untuk melarang para wanita keluar dalam kondisi terbuka wajah-wajah mereka, dan juga karena melihat (wajah-wajah mereka) sebab timbulnya fitnah dan menggerakan syahwat. Maka yang pantas dan sesuai dengan keindahan syari’at adalah menutup pintu dan berpaling dari perincian kondisi-kondisi seperti berkholwat (berdua-duaan) dengan wanita ajnabiah (wanita yg bukan mahram -pen)”.Dengan demikian tertolaklah pendapat bahwa wajah bukanlah aurot, lantas bagaimana diharamkan memandangnya?, karena meskipun wajah bukan aurot maka memandangnya sebab menimbulkan fintah atau syahwat, maka orang-orang dilarang untuk melihat wajah sebagai bentuk kehati-hatian”  (Nihaayatul Muhtaaj 6/187).

4). As-Suyuthy rahimahullah, beliau berkata :

المرأة في العورة لها أحوال حالة مع الزوج ولا عورة بينهما وفي الفرج وجه وحالة مع الأجانب وعورتها كل البدن حتى الوجه والكفين في الأصح وحالة مع المحارم والنساء وعورتها ما بين السرة والركبة وحالة في الصلاة وعورتها كل البدن إلا الوجه والكفين

“Wanita dalam perihal aurot memiliki beberapa kondisi, (1) kondisi bersama suaminya, maka tidak ada aurot diantara keduanya, dan ada pendapat bahwa kemaluan adalah aurot (2) kondisi wanita bersama lelaki asing, maka aurotnya adalah seluruh badannya bahkan wajah dan kedua telapak tangan menurut pendapat yang lebih benar, (3) Kondisi bersama para mahromnya dan para wanita lain, maka aurotnya antara pusar dan lutut, (4) dan aurotnya tatkala sholat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan” (Al-Asybaah wan Nadzooir hal 240).

5). As-Subki rahimahullah, beliau berkata :

الأقرب إلى صنع الأصحاب: أن وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة

“Yang lebih dekat kepada sikap para ulama syafi’iyah bahwasanya wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurot dalam hal dipandang bukan dalam sholat” (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma’rafat Alfaazh al-Minhaaj 3/129).

6). Ibnu Qoosim (wafat 918 H) rahimahullah, beliau berkata:

(وجميع بدن) المرأة (الحُرَّة عورة إلا وجهها وكفيها). وهذه عورتها في الصلاة؛ أما خارجَ الصلاة فعورتها جميع بدنها

“Dan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurot kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan ini adalah aurotnya dalam sholat, adapun di luar sholat maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya” (Fathul Qoriib Al-Mujiib fi Syar Alfaadz at-Taqriib hal 84).

7). Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة , وأن يصلي في الرجل متلثماً والمرأة منتقبة إلا أن تكون في مكان وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر إليها , فلا يجوز لها رفع النقاب

“Dan dimakaruhkan seorang lelaki sholat dengan baju yang ada gambarnya, demikian juga makruh sholat dengan menutupi wajahnya. Dan dimakruhkan seorang wanita sholat dengan memakai cadar kecuali jika ia sholat di suatu tempat dan ada para lelaki ajnabi (bukan mahramnya-pen) yang tidak menjaga pandangan mereka untuk melihatnya maka tidak boleh baginya untuk membuka cadarnya” (Al-Iqnaa’ 1/124)

8). Abu Bakr Ad-Dimyaathy rahimahullah, beliau berkata:

واعلم أن للحرة أربع عورات فعند الأجانب جميع البدن  وعند المحارم والخلوة ما بين السرة والركبة وعند النساء الكافرات ما لا يبدو عند المهنة وفي الصلاة جميع بدنها ما عدا وجهها وكفيها

“Ketahuliah bahwasanya bagi wanita merdeka ada 4 aurot, (1) tatkala bersama para lelaki asing maka aurotnya seluruh badannya, (2) tatkala bersama mahrom dan tatkala kholwat (sedang bersendirian) maka aurotnya adalah antara pusar dan lutut, (3) tatkala bersama para wanita kafir aurotnya adalah apa yang biasa nampak tatkala bekerja, (4) tatkala dalam sholat aurotnya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya’ (Hasyiah Iaanat Thoolibin 1/113).

Beliau juga berkata ;

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة أو نقش لأنه ربما شغله عن صلاته وأن يصلي الرجل متلثما والمرأة منتقبة إلا أن تكون بحضرة أجنبي لا يحترز عن نظره لها فلا يجوز لها رفع النقاب

“Dan dibenci sholat di baju yang ada gambarnya atau bordirannya karena bisa jadi menyibukannya dari sholatnya, dan dimakruhkan seorang lelaki sholat dengan menutup wajahnya, juga dimakaruhkan wanita sholat dengan bercadar, kecuali jika dihadapan seorang lelaki ajnabi yang tidak menjaga pandangannya dari melihatnya maka tidak boleh baginya membuka cadarnya” (Haasyiah I’aanat Thoolibiin 1/114).

9). Asy-Syarwaani rahimahullah berkata:

قال الزيادي في شرح المحرر بعد كلام: وعرف بهذا التقرير أن لها ثلاث عورات عورة في الصلاة وهو ما تقدم، وعورة بالنسبة لنظر الاجانب إليها جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد، وعورة في الخلوة وعند المحارم كعورة الرجل اه. ويزد رابعة هي عورة المسلمة بالنسبة لنظر الكافرة غير سيدتها ومحرمها وهي ما لا يبدو عند المهنة

“Az-Zayyaadi berkata dalam syarh Al-Muharror… “Dan diketahui berdasarkan penjelasan ini bahwasanya seorang wanita merdeka memiliki 3 kondisi aurot (1) Aurot dalam sholat, yaitu sebagaimana telah lalu (seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan-pen), (2) Aurot jika ditinjau dari pandangan para lelaki asing kepadanya maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya bahkan wajah dan kedua tagannya menurut pendapat yang jadi patokan, (3) Aurotnya tatkala sedang bersendirian atau bersama mahram maka seperti aurtonya lelaki (antara pusar dan lutut-pen)”.

Ditambah yang ke (4) Aurotnya ditinjau dari pandangan wanita kafir kepadanya jika wanita tersebut bukan tuannya dan juga bukan mahramnya, maka aurotnya adalah yang biasa nampak tatkala kerja” (Haasyiat Asy-Syarwaani ‘alaa Tuhfatil Muhtaaj 2/112).

10). An-Nawawi Al-Bantani Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata :
“Dan aurot wanita merdeka dan budak dihadapan para lelaki asing yaitu jika mereka memandang kepada mereka berdua adalah seluruh tubuh bahkan termasuk wajah dan kedua telapak tangan, bahkan meskipun tatkala aman dari fitnah. Maka haram bagi mereka untuk melihat sesuatupun dari tubuh mereka berdua meskipun kuku yang terlepas dari keduanya” (Kaasyifat As-Sajaa ‘alaa Safinatin Najaa hal 63-64).

11). Ibnu Umar Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata,

والحرة لها أربع عورات : …رابعتها جميع بدنها حتى قلامة ظفرها وهي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على الرجل الأجنبي النظر إلى شيء من ذلك ويجب على المرأة ستر ذلك عنه

“Dan wanita merdeka memiliki 4 kondisi tentang aurat…kondisi yang keempat adalah seluruh tubuh sang wanita bahkan kukunya , dan ini adalah aurotnya tatkala ia di hadapan para lelaki yang asing, maka haram bagi seorang lelaki ajnabi (asing) untuk melihat sebagian dari hal itu, dan wajib bagi sang wanita untuk menutup hal itu dari sang lelaki” (Nihaayat az-Zain Fi Irsyaadil Mubtadiin, hal 47).

KEDUA : PARA MUFASIIR SYAFI’IYAH

Berikut ini akan penulis sampaikan perkataan para ahli tafsir yang bermadzhab syafi’iyah tatkala mereka menafsirkan ayat tentang wajibnya berjilbab, yaitu firman Allah :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩

“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Ahzaab : 59).

1). Abul Mudzoffar As-Sam’aani (wafat 489 H) rahimahullah, beliau berkata :

قال عبيدة السلماني : تتغطى المرأة بجلبابها فتستر رأسها ووجهها وجميع بدنها إلا إحدى عينيها

“Berkata ‘Abiidah As-Salmaaniy : Wanita menutup diri dengan jilbabnya, maka ia menutup kepalanya, wajahnya, dan seluruh tubuhnya kecuali salah satu matanya” (Tafsiirul Qur’aan 4/307).

2) Ilkyaa Al-Harroosy (wafat 504 H)rahimahullah, beliau berkata,

الجلباب: الرداء، فأمرهن بتغطية وجوهن ورؤوسهن، ولم يوجب على الإماء ذلك

“Jilbab adalah selendang kain, maka Allah memerintahkan para wanita untuk menutup wajah-wajah mereka, dan hak ini tidak wajib bagi para budak wanita” (Ahkaamul Qur’aan 4/354).

3). Al-Baghowi (wafat 516 H) rahimahullah, beliau berkata :

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو عُبَيْدَةَ: أَمَرَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ أن يغطين رؤوسهن ووجوهن بِالْجَلَابِيبِ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً لِيُعْلَمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ

“Ibnu Abbaas dan Abu Ubaidah berkata : Allah memerintahkan para wanita kaum muslimin untuk menutup kepala mereka dan wajah mereka dengan jilbab kecuali satu mata, agar diketahui bahwasanya mereka adalah para wanita merdeka (bukan budak)” (Tafsir Al-Baghowi 6/376).

4). Ar-Roozi (wafat 606 H) rahimahullah, beliau berkata :

وقوله ذالِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ قيل يعرفن أنهن حرائر فلا يتبعن ويمكن أن يقال المراد يعرفن أنهن لا يزنين لأن من تستر وجهها مع أنه ليس بعورة لا يطمع فيها أنها تكشف عورتها فيعرفن أنهن مستورات لا يمكن طلب الزنا منهن

Dan firman Allah ((Yang demikian itu agar mereka dikenal dan tidak diganggu)), dikatakan maknanya adalah mereka dikenal bahwa mereka adalah para wanita merdeka, maka mereka tidak diikuti. Dan mungkin untuk dikatakan bahwasanya mereka tidak berzina. Karena wanita yang menutup wajahnya –padahal wajah bukan aurot- maka tidak bisa diharapkan untuk membuka aurotnya, maka dikenalah mereka bahwa mereka adalah para wanita yang tertutup dan tidak mungkin meminta berzina dari mereka“(Mafaatiihul Ghoib 25/198-199).

5). Al-Baidhoowi (wafat 691 H)rahimahullah, beliau berkata :

يغطين وجوههن وأبدانهن بملاحفهن إذا برزن لحاجة

“Mereka para wanita menutup wajah-wajah mereka dan tubuh mereka dengan kain-kain mereka jika mereka keluar karena ada keperluan” (Tafsiir Al-Baidhoowi 1/386).

6). Tafsir Jalaalain,

جمع جلباب وهي الملاءة التي تشتمل بها المرأة أي يرخين بعضها على الوجوه إذا خرجن لحاجتهن إلا عينا واحدة

“Jalaabiib adalah kata jamak/prular dari jilbab, yaitu pakaian yang dipakai oleh wanita. Yaitu mereka menjulurkan sebagian jilbab ke wajah-wajah mereka jika mereka keluar untuk keperluan mereka, kecuali (dibuka) satu matanya” (Tafsir Jalaalain hal 559).

Selengkapnya dalam sumber : https://abuzahrahanifa.wordpress.com/2014/10/29/ajaran-madzhab-syafii-yang-ditinggalkan-sebagian-pengikutnya-3-cadar/

One response to “Perkataan Ulama Syafi’iyyah Tentang Wajibnya Cadar

  1. Ping balik: Kumpulan Artikel Seputar Hukum Bagi Wanita Muslimah | Abu Zahra Hanifa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s